"Ratna!" panggilan mama membuatku segera membuka pintu kamar mandi."Gimana hasilnya?" tanyanya cepat. Aku hanya tersenyum tipis menatap kedua bola matanya yang menyiratkan penasaran."Coba sini lihat tespeknya!" pinta mama sembari menyodorkan tangannya ke arahku. "Alhamdulillah negatif, Ma," ucapku pelan. Kuserahkan benda pipih kecil itu padanya. "Negatif kamu bilang Alhamdulillah?" sentak mama lagi dengan mata membulat lebar. Aku hanya mengerutkan alis mendengar ucapannya. Entah mengapa mama semurka itu melihatku lega dengan hasil tespeknya. Apa benar mama sangat menginginkan seorang cucu dariku? Bisa-bisanya! Aku nggak sebodoh yang dia bayangkan. Sebelum terlambat, tentu aku sudah KB lebih dulu. Hanya saja tadi aku takut ada hal-hal lain yang tak diinginkan makanya cukup shock saat haidku telat. "Bukannya mama takut aku hamil dengan laki-laki lain? Mama nggak mau punya cucu yang nggak jelas nasabnya kan? Makanya Alhamdulillah aku nggak hamil dan nggak bikin mama malu." Aku kemb
Aku dan Ayesha mulai membuka laptop. Dia memperlihatkan beberapa websitenya. Tema yang dia pilih tentang furniture modern dan classic untuk rumah. Semua menggunakan bahasa inggris karena memang target viewersnya untuk luar negeri. Dia bilang, sebagai publisher goo*le adsense, aku harus bisa membuat artikel, upload gambar-gambar yang bagus dan konsisten agar blog atau website yang kita buat semakin banyak pengunjungnya. Semakin banyak pengunjung akan semakin besar peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih dari iklan yang ditampilkan di website kita. Ayesha mulai mengajariku bagaimana caranya membeli domain dan hosting, cara mendaftar atau membuat akun goo*le adsense dan mengunggah gambar-gambar yang sesuai dengan tema website atau blog kita. Untuk membuat aplikasi android, akan dia jelaskan seiring berjalannya waktu. Setelah aku mulai memahami pembuatan website atau blog ini, katanya. Semua membutuhkan proses dan keseriusan karena segala sesuatu tak ada yang instan. "Ini aplikasi
"Assalamu'alaikum, Bu," sapaku saat kulihat ibu masih asyik menonton sinetron favoritnya di ruang keluarga. Wanita terhebatku itu tampak kaget melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Aku memang nggak mengabarinya terlebih dulu saat akan datang ke sini. "Wa'alaikumsalam, Na. Kamu ke sini kenapa nggak ngabari ibu dulu," ucap ibu yang masih cukup terkejut melihatku. Kucium punggung tangannya yang mengeriput lalu mencium kedua pipinya. Ibu menepuk bahuku pelan."Maaf kalau cukup mengagetkan ibu. Mulai hari ini, Ratna memutuskan untuk tinggal di sini saja sama ibu," balasku pelan. Kujatuhkan badan ke sofa yang begitu empuk dan nyaman. Saat di rumah mama, belum pernah sekali pun aku bisa tiduran di atas sofa begini. Baru duduk sebentar, dia pasti sudah menyuruhku ini dan itu. Mama seolah sengaja membebankan perkejaan rumah yang tak ada habisnya, membuat hari-hariku begitu buruk dan membosankan."Azka sudah tahu tentang semua ini, Na?" tanya ibu dengan mimik serius. Aku hanya menggeleng kec
"Ratna ... jawab pertanyaan ibu. Apa benar kabar yang ibu dengar itu?" ulang ibu dengan cemasnya." Kuhela napas panjang lalu mengusap pelan lengan ibu untuk sedikit menenangkan. "Desas-desus itu memang benar, Bu. Sudahlah. Ibu tak perlu merisaukan kabar itu. Pokoknya sekarang Ratna ingin membuka lembaran baru. Ratna tak sanggup lagi menjadi istri Mas Azka. Ratna capek. Hampir semua pekerjaan rumah, Ratna yang kerjakan. Sepertinya mereka sengaja mencari menantu sekaligus untuk dijadikan pembantu. Beruntung Ratna belum hamil, jadi bisa benar-benar bebas dan lepas jika sudah bercerai dengan Mas Azka nanti. Coba kalau sudah hamil, apalagi memiliki buah hati. Mereka pasti melakukan berbagai cara untuk merecoki kehidupan Ratna di kemudian hari." Terpaksa kuceritakan semua alasan perceraianku pada ibu. Aku nggak ingin ibu makin berpikir macam-macam. Aku akan merasa amat bersalah kalau sampai tensi ibu naik lagi hanya gara-gara memikirkan masalahku ini. "Astaghfirullah ... astaghfirullah .
Sejak dua hari yang lalu, aku sudah mencari salon terbaik di kota ini untuk melakukan perawatan wajah dan badan. Mulai detik ini, aku tak ingin lagi diremehkan oleh Mas Azka soal penampilan apalagi dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya itu. Setidaknya agar dia sadar jika ingin melihat istrinya cantik dan modis dia juga harus mengeluarkan modal. Sekiranya tak sanggup memberikan dana, mungkin lebih baik jika diam. Semakin dia menghina istrinya, semakin membuatnya terlihat buruk karena menguliti aib sendiri. Selain itu, aku juga akan membuktikan pada keluarga dzalim itu jika hidupku jauh lebih bahagia setelah tak bersama dengan mereka. Mereka pasti menyesal dan shock saat melihatku mendadak kaya. Bukan soal dendam dan sebagainya, aku hanya ingin mereka sadar jika Allah bisa mengubah kehidupan hambaNya dengan mudah dalam sekejap mata jika DIA berkehendak. Jadi, buat apa merasa paling tinggi bahkan merendahkan yang lainnya?[Kenapa nggak kirim nomor rekeningnya, Mas?] Kukirimkan
"Berani-beraninya mengancamku! Heh, kamu nggak tahu siapa aku?!" sentak Viona tak mau kalah. "Tahu. Kamu hanya mantan suamiku yang kini berusaha mendekatinya lagi setelah dia berusaha move on dari perempuan tukang selingkuh sepertimu," balasku sekenanya. Wajah Viona memerah. Dia pasti tak terima dengan jawabanku. Aku tak peduli."Asal kamu tahu, Mas Azka nggak mungkin bisa move on! Dia terlalu mencintaiku. Dasar perempuan tak tahu diri. Mimpimu terlalu tinggi untuk membuatnya jatuh cinta padamu. Mengerti!" Aku menatapnya sembari tersenyum miring. "Mengerti, Nona Viona. Silakan ambil suamiku kalau kamu mau. Aku tak membutuhkannya lagi," bisikku dengan sedikit penekanan. Dua karyawan salon itu berusaha menenangkan Viona yang makin meradang. Mereka menarik tangan Viona yang nyaris melemparku dengan vas bunga. Malas berdebat, aku sengaja keluar salon agar mereka tahu jika aku bukanlah Ratna yang dulu. Aku yakin mereka akan mengintip dan mengikuti kemana aku pergi. Benar saja, dua per
"Nin ... Nina!" Viona menggoyang-goyangkan tubuh Nina yang mendadak pingsan. Aku diam saja, masih asyik membaca majalah yang kubawa dari mobil tadi sambil menunggu karyawan salon yang akan membersihkan rambutku. Ini salon khusus perempuan, jadi tak ada laki-laki keluar masuk sembarangan. "Tanggung jawab kamu, Na! Pakai acara menghalu segala. Pingsan 'kan dia," ucap Viona tiba-tiba. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan kesal, sementara aku hanya mengernyit.Menghalu, katanya? Rupanya dia masih nggak percaya dengan cerita Anggun barusan. Mungkin masih begitu yakin kalau aku sesuai dengan prasangkanya. Oh, yasudahlah terserah apa maunya. Lagipula aku juga malas berdebat dengan perempuan sepertinya. Buang-buang waktu dan tenaga saja. "Heh, malah enak-enakan baca majalah. Bantuin nih adik iparmu. Bikin ribet aja pakai pingsan segala. Mau perawatan jadi gagal," sungut perempuan itu lagi. Aku masih bergeming dan hanya melirik sekilas. "Kamu nggak tuli kan?!" sentak Viona sembari berusaha
"Kamu dapat warisan, Na?" tanya mama menyela. "Kalau iya, kenapa? Kalau nggak, juga kenapa? Sudahlah. Bukan urusan mama dan Mas Azka," jawabku lagi. "Jelas masih urusan Azka dong, Na. Kalian masih sah suami istri," ucap mama cepat. Giliran urusan harta saja kalian gerak cepat. Dasar keluarga mata duitan!"Benar kata mama, Na. Kita masih sah suami istri. Jadi, apa yang kamu miliki itu juga milikku." Mas Azka begitu bersemangat. "Enak aja! Kamu nggak ada hak di sana ya, Mas. Lagipula aku sudah bilang kemarin sama kamu. Aku mau kita cerai. Aku nggak sudi lagi punya suami dan mertua dzalim seperti kalian. Jadi, jangan coba-coba mengambil keuntungan," jawabku lagi. Kutekankan kata dzalim dan keuntungan di sini agar mereka tahu diri. Aku yakin Mas Azka sengaja menyalakan speaker handphonenya agar mama atau mungkin Nina bisa ikut mendengar obrolan ini. "Nggak akan! Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Aku nggak mau cerai, Ratna!" ucap Mas Azka tegas. "Terserah kamu, Mas. Kalau kamu me