Share

TERNYATA ISTRIKU ANAK ORANG KAYA
TERNYATA ISTRIKU ANAK ORANG KAYA
Penulis: NawankWulan

BAB 1

[Istri yang selalu disebut miskin dan dijadikan pembantu oleh keluargaku, bahkan kusia-siakan itu ternyata memiliki warisan yang fantastis]

"Jangan di kamar terus, Na! Keluar sekarang!" teriak mama mertua dari luar kamar.

Tak ingin mendengar teriakannya yang berulang, aku buru-buru menutup pintu lemari dan keluar kamar. Kulihat suasana rumah lumayan sepi. Tak ada siapapun kecuali mama di ruang keluarga.

"Ngapain di kamar terus? Kamu bukan menantu gedongan. Beberes rumah sana!" sentak mama lagi. Meski sedikit terheran, aku kembali memberanikan diri untuk bertanya tentang Mbak Sarti.

Dia adalah asisten rumah tangga di sini. Biasanya, Mbak Sarti yang mengurus rumah, sementara aku hanya membantunya memasak atau pekerjaan ringan lainnya, tapi kenapa aku yang disuruh membereskan rumah?

"Memangnya Mbak Sarti kemana, Ma?" tanyaku pada mama mertua yang masih tiduran di sofa. Kedua matanya masih fokus menikmati sinetron favoritnya. Mama menoleh sekilas ke arahku lalu kembali dengan camilan di tangannya.

"Ngapain nanya Sarti segala. Dia sudah mama pecat," ucapnya singkat sontak membuat kedua alisku mengerut seketika.

Aku kembali menatap mama dengan beragam pertanyaan. Mengapa Mbak Sarti dipecat? Apa salahnya sampai mama memecat Mbak Sarti yang katanya sudah bekerja lebih dari dua tahun di sini? Bukannya rumah ini butuh asisten karena terlalu banyak orang dan pekerjaan yang harus diurus?

Jika Mbak Sarti sudah dipecat, lantas siapa yang akan menggantikannya mengurus rumah? Nggak mungkin aku kan?

"Kenapa diam?" tanya mama singkat tanpa menoleh sedikitpun. Aku kembali menatapnya.

"Kenapa Mbak Sarti dipecat, Ma?" tanyaku masih keheranan.

Aku benar-benar tak mengerti alasan yang masuk akal dari mama sampai bisa memecat asisten serajin Mbak Sarti.

"Kan sekarang sudah ada kamu yang menggantikannya," balas mama lagi membuatku terbatuk seketika.

Mama kembali melirikku lalu meneguk segelas air putih yang sudah disiapkannya di meja.

"Maksud mama gimana?" tanyaku lagi pura-pura tak mengerti.

Detik ini, dadaku berdegup kencang. Sepertinya dugaanku benar. Sepertinya mama memang akan menjadikanku sebagai pengganti Mbak Sarti. Mendengar pertanyaanku, mama menghela napas kasar lalu menunjukku dengan salah satu jarinya.

"Ya kamu yang gantiin Mbak Sarti beberes di rumah ini. Gitu aja kok nggak paham. Jangan lemot jadi orang," jawabnya tanpa basa-basi.

Jawaban mama kali ini benar-benar di luar nalar. Bagaimana mungkin seorang menantu hanya dijadikan sebagai pengganti pembantu di rumah ini?

"Maaf, Ma. Aku dilamar Mas Azka untuk dijadikan istri, bukan untuk dijadikan pembantu," jawabku begitu kesal.

Baru sebulan menjadi menantu mama, watak aslinya sudah begitu kelihatan. Aku tahu, mama memang tak menyukaiku sejak awal. Mama bilang, tempo hari hanya pura-pura merestui pernikahanku dengan Mas Azka karena dia menginginkan cucu dariku. Cucu yang tak bisa dia dapatkan dari istri pertama Mas Azka, katanya.

Kupikir semua yang dikatakannya saat itu hanya gurauan semata. Namun, kini kutahu jika dia memang tak menginginkan kehadiranku sepenuhnya. Bahkan kini kebenciannya terlalu ketara. Aku tak dijadikan menantu seutuhnya melainkan akan dijadikan pembantu juga. Keterlaluan! Dia benar-benar hanya memanfaatkanku saja.

"Sudahlah, jangan membantah. Anggap saja itu sebagai balasan karena aku sudah memberikan uang lima puluh juta untuk membayar hutang ibumu pada rentenir itu. Kalau nggak, hari ini pasti ibumu sudah tidur di kolong jembatan," ucap mama membuat kedua mataku berkaca.

Tak terasa, bulir bening menetes dari kedua sudut mataku. Kalimat yang mama ucapkan benar-benar membuat hati ini terasa perih. Teringat kembali kejadian dua bulan yang lalu, saat dua laki-laki kekar itu teriak-teriak di depan rumah sederhana ibu.

"Lunasi satu minggu lagi. Kalau tidak, kami akan mengusir kalian dari sini!" teriak mereka lantang dan garang.

Bentakan mereka membuat beberapa tetanggaku keluar rumah. Mereka ikut menyaksikan adegan itu seperti sedang menonton bioskop.

Ibu menangis dan mengiba agar diberi waktu lebih lama. Namun, mereka tak mau peduli. Tetap mengancam akan datang satu minggu lagi untuk mengambil pelunasannya, kalau nggak? Terpaksa akan mengusir aku dan ibu dari rumah itu.

Pikiranku kalut. Gajiku sebagai buruh cuci jelas tak cukup untuk melunasi hutang sebesar itu. Sebenarnya bisa saja aku bekerja di kota dengan gaji lebih besar seperti sebelumnya, tapi ibu selalu melarang.

Ibu tak ingin aku kembali ke kota. Dia lebih senang jika aku selalu bersamanya dan bekerja apa saja yang penting halal di desa. Ibu hanya tak ingin jauh dariku karena akhir-akhir ini sering sakit-sakitan.

Mendengar permintaan ibu itu, aku pun menurut saja. Aku tak ingin mengecewakannya karena hanya dia yang aku punya. Bahkan, saat Mas Azka tiba-tiba datang melamar pun, aku tak kuasa menolak karena ibu sudah menerima lamarannya.

Ibu pikir, Mas Azka laki-laki yang baik, perhatian dan mapan. Tak salah jika aku menikah dengannya sekalipun sudah duda. Boleh jadi hidupku akan lebih tertata dan bahagia saat bersamanya.

Awalnya aku pikir juga begitu. Namun ternyata, dugaanku salah besar. Sepertinya Mas Azka dan keluarganya hanya memanfaatkanku saja.

Meski sedikit kecewa, aku tak bisa berbuat apa-apa karena uang lima puluh juta pemberian dari mama sudah ibu serahkan ke rentenir itu untuk melunasi semua hutangnya.

"Buruan ngepelnya! Masih ada pekerjaan lain yang menunggu. Bukannya buru-buru malah bengong di situ!" sentak mama membuatku terlonjak. Aku kembali menghela napas panjang.

"Aku menantu, bukan pembantu, Ma," ucapku lagi.

Aku hanya bisa protes, tapi tak bisa membantah perintahnya. Bagiku, mama seperti ibu yang harus kuhormati dan kucintai. Sayangnya, rasa cintaku tak ada timbal baliknya.

"Siapa bilang? Itu kan hanya alasan konyol pada ibumu agar dia menerima lamaran anakku. Sebenarnya tanpa alasan macam-macam pun, ibumu pasti setuju sih. Siapa juga yang nggak mau punya besan sepertiku? Iya, kan?" tanya mama lagi seolah begitu merendahkan ibu dan aku.

"Kalau ibu tahu mama hanya memperlakukanku seperti pembantu, dia pasti nggak akan setuju," tukasku cepat.

"Siapa bilang? Kamu aja yang bodoh. Jelas ibumu mata duitan begitu. Dia bahkan rela menjual anak gadisnya hanya untuk uang lima puluh juta!" ucap mama terlihat kesal. Entah kenapa mama yang kesal, padahal seharusnya aku yang berada di posisi itu.

"Mas Azka pasti akan protes jika dia tahu mama memperlakukanku seperti ini," ucapku lagi. Bukannya kaget, mama justru terbahak mendengar ucapanku.

"Azka? Marah karena kamu kuperlakukan selayaknya pembantu?" cibir mama lagi.

"Baca ini! Pesan dari suamimu!" perintah mama padaku. Kubaca sebuah pesan yang dikirimkan Mas Azka untuk mama.

[Daripada bayar Mbak Sarti mahal, mungkin lebih baik minta tolong Ratna saja untuk menggantikannya, Ma. Lagian dia juga nggak ada kerjaan. Tiap hari cuma tiduran di kamar kan? Bukannya lebih baik beberes rumah, biar hidupnya lebih bermanfaat]

Aku hanya beristighfar dalam hati. Cukup shock membaca pesan dari Mas Azka barusan. Teganya dia bicara seperti itu. Aku benar-benar tak menyangka jika sikapnya tak jauh berbeda dengan mama yang hanya ingin memanfaatkanku saja.

Kupikir selama ini dia masih cuek karena belum terbiasa dan belum terlalu mengenalku, ternyata dia memang tak sepeduli itu.

"Bagaimana, Na? Sudah jelas kata suamimu, kan? Buruan kerja! Dia cukup perfeksionis. Jadi, semuanya harus rapi sebelum dia pulang. Kalau nggak, dia akan bad mood semalaman," ucap mama lagi sembari melotot kecil ke arahku. Aku kembali menunduk.

"Buruan sana. Malah bengong di situ!" perintah mama ketus membuatku berlalu darinya.

Rumah ini ada dua lantai. Lantai atas hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi serta halaman untuk bermain basket, sedangkan lantai bawah ada tiga kamar. Ada ruang keluarga yang cukup besar dan ruang tamu dan teganya mama menyuruhku untuk membersihkan semuanya sendirian.

Entah kegilaan macam apa yang mama lakukan! Padahal jelas di rumah ini ada Mbak Rani dan adik iparku, Nina. Mereka sama-sama perempuan yang seharusnya bisa membantuku mengurus rumah. Sayangnya, hanya aku yang dijadikan pembantu, sementara mereka bebas beraktivitas seperti biasanya.

"Jangan khawatir! Urusan cuci dan setrika ada Mbak Meli. Kamu cuma bersih-bersih rumah ini aja," teriak mama dari tempatnya.

Cuma bersih-bersih, katanya? Dia kira beberes rumah sebesar ini nggak capek? Enak aja dibilang cuma! Lihat saja Ma, suatu hari nanti mama pasti menyesal sudah memperlakukanku seperti ini.

Sekarang mungkin aku masih diam dan patuh karena belum punya bekal untuk memberontak, tapi nanti aku akan mencari cara agar mama tak semakin semena-mena. Aku pasti bisa membuat mama menghargaiku sebagai menantu!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status