Willy mengamati bunga tasbih layu yang anehnya menguarkan aroma yang sangat wangi. Bukan hanya aroma, warnanya ternyata juga aneh. Hitam. Laki-laki bermata sipit itu menoleh pada Jelita yang kembali asyik menyusun para bonekanya ke dalam box."Kok, aneh. Ada bunga tasbih warnanya hitam dan wangi pula," gumamnya tanpa sadar. "Perasaan, Mama nggak nanam bunga beginian, terus dari mana nih bocah dapat bunga ini?" tanyanya pada diri sendiri.Rupanya, Jelita mendengar gumaman papanya. Gadis berambut panjang itu menoleh. "Papa, itu bunga dari teman aku!" sahut si gadis kecil. William semakin penasaran untuk tahu lebih lanjut. "Kamu main ke mana sama Mbak Asih?" tanyanya heran. Karena di Jakarta, Jelita tidak punya teman kecuali saudara-saudaranya, itu pun rumahnya sangat jauh. Jelita menggeleng singkat. "Papa, aku nggak main ke mana-mana. Tapi teman aku yang main ke sini. Dia selalu bawa bunga itu dan setiap pulang selalu dia tinggal, katanya sebagai ucapan terima kasih. Rumahnya dia banya
Dua hari singgah di Turkey, kini Inno dan Amelia kembali melanjutkan penerbangan ke kota Milan. Di kota itu, mereka akan tinggal sambil menanti kelahiran anak pertamanya.Setelah menempuh perjalanan udara selama hampir tiga jam, akhirnya mereka sampai di Aeroporto Internazionale di Malpensa, Milano. Sore itu, keduanya dijemput oleh Matteo Morelli, sepupu Inno. Tak ingin berlama-lama, mereka memutuskan untuk segera pulang ke apartment milik Inno di tengah kota Milan.Matteo mengulurkan display key Ferrari Lusso GT4 ke arah adik sepupunya sembari berkata menggoda, "Mi chiedo, ti ricordi ancora la direzione per I'appatamento?" (Saya ingin tahu, apa kamu masih ingat arah ke apartemen?) Inno tersenyum samar, dia menatap Matteo yang memasuki mobil lebih dahulu. "Certo!" jawabnya singkat sambil membantu istrinya memasuki mobil berbody rendah itu. Kemudian Inno melangkah mengitari body depan mobil menuju ke sisi kiri depan."You are getting beautiful, Amelia," komentar Matteo setelah mobil be
"Mas, bisa antar saya? Kebetulan mobilku mogok, Mas. Mana gerimis lagi." Seorang gadis cantik berdiri dengan gelisah di dekat pos keamanan komplek perumahan Jalan Palem Indah. Hampir setiap malam, tempat itu memang ramai dengan beberapa pemuda yang sengaja nongkrong di atas motor. Pada akhirnya, salah satu di antara mereka mendekat."Boleh, mari Neng, Abang antar," tawarnya ramah. "Neng tinggal di blok mana?" tanyanya lagi sambil merapikan lengan t-shirt yang dipakainya. "Itu di Blok G, Mas. Terima kasih, ya," ucap gadis dengan rambut panjang yang tercium wangi itu.Tak berapa lama, gadis itu sudah naik ke atas motor matic milik si pemuda. Sambil tersenyum penuh kemenangan dan mengedipkan sebelah mata seolah mengejek kedua temannya, pemuda tersebut segera melajukan motornya."Huuh songong! Baru dapat cewek numpang saja sudah berlagak boncengin bini orang!" gerutu salah satu di antara mereka yang langsung mendapat toyoran di kepala."Woi, lihat!" Tepukan keras di bahu pemuda itu sont
Bergegas, para warga menghampiri mobil dan mendapati pengemudi yang tampak kesulitan keluar dari dalam mobil. Darah segar mengucur dari pelipis Evan. Lengan dan kakinya terasa ngilu. Evan masih butuh waktu beberapa detik untuk berpikir. Dia memperhatikan beberapa laki-laki yang berusaha membantunya keluar dari mobil."Ke mana perginya hantu budeg sialan tadi, ya?" tanyanya membatin."Mari, Mas, keluar. Pelan-pelan," kata seorang laki-laki sambil membantu Evan.Evan masih diam, tidak bisa berkata apa pun. Dua orang memapah dan membantunya mendudukkan di kursi plastik yang disediakan warga.Evan menerima air putih yang diberikan oleh satu dari mereka sembari berucap terima kasih. Napasnya masih tak beraturan. Kaki dan tangannya terasa ngilu dan perih."Panggil ambulance! Masnya perlu dibawa ke rumah sakit. Sepertinya kakinya terluka!" seru yang lain. Evan mendongak, kemudian menggeleng tegas. "Tidak. Tidak perlu, Pak. Saya tidak apa-apa," ucapnya setengah bingung.Beberapa gadis yang ik
Evan segera menceritakan semua kejadian dalam mimpinya beberapa saat yang lalu. Bu Sari menyimak dengan seksama. Tatapan mata sepuh Bu Sari tertuju pada anak asuhnya yang tampak masih bingung itu.Evan memijat pangkal hidungnya dengan mata terpejam. "Janin itu sepertinya sudah meninggal, Bu. Tapi, apa maksudnya aku disuruh menafkahinya? Apa Rianti menggugurkan anakku?" tanyanya lirih. Evan membuka matanya dan kembali menatap Bu Sari. "Apa maksudnya ini, Bu?" Bu Sari menarik napas berat. Dia mencoba ikut mencerna arti mimpi dari laki-laki di depannya itu. "Ibu nggak ngerti maksudnya apa, Nak. Kamu do'akan saja, semoga suatu saat kalian dipertemukan dan Bapak berubah pikiran, Nak." Bu Sari berkata lirih sambil mengusap rambut Evan dengan sayang. Wanita berusia lebih dari setengah abad itu merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh Evan. Semenjak kecil, kedua orang tuanya sibuk dengan bisnis. Kedua anak Pak Rudi itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan sekolah, les, dan berbagai keg
Inno tidak menjawab. Dia mengamati istrinya yang masih fokus pada handphone miliknya. Amelia tidak menemukan hal yang mencurigakan di situ. Wanita itu mendesah kecewa yang membuat Inno terkekeh. Inno mengulurkan tangan dan mengacak gemas rambut sang istri. Amelia menoleh dengan cemberut. "Apa yang Mas sembunyikan dari aku?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Tadi nyebut nama siapa, sih?" selidiknya lagi."Nggak ada. Kamu saja yang salah dengar. Sudah, mandi sana terus kita shalat."Amelia mendesah keras, dia merasa gemas sendiri dengan jawaban suaminya yang tak memuaskan. "Nggak usah mengalihkan topik, Mas. Kalau nggak ada yang disembunyikan, kenapa bawa ponsel ke kamar mandi? Nggak biasanya begitu!" ketusnya."Berarti, hari ini nggak biasa, Sayang.""Mas!" Sentak Amelia mulai sewot. "Jangan-jangan, Mas bikin video kekinian di kamar mandi?" tuduhnya.Inno terbahak mendengar tuduhan itu. "Aku nggak segila itu!" elaknya."Ya kalau gitu jawab, ngapain muter-muter seperti jalur metro g
Evan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah jalanan malam yang mulai lengang. Tujuannya hanya satu. Bandara Soekarno-Hatta. Dia sesekali menatap foto ticket pesawat di handphone. Evan berharap masih ada keajaiban, yakni pesawat delay. Beberapa kali dia menghubungi nomor sang kekasih, tetapi tak satu pun berhasil. Gadis itu telah memblokir semua akses komunikasi mereka. Setelah memarkir mobilnya, Evan segera mencari informasi penerbangan domestik tujuan Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu. Pesawat telah lepas landas 14 menit yang lalu. Namun, beberapa kali dicheck, nama Rianti Setyadewi tak termasuk dalam daftar penumpang pesawat mereka.Laki-laki itu mendesah kecewa, dia masih tak percaya dengan ucapan petugas customer service. "Mana mungkin, Bu? Ini bukti tiketnya?" Evan bersikeras dengan frustasi."Maaf, Mas. Nama itu memang tidak ada."Bahu Evan meluruh, dia menatap nanar layar handphonenya. Dia mengangguk lemah kemudian melangkah menuju ke pintu keluar.Kalau Rianti
Evan kembali berkata lirih, "Sayang, Papa kangen kamu, Nak. Apa kabarmu? Papa kangen." Di dalam alam bawah sadarnya, Evan merasakan memeluk seorang anak yang sangat lucu. Kali ini, bukan daging merah berbentuk janin lemah, tetapi berwujud bocah yang lucu berusia sekitar 4 tahun. Bocah itu tertawa, kemudian melepaskan diri dari pelukan Evan dan berlarian di rerumputan luas mengejar kupu-kupu. Evan pun mengejar anak itu sambil tertawa bahagia."Hati-hati, Sayang!"Bibir mungil nan pucat itu berbisik di dekat telinga Evan, "Aku juga kangen Papa." Setelah itu, dia melingkarkan lengan kecilnya di bahu Evan yang masih tertidur pulas.* Venice, Italy. Untuk menghilangkan kejenuhan, Inno membawa istrinya ke rumah sang kakek di kota Venezia. Laki-laki itu selalu berusaha melakukan segala hal untuk membuat istrinya tidak bosan dan nyaman. Di apartment mereka di Milan, Amelia sering kesepian walaupun kadang Inno memutuskan bekerja dari rumah. Tetapi jika sudah berada di depan komputer, seperti
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak