"Kamu masih curiga kalau aku selingkuh, Mas?" tanyaku saat Mas Azka terdiam beberapa saat lamanya. Dia tak menanggapi apapun yang dikatakan Nina, lalu diiyakan oleh mama."Setelah melihat cctv itu, apa kamu masih tetap mencurigaiku? Kamu bisa cek handphoneku kalau masih nggak percaya. Aku benar-benar nggak ada hubungan apapun sama laki-laki itu. Nggak kenal juga." Aku kembali menjelaskan.Berulang kali menjelaskan pada keluarga suamiku, tapi sepertinya mereka tak percaya dan tetap saja mencurigaiku. Sekarang aku tak peduli bagaimana sikap mereka, yang penting Mas Azka percaya apa yang kukatakan. Detik ini aku merasa memiliki kewajiban untuk menjelaskan ulang padanya agar dia tak ikut curiga seperti keluarganya.Aku tahu Mas Azka belum mencintaiku karena pernikahan ini memang berawal dari perjodohan, tapi sebagai istrinya aku memiliki kewajiban untuk membuatnya percaya. Aku tak ingin dituduh macam-macam oleh suamiku sendiri, apalagi menyangkut soal harga diri."Aku sudah cek buket dan
"Senin sore aku pulang, Mas." Mas Azka mengangguk tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Dia masih fokus dengan handphonenya seperti biasa sekalipun berusaha mengulurkan tangannya saat kuminta. Tak terlalu peduli dengan sikap acuhnya, sebagai seorang istri aku tetap menghormati statusnya. Izin saat akan pergi dan mencium punggung tangannya saat berpamitan. Jika dia tak pernah menganggapku ada ataupun tak mau menghargaiku sebagai istrinya, biarlah itu menjadi urusannya sendiri. Yang penting aku tetap menghargai statusnya sebagai suami. Aku tak ingin menjadi istri durhaka hanya karena suamiku tak peka. Aku tak ingin mengabaikan tanggungjawabku, meski dia selalu tak peduli dengan tanggung jawabnya. Lagi dan lagi biarlah, aku yakin suatu saat nanti ada masanya dia akan menyesali semua kekhilafannya ini. "Jangan lupa, sebelum pergi urusan rumah beresin dulu!" perintah Mas Azka saat aku membuka pintu kamar. "Sudah beres semua kok, tenang saja. Aku tahu tugasku sebagai istri dan menantu di
Malam ini aku benar-benar nggak bisa tidur. Berbagai pertanyaan mondar-mandir di benak. Berulang kali menerka-nerka, tapi yang ada justru semakin sakit kepala. Untuk bertanya pada ibu pun bukan solusi yang tepat karena kutahu ibu seolah berat menjelaskannya. Aku tak mungkin memaksa ibu untuk menceritakan semuanya, sementara dia sudah bilang besok akan dijelaskan oleh Pak Wildan. Widan. Perumahan Permata, jalan Kusuma Bangsa nomor 35. Nama dan jalan itu terpahat jelas di benakku. Aku tak tahu siapa sebenarnya Pak Wildan dan siapa sebenarnya Hamis Kuncoro Adi. Namun, nama yang terakhir itu jelas disebut penghulu saat melakukan ijab qabulku. Itu artinya, itu adalah nama bapak kandungku. Bapak yang kutahu telah tiada beberapa tahun silam. Lelaki sederhana dengan senyum dan tawa khasnya. Lelaki terhebat yang begitu menyayangi ibu dan aku. Dia yang berjuang sekuat tenaga untuk kebahagiaan keluarga, meski terkadang mengabaikan kebahagiaannya sendiri. Aku tak tahu apa yang akan dijelaskan
"Oke, Ratna. Saya ceritakan sedikit soal ini supaya kamu nggak bertanya-tanya," ucap laki-laki itu begitu ramah. Senyum tipis sering kali terlukis di wajahnya yang menua. "Baik, Pak," balasku singkat. Ibu pun menoleh lalu mengangguk pelan ke arahku. "Saya ini pengacara keluarga Pak Hamis Kuncoro Adi. Saya sudah tahu maksud kedatanganmu dan ibu ke sini karena memang sudah kami bahas sejak tiga tahun yang lalu."Laki-laki itu mulai menjelaskan. Tanpa menunggu balasanku, dia langsung membuka sebuah map biru dan memeriksa berkas-berkas di dalamnya."Baiklah, langsung saja. Ini jatah yang diberikan bapak untuk Ratna. Coba Ratna dan Bu Sumi baca terlebih dahulu. Kalau sudah selesai dibaca, nanti saya jelaskan jika memang ada yang belum dimengerti," ucap Pak Wildan tenang saat menyerahkan dua buah berkas itu padaku.Aku dan ibu mulai membacanya perlahan. Mataku terbelalak seketika saat membaca tulisan yang tertera di sana. Kulirik wajah ibu yang terlihat biasa saja. Bagaimana mungkin ibu s
"Ibu sudah lega sekarang, Na. Kamu sudah tahu siapa kedua orang tuamu yang sebenarnya. Kamu juga sudah menerima apa yang menjadi hakmu selama ini. Ibu nggak tahu kalau Pak Hamis akan memberikan warisan sebanyak itu. Andai ibu tahu, ibu nggak akan rela kamu mengorbankan dirimu demi lima puluh juta itu," lirih ibu sembari menghela napas panjang. "Memangnya kenapa, Bu? Ratna sudah menikah dan itu yang ibu inginkan selama ini kan? Ibu pengin lihat Ratna menikah dan hidup bahagia," balasku berusaha menenangkannya. Aku nggak mau ibu semakin curiga dan tahu bagaimana kehidupanku bersama Mas Azka. "Kamu tak perlu menutupi semuanya, Na. Ibu tahu bagaimana karakter suami dan keluarganya. Mereka pasti tak pernah menghargai kehadiranmu kan? Kamu pasti tersiksa hidup bersama mereka, buktinya wajahmu tak seceria dulu saat bersama ibu. Badanmu pun jauh lebih kurus. Kamu pasti menderita di sana. Iya kan?" Ibu menatapku lekat lalu mengusap pipiku pelan. Aku menggeleng. Lagi-lagi karena tak ingin me
"Semua perabotan di rumah itu sudah lengkap. Kapan saja Bu Sumi sama Mbak Ratna mau pindah ke sana silakan. Saya tak akan ikut campur soal itu," ucap Pak Wildan setelah sampai rumahnya. Aku dan ibu mengangguk bersamaan. Tak lupa kembali mengucapkan terima kasih. Entah sudah berapa kali kata itu keluar dari mulutku dan ibu. Rasanya, seribu kali pun tak cukup jika hadiah yang kudapatkan sebesar ini. Bisa dibilang Allah benar-benar mengubah kehidupanku 180 derajat. "Sekarang saya sangat lega karena semua tugas saya tuntas. Mbak Ratna dan Bu Sumi juga sudah melihat makam bapak. Lain waktu kalian bisa ziarah ke sana tanpa saya, tapi seperti yang saya pesankan tadi, kalau ada orang lain yang ziarah di sana sebaiknya kalian menghindar saja. Semua demi kebaikan bersama. Istri bapak pasti tak terima jika mereka tahu tentang warisan itu." Pesan Pak Wildan lagi. "Baik, Pak. Kami mengerti. Sebenarnya saya juga ingin berkenalan dengan keluarga papa yang lain, tapi jika keadaan tak memungkinkan
Lega. Akhirnya semua urusan beres. Warisan dari papa yang terduga itu membuat semangatku meningkat seratus persen. Aku pun jauh lebih tenang setelah ibu pindah ke rumah baru. Setidaknya ada teman yang akan mengajaknya bicara, jadi ibu tak akan merasa kesepian. Jika sakit pun ada yang merawatnya. Aku memutuskan untuk membawa ibu ke rumah baru tanpa harus menjual rumah yang lama. Walau bagaimana pun rumah itu, rumah kenangan ibu. Perjuangan dan hasil keras ibu saat muda dulu ketika masih bekerja di rumah almarhum mama dan papa, katanya. Meski aku yang membujuknya pindah, tapi aku tak akan memaksa ibu untuk betah di rumah itu. Jika memang nggak betah, kapan saja ibu bisa balik ke rumah sederhananya. Ibu bilang tak ingin mempromosikan rumah itu dulu, takutnya ibu nggak betah sementara rumah lama sudah ada yang mengontrak. Aku pun setuju. Apapun keputusan ibu soal rumah itu aku mengiyakannya. Aku hanya ingin membuat ibu bahagia. Jika dia lebih bahagia di rumahnya yang lama, aku pun tak b
Mas Azka kecelakaan? Kok bisa? Dimana? Kapan? Sekarang masih di tempat kejadian atau sudah dibawa ke rumah sakit? Pikiranku mendadak kacau. Banyak pertanyaan yang lalu lalang di otak. Tak menyangka baru tiga hari kutinggal pergi ada musibah seperti ini yang menimpanya. "Bukannya buru-buru malah diam kaya' patung di situ! Kamu nggak denger ucapan mama barusan kalau Azka kecelakaan?" sentak mama sembari berkacak pinggang.Omelan mama membuatku buru-buru masuk kamar dan ganti baju. Kilat tanpa make up. Segera kupakai kaos kaki coklat berbunga dan menyambar tas kecil di atas meja rias."Ratnaaaaa! Kamu bisa nggak sih kilat sedikit?! Lemot banget jadi perempuan. Yang sat set gitu bisa dong!" teriak mama lagi dari arah garasi. Entahlah aku kalau sedang bingung memang mendadak lemot. Otakku berasa ngeblank dengan sedirinya. "Cepat masuk!" titah mama dengan melotot tajam."Ke rumah sakit Husana Persada ya, Pak," ucap mama pada supir taksi. Volume suaranya sudah distandarkan, tak seperti sa