Seorang laki-laki paruh baya dengan seragam security melangkah dengan tergesa begitu melihat BMW X5 M di depan pagar besi hitam yang menjulang tinggi. Tak lama, ia pun tersenyum ramah pada tamu yang sangat dikenalnya--Marvinno dan juga Amelia, sang istri. Sepasang suami-istri muda yang merupakan sahabat baik anak majikannya, Evan. "Assalamu'alaikum, Pak!" Marvinno segera menyapa security itu dengan ramah sambil menurunkan kaca jendela mobilnya."Wa'alaikumsalam, Mas Inno silakan masuk." "Terima kasih, Pak. Bapak ada, kan?" "Ada, Mas. Tapi, kalau Mas Evan belum pulang," jawabnya. Inno mengangguk lalu tersenyum. Seketika, ia memajukan mobilnya melewati pintu pagar dan memarkirnya di halaman rumah mewah yang dipenuhi tanaman hias itu. Inno pun menoleh pada Amelia, sang istri yang masih menatap takjub pada bangunan megah di depannya dan tentunya tanaman hias."Wah! Rumah Mas Evan mirip istana," gumamnya jujur.Hal itu membuat Inno tertawa lirih. "Ayo turun!" ajaknya. Amelia pun meng
Sayup-sayup terdengar suara merdu bacaan ayat suci Al Qur'an dari masjid luar komplek perumahan itu. Semakin lama, terdengar dengan jelas. Inno pun memperlambat laju kendaraannya ketika melewati pertigaan--tepat di depan rumah bertype cluster dua lantai yang mereka sewa selama kurang lebih satu tahun. Perlahan, Inno menurunkan kaca jendela mobilnya dan menoleh pada Amelia yang duduk diam di sampingnya. "Om Rudi dan Tante Diah begitu baik, semoga rumah ini cepat ada yang menghuninya lagi ya Sayang, daripada kosong lama. Evan juga nggak mungkin tinggal di sini." "Iya, semoga saja. Apalagi, tetangga di sini baik-baik semua. Kasihan juga tanaman aku yang nggak kebawa, pasti mati."Mendengar pendapat istrinya, Inno hanya menarik napas. "Bukankah aku sama Heri sudah tanya mau dibawa semua atau nggak? Kamu jawab nggak. Sekarang berka-" "--Mas!" seru Amelia memotong ucapan suaminya sembari mencegah Inno menutup kembali kaca jendela mobil. Lelaki tampan itu sontak menoleh menatapnya denga
Tunggu! Sekarang sudah lewat tengah malam. Belum lagi, ada rintikan gerimis disertai udara yang dingin. Mungkinkah ada seorang wanita berdiri di tengah jalan yang sepi? Amelia menggeleng pelan mencoba percaya akan ucapan suaminya jika dia hanya berhalusinasi. Akan tetapi, berulang kali dia mengerjapkan mata, wanita misterius itu memang masih ada di sana."Kenapa wanita itu masih di sana?" gumamnya lirih sambil mundur selangkah. Namun, dia memekik kaget ketika punggungnya menabrak benda di belakangnya. Belum sempat dia menoleh, sepasang lengan kekar berkulit putih kemerahan dengan bulu halus memeluknya dari belakang. "Wanita lagi," sahut Inno sambil berdecak. "Mas, bikin aku kaget saja!" protes Amelia sambil melepas pelan tangan sang suami dari tubuhnya. "Kamu itu kenapa? Jam segini bukannya tidur malah melamun di tepi jendela?" "Mas ..." ucap Amelia tercekat. "Berhalusinasi lagi, berkhayal lagi?" sindir Inno dengan nada datar disertai gelengan kepala. Amelia memilih diam tak
"Sudahlah, ayo tidur, aku ngantuk banget, Sayang. Atau ..." Inno menaik turunkan alisnya dengan jahil yang dihadiahi cubitan gemas di perut sixpacknya. "Aku belum selesai bicara, Mas!""Iya, rumah itu kan niatnya akan ditempati Evan dan Rianti.""Cerita yang jelas Mas, jangan sepotong-sepotong," protes Amelia yang membuat Inno terkekeh.Bukannya menuruti kemauan sang istri, Inno justru melepaskan pelukannya dan berdiri. Dia segera melepas baju koko dan sarung yang menutupi tubuh atletisnya. Sontak Amelia menutupi wajahnya yang memanas dengan kedua telapak tangan. "Sudah siap nih, buka?" ucap Inno dengan nada jahil. "Ish nggak, mesum. Cerita dulu baru ..." Amelia menghentikan ucapannya saat mendengar suaminya tertawa di depan wajahnya sambil menarik kedua telapak tangannya yang menutupi wajah. "Aku sudah selesai ganti baju, istriku Sayang, buka tutup matanya," ucapnya lalu kembali naik ke tempat tidur. Amelia menggerutu kesal lantas memukul tubuh suaminya dengan bantal. "Mau ganti
"Begadang kami itu penting, Ayah, untuk menjaga keharmonisan pasangan suami-istri," gumamnya cukup dalam hati.Ya, walaupun memang akhir-akhir ini Inno sangat sibuk dengan banyak kegiatan di kantornya.Dia harus menyelesaikan semua pekerjaan, memeriksa semua hasil laporan yang masuk sebelum meninggalkan Indonesia beberapa hari ke depan.Rutinitas itu sudah dia jalani semenjak dia menjadi CEO Il Giorno Group Indonesia, sejak lima tahun yang lalu.Bos muda Café and Restaurant Italia itu memang punya pekerjaan yang cukup ruwet juga unik. Setiap dua tahun sekali dia harus bisa membagi waktunya untuk bisnisnya di Italia dan juga di Indonesia.Walaupun Inno mempunyai orang-orang kepercayaan yang handal untuk memegang usahanya, namun sekali lagi inilah pilihan hidup yang dipilihkan sang kakek. Dia cukup menjalani dan mengembangkan usaha almarhum ayahnya tercinta.Inno tidak takut kehilangan uang, dia hanya takut kehilangan keluarganya jika tidak mengikuti saran kakeknya. Bahkan itu mulai berl
Bukan kejujuran Windi yang membuatnya terbatuk, melainkan nama Rico, si pujaan mahasiswi di kampus. Kakak tingkatnya yang pernah menyatakan perasaan pada Amelia. "Amelia, aku sangat mencintaimu, sangat. Tapi aku tahu kamu nggak mau pacaran. Aku bangga sama kamu, aku menghargai pendirianmu. Kamu fokus kuliah dulu ya dan akupun begitu. Kita sama-sama mantapkan hati, nanti jika libur kuliah aku pulang dan membawa keluargaku menemui Abah dan Umi.""Jodoh, maut dan rejeki, rahasia Allah kalau mas Rico jodohku, maka Mas Rico pasti akan sampai pada Abah dan Umi."Mata Amelia memanas. Ingatan empat tahun silam kembali berputar di kepala. Tepatnya, beberapa bulan sebelum Inno datang melamarnya. Pria berwajah bule itu datang secara tak terduga dan menikahinya tanpa rencana pula. Amelia paham itu termasuk bagian dari rahasia jodoh di tangan Allah.Menyadari raut wajah sendu Amelia, Windi berdehem lirih. "So-sorry Mel, maaf ya. Seharusnya, aku nggak ngomongin soal itu." Windi penuh sesal lalu
"Ke-napa, kamu di sini?" tanya Amelia lagi yang masih tidak mendapatkan respon. Sampai akhirnya, ada suara pria dari belakangnya. "Ya, ampun, Sayang. Kamu ternyata di sini! Ayah sama Bunda sibuk cari kamu, Aurel." Tak lama, Amelia dapat melihat pria asing itu mengangkat tubuh kecil anaknya. "Maaf, dia pu ... Pu-tri, Anda?" tanya Amelia gugup. Laki-laki itu mengangguk sekilas. "Terima kasih sudah menemani putri kami, permisi," ujarnya kemudian tanpa menatap pada Amelia. Amelia hanya bisa berdiri mematung. "Mel, woi, aku cari-cari ternyata kamu di sini!" seru Windi sambil memberikan sebotol air mineral padanya. Sedangkan Amelia, masih terdiam dengan tatapan kosong ke arah perginya pria yang membawa bocah kecil tadi. "Hallo Mel, kamu kenapa sih? Woi ini buat kamu!" seru Windi sambil menepuk punggung Amelia yang membuat wanita itu berjingkat kaget. "Ish, ngagetin saja!" protesnya sambil menerima air yang disodorkan oleh sahabatnya. "Kamu yang melamun, nih makan aku beli kerak telo
Windi mengigit bibirnya, dia menatap Amelia dengan perasaan takut dan khawatir. Sedangkan Amelia masih menatap ke suatu arah dengan tatapan mata tak berkedip.Dengan hati-hati gadis berhijab simple itu bertanya, "Dia, siapa maksud kamu, Mel? Kamu ngomong sama siapa? Jangan ngerjain aku ya Mel. Kamu nggak sedang latihan main sinetron kan?""Kamu pikir aku se-enggak punya kerjaan itu ngerjain kamu, Win? Kamu pikir aku sedang acting?"sahut Amelia tersulut emosi sambil melirik ke arahnya. Wanita berhijab pashmina lebar yang menutupi dadanya itu menarik nafas kasar dan kembali menatap ke suatu arah. Windi yang merasakan hal tidak biasa, mengusap tengkuknya yang meremang."Kamu tahu? Karena kamu terus ganggu aku, suami aku sendiri bahkan mengatakan aku orang stres dan sahabat aku menganggap aku acting. Puas kamu!" Amelia kembali menggeleng kuat, semua itu tak lepas dari perhatian Windi yang mulai merasa takut. "Nggak, aku nggak mau, cari orang lain yang bisa menolongmu, aku nggak bisa!" uca
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak