[Maaf kalau mengganggu, Mbak. Waktu itu Mbak Santi bilang cari orang untuk memasarkan dagangan mbak ke media sosial ya? Gimana kalau aku ikut promosiin, Mbak? Daripada nggak ada penghasilan sama sekali di rumah. Barang kali nanti ada yang laku bisa buat pemasukan]
Kukirimkan pesan itu pada Mbak Santi. Dia distributor hijab dan kaos kaki beragam model. Jika memang boleh memasarkan tanpa perlu stok dan packing barang kan lumayan.Jadi, bisa menghemat tenaga dan tak mengurangi waktuku beberes rumah. Selain itu, mama dan yang lainnya juga nggak akan tahu jika ada transferan masuk ke rekeningku sebagai upahnya.Aku kembali tersenyum tipis. Semangat yang sebelumnya patah mendadak muncul kembali. Aku tak akan pernah menyerah dan kalah. Aku pasti bisa mematahkan keangkuhan mereka suatu saat nanti.Kutinggalkan handphone itu di atas meja makan lalu mencuci perabot kotor di wastafel. Tak selang lama handphone itu kembali bergetar. Kupikir balasan dari Mbak Santi, ternyata pesan dari mama.[Na, jangan lupa cuci dan setrika bajunya. Kalau kamu pulang semua harus sudah beres dan rapi di lemari. Kamu ditinggal di rumah bukan untuk leha-leha, tapi urus pekerjaan rumah. Mengerti?!]Pesan panjang dari mama itu membuatku menghela napas panjang. Baru selesai mencuci piring dan membersihkan kulkas, adalagi tugas yang harus kukerjakan. Mereka benar-benar tak menganggapku manusia, lebih menganggapku robot yang tak punya rasa lelah dan sakit hati.Malas membalas pesan mama, kubiarkan saja handphone jadulku itu tergeletak di tempatnya. Aku hanya menunggu balasan dari Mbak Santi soal rencanaku tadi. Aku hanya berharap barang yang kupromosikan nanti bisa laris di pasaran dan aku mendapatkan upah seperti yang dia janjikan.[Kamu tidur, Na?! Sudah beres apa yang ibu perintahkan tadi?!]Pesan dari mama lagi. Tak ingin semakin diteror, mau tak mau membalas pesannya. Aku malas mendengar ocehan mama jika sampai tiga kali pesan itu nganggur tanpa balasan.[Iya, Ma. Aku akan cuci dan setrika semuanya. Setelah kalian pulang, semua beres dan rapi di tempatnya. Mama nggak perlu khawatir]Hanya itu yang kukirimkan. Sengaja membalas demikian agar mama puas dan berhenti menerorku. Aku malas berdebat atau mengiba. Biarlah sesukanya.Sekarang aku hanya ingin menenangkan diri sendiri dan menikmati apapun yang menjadi takdirNya. Yang penting sekarang ada mimpi yang harus kugapai agar mereka tak terus menerus meremehkanku seperti saat ini.Aku melangkah ke tempat cucian kotor. Kotak besar berisi cucian Mbak Rani dan anaknya, sementara kotak satunya berisi cucian mama dan Nina. Cucianku dan Mas Azka sudah kubereskan sejak pagi, jadi tak kubiarkan menumpuk di samping mesin cuci.Biasanya mesin cuci juga oke, tapi entah mengapa sejak tiga hari lalu tak bisa dipakai. Tiap kali kunyalakan selalu diam dan tak mau bergerak sekalipun hanya berapa potong pakaian yang kucuci. Hanya pengeringnya saja yang masih berfungsi dengan baik.Tiga kali meminta Mas Azka memanggil tukang servis, tapi sampai sekarang belum dipanggil juga. Aku mulai berhenti bertanya karena nggak mau dibilang cerewet ataupun bawel olehnya. Aku tak ingin membuat moodnya berantakan jika melihatku terus menuntut ini dan itu.Kadang badan rasanya tak karuan tiap hari mencuci baju segitu banyak tanpa bantuan siapapun. Saat mesin cuci masih jalan, Mbak Rani mau mencuci pakaian keluarga kecilnya sendiri. Namun, setelah mesin cuci rusak dia menyerahkan tugas itu padaku. Alasannya nggak mau kukunya rusak dan patah karena saat mencuci.Awalnya aku menolak, tapi lagi-lagi mama dan Mas Azka memintaku untuk membantunya dengan alasan Mbak Santi sibuk dan kecapekan mengurus Arga. Mereka kompak memperlakukanku seperti babu.Mungkin mereka pikir aku juga tak capek dengan semua pekerjaan yang dibebankan padaku saat ini, apalagi setelah Mbak Meli cuti.Aku tak tahu kenapa keluarga suamiku begitu tega memperlakukanku seperti itu.Awalnya aku cukup lega saat dipersunting Mas Azka. Setidaknya karena Mas Azka, ibu terbebas dari hutang dan bisa tinggal di rumah sederhananya dengan bebas sampai kapanpun. Selain itu aku juga terlepas dari jerat juragan tua itu yang akan menjadikanku istri keempatnya.Selama ini aku selalu bermimpi memiliki keluarga baru yang hangat. Sayangnya semua hancur berantakan sejak pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Mama yang sebelumnya tampak menerima dengan tangan terbuka, ternyata hanya bersandiwara belaka.Kini kutahu jika mama hanya memungutku untuk dijadikan pembantu dan berharap aku bisa lekas hamil dan memberikannya cucu.Setelah urusan mencuci usai, aku sekalian mandi dan menunggu adzan Dzuhur berkumandang. Usai melaksanakan kewajiban, aku merebahkan badan ke ranjang sembari membuka pesan yang masuk di layar.Senyumku mengembang seketika setelah membaca balasan dari Mbak Santi. Sesuai dugaan, dia benar-benar mengizinkan dan mengirimkan barang-barang dagangannya sekalian harganya.[Maaf baru balas ya, Mbak Ratna. Aku baru pulang antar paket ke ekspedisi. Kalau mbak mau ikut promosiin daganganku boleh banget, Mbak. Aku kasih bonus lebih dibandingkan reseller lain. Mbak nggak harus beli dulu atau kirim paketnya. Semua aku yang urus. Ini aku kirimin harganya ya, Mbak. Mbak bisa mendapatkan upah delapan ribu tiap kali berhasil menjual satu barang. Kalau lebih banyak yang terjual upahnya juga akan lebih banyak. Bagaimana?]Aku akan mendapatkan upah delapan ribu tiap kali menjual satu barang? Baiklah. Itu sudah lebih dari cukup. Jika laris tentu akan semakin banyak pundi-pundi rupiah yang akan kudapatkan. Semua butuh proses dan ketekunan. Aku yakin rezeki tak akan tertukar dan Allah akan mempermudah jalan menuju kebaikan.[Nggak apa-apa, Mbak Santi. Alhamdulillah dan terima kasih kalau diizinkan. Berarti bisa langsung bisa dipromosikan ya, Mbak? Nanti kalau ada yang pesan akan aku kirimkan alamat dan jumlah pesanannya ke Mbak Santi ya]Kukirimkan balasan itu padanya. Kuhela napas panjang. Rasanya lega sekali membaca balasan darinya. Aku akan membuat akun baru untuk memperluas pertemanan. Selain aplikasi biru, aku juga akan promosi di aplikasi lain.[Oke, Mbak. Semoga banyak yang pesan ya! Kita merangkak bersama. Salam buat keluarga di sana ya, Mbak. Bibi sepertinya cukup tenang setelah Mbak Ratna menikah. Sekarang jualan nasi uduk di depan rumah. Sepertinya laris, Mbak. Soalnya tiap jam delapan kulihat sudah nggak ada di halaman. Kemungkinan dagangannya sudah habis terjual]Aku kembali menghela napas. Rasanya lega membaca pesan dari Mbak Santi barusan. Jika memang begitu, aku tak terlalu merisaukan keadaan ibu di sana. Setidaknya sekarang ibu bisa bertahan tanpaku. Ibu bisa menghidupi dirinya sendiri. Kini, giliran aku yang harus memperjuangkan hidupku agar tak selalu dianggap babu.[Alhamdulillah kalau begitu, Mbak. Terima kasih informasinya ya. Semoga rezeki kita sama-sama lancar dan berkah. Salam juga buat keluarga Mbak Santi di sana.]Kukirimkan balasan untuknya. Bertepatan dengan itu, sebuah pesan masuk ke aplikasi hijauku. Pesan dari nomor yang tak kukenal. Entah darimana dia mendapatkan nomorku. Sepertinya bukan salah kirim, tapi dia tahu betul siapa penerima pesannya itu.***[Kamu nggak diajak kondangan suamimu? Kasihan sekali. Pasti nggak dianggap sebagai istri dan menantu kan? Kamu harus tahu, kalau Azka sebenarnya belum move on dengan istri pertamanya. Dia sangat mencintai Viona. Azka pasti nggak bahagia hidup bersamamu]Aku mengabaikan pesan itu. Endah dapat nomorku darimana juga aku tak tahu. Tiba-tiba saja pesan itu muncul di aplikasi hijauku dengan beberapa foto yang baru kuunduh. Aku masih menggulir foto-foto itu dan memperbesar fotonya untuk melihat lebih jelas bagaimana sosok Viona sebenarnya.Cantik, menarik dan seksi.Itulah yang kutangkap dari paras, senyum dan tubuhnya saat berdiri di samping Mas Azka. Viona memang sesempurna itu. Pantas jika Mas Azka tak bisa move on. Jika dibandingkan denganku jelas kalah jauh.Wajahku kusam dan berjerawat, tubuh cukup berisi dan selalu memakai pakaian longgar bahkan berhijab lebar. Tak tampak keseksianku di mata lelaki. Sangat berbeda jauh dengan Viona yang menampilkan kulit mulus dan kaki jenjangnya.Dre
[Maaf kalau aku baru kasih kabar sekarang, Na. Acaranya lumayan ramai, makanya aku telat kasih kabar kalau mama pengin nginep di sini. Mama bilang mumpung banyak kerabat yang datang, sekalian temu kangen. Kamu nggak apa-apa di rumah sendiri kan?]Kuhela napas panjang setelah membaca pesan dari Mas Azka barusan. Ternyata kekhawatiranku sebelumnya menjadi kenyataan. Mereka menginap lagi dan lagi. Beberapa kali hajatan tanpa mengajakku, tiap itu pula mereka seolah sengaja membuatku tak berarti. Pulang dan pergi sesuka hati tanpa pernah memikirkan bagaimana perasaanku selama ditinggal sendiri.Rupanya Mas Azka dan keluarganya memang tak memiliki hati. Mereka tak mau peduli dengan perasaan orang lain, yang penting diri sendiri sudah happy. Sakit sih, tapi mau bagaimana lagi jika memang merekalah keluarga baru yang dikirimkan Allah padaku.Meski begitu aku cukup bersyukur karena mereka membantu keluargaku membungkam mulut debt collector kala itu. Meski kini hanya dijadikan pembantu, setidak
Urusan memasak sudah beres. Aku melanjutkan pekerjaan lain yang belum usai. Menyapu halaman, menjemur baju dan membersihkan kamar mandi. Rencananya setelah semua kelar aku akan fokus promosi dagangan Mbak Santi. Semoga saja hari ini ada barang yang terjual, jadi bisa menabung sedikit demi sedikit untuk melunasi hutang.Tak banyak hal yang kuinginkan saat ini. Aku hanya berharap ibu baik-baik saja di sana dan aku bisa melewati semua ujian ini dengan baik. Jika mereka memiliki rencana lain untuk menjebakku di sini, aku juga memiliki rencana berbeda dan tak sepolos sebelumnya.Jarum jam menunjuk angka sembilan saat semu urusan pekerjaan kelar. Setelah membersihkan badan dan ganti pakaian, aku beranjak ke ranjang. Sedikit menyelonjorkan kaki lalu merebahkan badan. Rasanya cukup lelah, tapi mendadak semangat itu hadir saat kulihat sebuah pesan masuk di layar. Bukan pesan dari nomor nggak dikenal itu lagi, tapi dari nomor baru yang menanyakan daganganku.[Mbak, hijab model ini warna hitam m
Aku berusaha tetap tenang. Tak ingin memperkeruh keadaan, aku memilih kembali ke dapur untuk menyiapkan peralatan makan dan meletakkannya di meja. Kudengar dari mama kalau mereka belum makan siang, makanya tanpa diminta aku sudah menyiapkan semuanya.Rani pun datang untuk mengambilkan makan siang Arga. Jagoan kecil itu duduk di sofa ruang tengah sembari menikmati serial kesukaannya saat Rani datang membawa sepiring nasi dengan nila gorengnya. Arga semringah. Dia bilang ingin segera disuapi oleh mamanya karena sudah cukup lapar.Tak selang lama, Nina ikut bergabung dengan kakaknya. Dia sudah kelar mandi dan berganti pakaian. Sementara Azka baru keluar kamar dengan rambut basahnya. Dia menatapku beberapa saat lalu menghela napas kasar. Entah apa yang ada dalam benaknya saat ini. Aku ingin sekali bertanya, tapi dia buru-buru ke ruang tengah dan duduk di samping keponakannya."Kamu nggak tanya sama istrimu ngapain aja dia di rumah, Ka?" tanya mama saat keluar kamar.Dia melirikku sinis la
Suasana masih tak mengenakkan sejak kejadian tadi siang. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang dan tak tersulut emosi. Walau bagaimanapun aku tahu statusku sebagai istri. Aku tak ingin durhaka pada suami."Mas, gimana kabar Mbak Viona? Apa dia juga datang di hajatan kemarin?" tanyaku iseng.Aku hanya ingin tahu bagaimana tanggapan Mas Azka saat kutanyakan kabar mantan istrinya itu. Kenapa seolah dia bebas berdekatan dan bersenda gurau dengan mantan istrinya, sementara aku tak boleh berdekatan dengan siapapun? Bahkan sekadar menerima paket saja sudah dicurigai dan dituduh macam-macam.Mas Azka menghentikan aktivitasnya sejenak. Aku lihat dari gerak-geriknya cukup salah tingkah. Apa dia menutupi sesuatu dariku sampai segelisah itu? Pikiranku mendadak kemana-mana saat melihat ekspresinya yang berubah seketika. Dia menatapku sekilas lalu kembali fokus pada layar handphonenya."Apa kalian bertemu di sana dan ngobrol banyak berdua?" tanyaku lagi sengaja memancingnya agar bicara."Kenapa ti
[Mbak Ratna, Mbah Rum tanya mau ke sini jam berapa, soalnya sekarang masih ada hajatan kecil-kecilan di rumah tetangga. Kebetulan Mbah Rum diminta untuk bantu-bantu di sana]Handphone di saku gamisku kembali bergetar. Kurogoh benda pipih itu lalu melihat layarnya. Pesan dari Fina kembali muncul di sana. Aku memang sudah janji akan ke rumah ibu sore ini, tapi jika tak diizinkan pulang sekarang aku minta besok pagi saja.Lagipula sekarang aku harus mengikuti ajakan Mas Azka untuk cek cctv itu di rumah Pak Ahmad. Jika mengelak, dia pasti akan semakin curiga dan menuduhku macam-macam. Aku nggak mungkin diam saja dengan fitnah menjijikkan itu."Pesan dari siapa?" tanya Mas Azka saat melewatiku."Dari Fina, tetangga ibu," balasku singkat."Mau ngapain lagi?" tanyanya seolah tak suka jika Fina sering bertukar kabar denganku.Mas Azka tahu jika dari Finalah aku mendapatkan kabar tentang ibu. Ibu biasa menitipkan pesan padanya."Ibu minta aku pulang sebentar, Mas. Kalau nggak sore ini bisa bes
"Mau kemana, Mas?" tanya Nina yang baru keluar dari kamar mandi."Mau ke rumah Pak Ahmad cek cctvnya. Benar apa nggak kalau lelaki itu masuk rumah saat kita nggak ada di sini," balas Azka sembari menghela napas panjang.Nina manggut-manggut lalu melirik kakak iparnya yang masih berdiri di samping suaminya."Kenapa melamun, Mbak? Takut kedoknya akan terbongkar?" sindir Nina dengan senyum sinisnya."Kedok? Selama ini aku nggak pernah pakai kedok atau topeng. Jadi, ngapain takut terbongkar segala. Maaf ya, aku nggak suka drama dan yang pasti aku nggak melakukan apa yang kamu tuduhkan. Sekalipun dunia menghukumku, kalau aku nggak salah ngapain aku takut. Satu hal yang harus diingat, Allah Maha Melihat dan Maha Tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukan begitu, Nin?" Aku menatapnya lagi lalu tersenyum tipis. Nina mencebik."Jadi ke rumah Pak Ahmad sekarang, Mas?" tanyaku pada Mas Azka yang terlihat masih bimbang."Kalau kamu curiga aku bermain api di rumah ini saat kamu pergi, ayo ke rumah Pa
"Kamu masih curiga kalau aku selingkuh, Mas?" tanyaku saat Mas Azka terdiam beberapa saat lamanya. Dia tak menanggapi apapun yang dikatakan Nina, lalu diiyakan oleh mama."Setelah melihat cctv itu, apa kamu masih tetap mencurigaiku? Kamu bisa cek handphoneku kalau masih nggak percaya. Aku benar-benar nggak ada hubungan apapun sama laki-laki itu. Nggak kenal juga." Aku kembali menjelaskan.Berulang kali menjelaskan pada keluarga suamiku, tapi sepertinya mereka tak percaya dan tetap saja mencurigaiku. Sekarang aku tak peduli bagaimana sikap mereka, yang penting Mas Azka percaya apa yang kukatakan. Detik ini aku merasa memiliki kewajiban untuk menjelaskan ulang padanya agar dia tak ikut curiga seperti keluarganya.Aku tahu Mas Azka belum mencintaiku karena pernikahan ini memang berawal dari perjodohan, tapi sebagai istrinya aku memiliki kewajiban untuk membuatnya percaya. Aku tak ingin dituduh macam-macam oleh suamiku sendiri, apalagi menyangkut soal harga diri."Aku sudah cek buket dan