Lega. Akhirnya semua urusan beres. Warisan dari papa yang terduga itu membuat semangatku meningkat seratus persen. Aku pun jauh lebih tenang setelah ibu pindah ke rumah baru. Setidaknya ada teman yang akan mengajaknya bicara, jadi ibu tak akan merasa kesepian. Jika sakit pun ada yang merawatnya. Aku memutuskan untuk membawa ibu ke rumah baru tanpa harus menjual rumah yang lama. Walau bagaimana pun rumah itu, rumah kenangan ibu. Perjuangan dan hasil keras ibu saat muda dulu ketika masih bekerja di rumah almarhum mama dan papa, katanya. Meski aku yang membujuknya pindah, tapi aku tak akan memaksa ibu untuk betah di rumah itu. Jika memang nggak betah, kapan saja ibu bisa balik ke rumah sederhananya. Ibu bilang tak ingin mempromosikan rumah itu dulu, takutnya ibu nggak betah sementara rumah lama sudah ada yang mengontrak. Aku pun setuju. Apapun keputusan ibu soal rumah itu aku mengiyakannya. Aku hanya ingin membuat ibu bahagia. Jika dia lebih bahagia di rumahnya yang lama, aku pun tak b
Mas Azka kecelakaan? Kok bisa? Dimana? Kapan? Sekarang masih di tempat kejadian atau sudah dibawa ke rumah sakit? Pikiranku mendadak kacau. Banyak pertanyaan yang lalu lalang di otak. Tak menyangka baru tiga hari kutinggal pergi ada musibah seperti ini yang menimpanya. "Bukannya buru-buru malah diam kaya' patung di situ! Kamu nggak denger ucapan mama barusan kalau Azka kecelakaan?" sentak mama sembari berkacak pinggang.Omelan mama membuatku buru-buru masuk kamar dan ganti baju. Kilat tanpa make up. Segera kupakai kaos kaki coklat berbunga dan menyambar tas kecil di atas meja rias."Ratnaaaaa! Kamu bisa nggak sih kilat sedikit?! Lemot banget jadi perempuan. Yang sat set gitu bisa dong!" teriak mama lagi dari arah garasi. Entahlah aku kalau sedang bingung memang mendadak lemot. Otakku berasa ngeblank dengan sedirinya. "Cepat masuk!" titah mama dengan melotot tajam."Ke rumah sakit Husana Persada ya, Pak," ucap mama pada supir taksi. Volume suaranya sudah distandarkan, tak seperti sa
Tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya dokter bilang jika besok pagi Mas Azka sudah diijinkan untuk pulang. Sebenarnya sekarang dia juga sudah tampak sehat, meski masih sedikit pucat. Perban di dahinya juga sudah dilepas. Syukurlah.Setelah melewati keribetan dan kekesalan selama tiga hari ini, akhirnya besok sudah bisa agak tenang buat selonjoran di rumah.Gimana nggak kesal? Tiap hari perempuan ulat bulu itu selalu saja cari gara-gara. Dia selalu menyudutkanku di depan Mas Azka dan mama. Seperti detik ini. Dia mulai bikin kehebohan lagi."Ma, ini aku bawakan makan malam buat mama dan Mas Azka. Cumi saus tiram sama udang saus padang kesukaan mama," ucapnya saat aku masih sibuk mengupas jeruk buat Mas Azka."Maaf ya, Mbak. Cuma dua porsi belinya. Aku kira kamu pulang sama Nina," ucap perempuan itu lagi ke arahku. Aku hanya tersenyum sembari menaikkan kedua alis. Bilang saja pelit dan sengaja mau pamer di depanku. Pakai alasan ini itu segala. Dari kemarin kok alasannya selalu sama
POV : AZKAPengkhianatan Viona benar-benar membuatku kehilangan akal. Aku sangat mencintainya. Dia adalah cinta pertamaku. Banyak pengorbanan dan pembuktianku untuk mendapatkan cinta dan restu orang tuanya. Namun, tak pernah kusangka, pernikahan yang baru berumur lima belas bulan berujung pada perceraian.Aku begitu murka saat tahu dia bersama laki-laki lain dinner di sebuah restoran. Tak hanya sekali, tapi berulang kali. Laki-laki yang tak lain dan tak bukan adalah Rizal, sahabatku sendiri. Rasa sakit itu bertambah perih saat aku dengar mereka sudah dua kali liburan bersama. Dengan alasan pekerjaan, ternyata mereka sudah membodohiku selama ini.Viona begitu bangga dengan kecantikan dan keseksiannya hingga sengaja bermain mata dengan beberapa pria. Karena dia tahu, banyak laki-laki yang jatuh cinta padanya. Seolah ingin bilang bahwa jika tak menjadi istriku pun tak masalah, karena masih banyak lelaki yang mendambakannya.Emosiku memuncak hingga kutampar dia di depan orang banyak. Beru
Pasca salat subuh di musholla rumah sakit, aku bergegas membereskan pakaian dan barang-barang milik Mas Azka. Sebelum jam sembilan Mas Azka harus sudah pulang. Nina membawakan sarapan untuk mama dan Mas Azka, sedangkan aku terbiasa membeli semuanya sendiri. Aku nggak kaget sama sekali."Ma, administrasi sudah kelar kan?" tanya Nina setelah selesai makan bubur ayamnya. Mama dan Mas Azka mengangguk pelan."Oh iya, Nin. Coba telepon Kak Viona. Mama mau bilang terima kasih padanya karena sudah membayar semua biaya Azka," ucap mama lagi setelah minum jus alpukat favoritnya."Oke deh, Ma," jawab Nina cepat setelah menyelesaikan sarapan.Aku diam saja mendengarkan obrolan mereka, sesekali mengobrol dengan Ayesha via whatshapp. Dia adalah teman sekolah plus tetangga kostku dulu saat bekerja di pabrik garmen. Rumahku dengannya pun tak terlalu jauh. Hanya beda desa saja, tapi setahun belakangan dia memang menetap di luar kota.Setelah lulus les pembuatan web dan aplikasi android di Jogjakarta t
[Sha, untuk besok aku sepertinya belum bisa ke rumahmu. Tahu sendiri suamiku baru pulang dari rumah sakit. Dia belum sehat betul. Nanti kalau dia sudah mulai sehat, InsyaAllah aku main ke rumah. Kalau kamu sudah pindah ke rumah baru, nanti share loc saja ya]Kukirimkan sebuah pesan pada Ayesha. Dia pasti sudah menunggu jawabanku dari tadi. Sejak di rumah sakit, aku belum menjawab pertanyaannya justru ngobrol masalah lain. Tentang pernikahannya yang tak mengundangku dan tentang anak pertamanya.Dia bilang pernikahannya cukup mendadak bahkan menikah di rumah sakit atas permintaan almarhum ayah mertuanya. Beliau ingin menyaksikan pernikahan anak semata wayangnya yang tak lain adalah suami Ayesha, sebelum benar-benar pergi. Oleh sebab itulah, semua serba mendadak dan tak menyebar undangan. Benar-benar seperti kisah dalam sinetron saja. [Oke, deh kalau begitu. Untuk pembagian hasil kerja sama kita setahun lalu, aku transfer saja bagaimana? Kamu pasti sedang membutuhkan uang, kan? Apalagi
Hari ini Mas Azka sudah bisa beraktivitas seperti biasanya. Aku bernapas lega, setidaknya dia tak lagi manja dan ribet seperti anak kecil lagi. Pagi buta aku sudah membuat nasi goreng untuknya. Sisa telur sebiji di kulkas, kubuatkan saja telur mata gajah. Kalau mata sapi sepertinya sudah terlalu mainstream.Kulihat Mas Azka mulai menarik kursi dan mendudukinya. Dia menatap nasi goreng tanpa kecap dengan telor goreng ceplok di atas piringnya."Cuma ini sarapan pagiku, Na? Nggak salah? Kamu bisa membeli pizza, iga bakar, sup dan makanan enak di luar. Sedangkan suamimu hanya kamu siapkan nasi goreng pucat dengan sepotong telur?" tanyanya malas.Aku hanya mendengkus kesal. Bukannya terima kasih aku sudah membuatkannya sarapan, dia justru tak terima. Memangnya selama hampir dua bulan menjadi istrinya, dia sudah memberiku nafkah berapa? Seribu rupiah pun dia tak menafkahiku. Sudah jelas kemarin aku bayar semua pengobatannya, tapi begitu dia gajian semua diberikan ke mama. Alasannya, aku ha
"Mas, mulai besok aku mau kerja, ya?" Aku izin pada Mas Azka yang duduk santai di sofa. Dia menoleh malas ke arahku yang masih membuka gorden jendela. "Baguslah kalau mau kerja jadi nggak cuma numpang makan tidur aja di rumah ini. Ingat, pekerjaan rumah harus sudah beres semua sebelum kamu berangkat kerja," ucap mama tiba-tiba. Aku tersenyum sinis mendengar ucapan mama. Numpang makan, katanya? Bahkan sampai hari ini aku masih sering beli bahan masakan untuk orang satu rumah kalau mama belum belanja dan itu semua pakai duitku sendiri. Bisa-bisanya disebut numpang makan. "Beres itu, Ma. Mulai besok Mbak Sarti kembali kerja di sini kok. Jadi, santai saja," jawabku cepat. Mama dan Mas Azka tampak begitu kaget. "Sarti?" Mereka teriak bersamaan. Saling tatap lalu menoleh ke arahku lagi."Iya, Mbak Sarti. Asisten yang sudah kalian pecat." "Ngapain manggil Sarti lagi? Kan sudah ada kamu yang gantiin dia beberes rumah," ucap mama dengan suara meninggi. "Kamu pikir gaji Sarti itu murah? A