Aku dan Ayesha mulai membuka laptop. Dia memperlihatkan beberapa websitenya. Tema yang dia pilih tentang furniture modern dan classic untuk rumah. Semua menggunakan bahasa inggris karena memang target viewersnya untuk luar negeri. Dia bilang, sebagai publisher goo*le adsense, aku harus bisa membuat artikel, upload gambar-gambar yang bagus dan konsisten agar blog atau website yang kita buat semakin banyak pengunjungnya. Semakin banyak pengunjung akan semakin besar peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih dari iklan yang ditampilkan di website kita. Ayesha mulai mengajariku bagaimana caranya membeli domain dan hosting, cara mendaftar atau membuat akun goo*le adsense dan mengunggah gambar-gambar yang sesuai dengan tema website atau blog kita. Untuk membuat aplikasi android, akan dia jelaskan seiring berjalannya waktu. Setelah aku mulai memahami pembuatan website atau blog ini, katanya. Semua membutuhkan proses dan keseriusan karena segala sesuatu tak ada yang instan. "Ini aplikasi
"Assalamu'alaikum, Bu," sapaku saat kulihat ibu masih asyik menonton sinetron favoritnya di ruang keluarga. Wanita terhebatku itu tampak kaget melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Aku memang nggak mengabarinya terlebih dulu saat akan datang ke sini. "Wa'alaikumsalam, Na. Kamu ke sini kenapa nggak ngabari ibu dulu," ucap ibu yang masih cukup terkejut melihatku. Kucium punggung tangannya yang mengeriput lalu mencium kedua pipinya. Ibu menepuk bahuku pelan."Maaf kalau cukup mengagetkan ibu. Mulai hari ini, Ratna memutuskan untuk tinggal di sini saja sama ibu," balasku pelan. Kujatuhkan badan ke sofa yang begitu empuk dan nyaman. Saat di rumah mama, belum pernah sekali pun aku bisa tiduran di atas sofa begini. Baru duduk sebentar, dia pasti sudah menyuruhku ini dan itu. Mama seolah sengaja membebankan perkejaan rumah yang tak ada habisnya, membuat hari-hariku begitu buruk dan membosankan."Azka sudah tahu tentang semua ini, Na?" tanya ibu dengan mimik serius. Aku hanya menggeleng kec
"Ratna ... jawab pertanyaan ibu. Apa benar kabar yang ibu dengar itu?" ulang ibu dengan cemasnya." Kuhela napas panjang lalu mengusap pelan lengan ibu untuk sedikit menenangkan. "Desas-desus itu memang benar, Bu. Sudahlah. Ibu tak perlu merisaukan kabar itu. Pokoknya sekarang Ratna ingin membuka lembaran baru. Ratna tak sanggup lagi menjadi istri Mas Azka. Ratna capek. Hampir semua pekerjaan rumah, Ratna yang kerjakan. Sepertinya mereka sengaja mencari menantu sekaligus untuk dijadikan pembantu. Beruntung Ratna belum hamil, jadi bisa benar-benar bebas dan lepas jika sudah bercerai dengan Mas Azka nanti. Coba kalau sudah hamil, apalagi memiliki buah hati. Mereka pasti melakukan berbagai cara untuk merecoki kehidupan Ratna di kemudian hari." Terpaksa kuceritakan semua alasan perceraianku pada ibu. Aku nggak ingin ibu makin berpikir macam-macam. Aku akan merasa amat bersalah kalau sampai tensi ibu naik lagi hanya gara-gara memikirkan masalahku ini. "Astaghfirullah ... astaghfirullah .
Sejak dua hari yang lalu, aku sudah mencari salon terbaik di kota ini untuk melakukan perawatan wajah dan badan. Mulai detik ini, aku tak ingin lagi diremehkan oleh Mas Azka soal penampilan apalagi dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya itu. Setidaknya agar dia sadar jika ingin melihat istrinya cantik dan modis dia juga harus mengeluarkan modal. Sekiranya tak sanggup memberikan dana, mungkin lebih baik jika diam. Semakin dia menghina istrinya, semakin membuatnya terlihat buruk karena menguliti aib sendiri. Selain itu, aku juga akan membuktikan pada keluarga dzalim itu jika hidupku jauh lebih bahagia setelah tak bersama dengan mereka. Mereka pasti menyesal dan shock saat melihatku mendadak kaya. Bukan soal dendam dan sebagainya, aku hanya ingin mereka sadar jika Allah bisa mengubah kehidupan hambaNya dengan mudah dalam sekejap mata jika DIA berkehendak. Jadi, buat apa merasa paling tinggi bahkan merendahkan yang lainnya?[Kenapa nggak kirim nomor rekeningnya, Mas?] Kukirimkan
"Berani-beraninya mengancamku! Heh, kamu nggak tahu siapa aku?!" sentak Viona tak mau kalah. "Tahu. Kamu hanya mantan suamiku yang kini berusaha mendekatinya lagi setelah dia berusaha move on dari perempuan tukang selingkuh sepertimu," balasku sekenanya. Wajah Viona memerah. Dia pasti tak terima dengan jawabanku. Aku tak peduli."Asal kamu tahu, Mas Azka nggak mungkin bisa move on! Dia terlalu mencintaiku. Dasar perempuan tak tahu diri. Mimpimu terlalu tinggi untuk membuatnya jatuh cinta padamu. Mengerti!" Aku menatapnya sembari tersenyum miring. "Mengerti, Nona Viona. Silakan ambil suamiku kalau kamu mau. Aku tak membutuhkannya lagi," bisikku dengan sedikit penekanan. Dua karyawan salon itu berusaha menenangkan Viona yang makin meradang. Mereka menarik tangan Viona yang nyaris melemparku dengan vas bunga. Malas berdebat, aku sengaja keluar salon agar mereka tahu jika aku bukanlah Ratna yang dulu. Aku yakin mereka akan mengintip dan mengikuti kemana aku pergi. Benar saja, dua per
"Nin ... Nina!" Viona menggoyang-goyangkan tubuh Nina yang mendadak pingsan. Aku diam saja, masih asyik membaca majalah yang kubawa dari mobil tadi sambil menunggu karyawan salon yang akan membersihkan rambutku. Ini salon khusus perempuan, jadi tak ada laki-laki keluar masuk sembarangan. "Tanggung jawab kamu, Na! Pakai acara menghalu segala. Pingsan 'kan dia," ucap Viona tiba-tiba. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan kesal, sementara aku hanya mengernyit.Menghalu, katanya? Rupanya dia masih nggak percaya dengan cerita Anggun barusan. Mungkin masih begitu yakin kalau aku sesuai dengan prasangkanya. Oh, yasudahlah terserah apa maunya. Lagipula aku juga malas berdebat dengan perempuan sepertinya. Buang-buang waktu dan tenaga saja. "Heh, malah enak-enakan baca majalah. Bantuin nih adik iparmu. Bikin ribet aja pakai pingsan segala. Mau perawatan jadi gagal," sungut perempuan itu lagi. Aku masih bergeming dan hanya melirik sekilas. "Kamu nggak tuli kan?!" sentak Viona sembari berusaha
"Kamu dapat warisan, Na?" tanya mama menyela. "Kalau iya, kenapa? Kalau nggak, juga kenapa? Sudahlah. Bukan urusan mama dan Mas Azka," jawabku lagi. "Jelas masih urusan Azka dong, Na. Kalian masih sah suami istri," ucap mama cepat. Giliran urusan harta saja kalian gerak cepat. Dasar keluarga mata duitan!"Benar kata mama, Na. Kita masih sah suami istri. Jadi, apa yang kamu miliki itu juga milikku." Mas Azka begitu bersemangat. "Enak aja! Kamu nggak ada hak di sana ya, Mas. Lagipula aku sudah bilang kemarin sama kamu. Aku mau kita cerai. Aku nggak sudi lagi punya suami dan mertua dzalim seperti kalian. Jadi, jangan coba-coba mengambil keuntungan," jawabku lagi. Kutekankan kata dzalim dan keuntungan di sini agar mereka tahu diri. Aku yakin Mas Azka sengaja menyalakan speaker handphonenya agar mama atau mungkin Nina bisa ikut mendengar obrolan ini. "Nggak akan! Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Aku nggak mau cerai, Ratna!" ucap Mas Azka tegas. "Terserah kamu, Mas. Kalau kamu me
Kuucapkan salam saat memasuki rumah. Rupanya, Mas Latif sudah datang terlebih dahulu. Dia masih asyik mengobrol dengan ibu di ruang tamu. Kulihat ibu sedikit kaget melihat kedatanganku. "Darimana? Terlihat lebih segar dan cantik," bisik ibu setelah membalas salamku. Bisikan ibu membuatku meringis kecil. "Maaf sudah menunggu, Mas." Aku menangkupkan kedua tangan sebagai perkenalan. "Oh nggak apa-apa, Mbak. Saya juga baru datang," jawabnya dengan senyum tipis. Kulihat Bik Anah sudah membawakan tiga gelas minuman dingin dan camilan lalu meletakkannya di meja. Aku meminta ibu untuk menemani obrolan kami."Langsung saja ya, Mas. Jadi aku sama suami baru menikah dua bulanan secara siri. Aku sudah minta dia agar mau menceraikanku, tapi dia menolak dengan alasan macam-macam. Apa boleh buat, mau nggak mau aku yang menggugat karena selama ini dia dan keluarganya memang hanya memanfaatkanku saja. Apa Yesha sudah menjelaskannya kemarin?" "Iya, Mbak. Garis besarnya memang sudah diceritakan Mba
"Mau kemana, Na?" tanya ibu saat melihatku siap-siap di kamar. "Mau ke rumah Yesha makan malam, Bu. Hari ini dia rayakan ulang tahun pernikahan." Ibu tak membalas ucapanku. Wanita paruh baya itu melangkah mendekat lalu duduk di tepi ranjang sembari mengamatiku yang sedang berdandan. "Nggak usah berias. Nggak elok buat perempuan yang masih dalam masa iddahnya. Kalau saja bisa kamu bahkan tak diperkenankan keluar rumah, takut ada fitnah," ujar ibu kemudian. Kuhela napas panjang. Seperti yang kukhawatirkan sedari tadi soal iddah, ternyata benar jika masa ini adalah masa pingitan. Dipingit supaya tak berbuat aneh-aneh di luar rumah karena masih dalam masa berkabung akibat perceraian. Tapi, rasanya aku tak sesedih itu bahkan bahagia bisa terlepas dari belenggu yang sebelumnya menimpaku. "Baiklah, Bu. Ratna akan hapus make up-nya, tapi izinkan Ratna ke rumah Ayesha ya? Ratna diundang ke sana. Bukankah salah satu kewajiban seorang muslim itu memenuhi undangan dari sesama muslim lainnya?
[Mas, bagaimana urusan perceraian itu? Sudah bereskah?] Kukirimkan pesan singkat itu pada Mas Latif. Kemarin dia bilang, urusan persidangan sudah beres tinggal menunggu surat perceraian saja. Kalau benar begitu, syukurlah. Semua memang lebih mudah dan cepat karena Mas Azka benar-benar tidak datang dalam persidangan. Mungkin dia pikir, ketidakdatangannya itu akan membuatku berpikir ulang atau bahkan mempersulit jalannya persidangan. Tanpa dia sadari, tindakannya itu justru membuat persidangan lebih cepat dan tak berbelit-belit. Mas Latif pun berusaha keras agar kasus perceraian ini berjalan lancar tanpa hambatan. Dia memang sangat bisa diandalkan. [Alhamdulillah sudah selesai, Mbak. Semua lancar seperti yang Mbak Ratna harapkan. Kapan kita bertemu, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan] Balasan dari Mas Latif masuk ke aplikasi hijauku. Alhamdulillah, akhirnya aku benar-benar bebas dari keluarga ajaib itu. Mereka nggak akan bisa menggangguku lagi setelah ini karena perceraianku
Urusan perceraian sudah ditangani Mas Latif. Aku hanya menunggu kabar baiknya saja. Sejak tadi pagi, seolah ponselku tak berhenti berdering. Beberapa menit hening, beberapa menit kemudian kembali nyaring. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Mas Azka. Sudah dua minggu lebih aku tak bertemu dengannya dan sejak itu pula aku rajin perawatan di salon. Biar saja, sengaja akan kubuat dia shock saat melihat penampilanku nanti. Di pasti tak pernah menyangka jika istri yang sering dia maki-maki karena jelek, buluk, kucel, miskin, tak berpendidikan dan tak berkelas itu kini berubah drastis. Aku tak akan membiarkan mereka menghinaku lagi. Dua hari yang lalu, aku sengaja membuat akun baru di sebuah aplikasi berwarna merah. Satu akun untuk jualan sepatu-sepatu dari pabrikku itu dan satu lagi akun pribadi. Sengaja aku tautkan antar keduanya biar orang-orang yang akan menjadi distributor, agen atau pun resellerku tahu siapa ownernya. Yang nggak kalah penting, aku sengaja mengikuti akun Mas Azka, Nina
Kuucapkan salam saat memasuki rumah. Rupanya, Mas Latif sudah datang terlebih dahulu. Dia masih asyik mengobrol dengan ibu di ruang tamu. Kulihat ibu sedikit kaget melihat kedatanganku. "Darimana? Terlihat lebih segar dan cantik," bisik ibu setelah membalas salamku. Bisikan ibu membuatku meringis kecil. "Maaf sudah menunggu, Mas." Aku menangkupkan kedua tangan sebagai perkenalan. "Oh nggak apa-apa, Mbak. Saya juga baru datang," jawabnya dengan senyum tipis. Kulihat Bik Anah sudah membawakan tiga gelas minuman dingin dan camilan lalu meletakkannya di meja. Aku meminta ibu untuk menemani obrolan kami."Langsung saja ya, Mas. Jadi aku sama suami baru menikah dua bulanan secara siri. Aku sudah minta dia agar mau menceraikanku, tapi dia menolak dengan alasan macam-macam. Apa boleh buat, mau nggak mau aku yang menggugat karena selama ini dia dan keluarganya memang hanya memanfaatkanku saja. Apa Yesha sudah menjelaskannya kemarin?" "Iya, Mbak. Garis besarnya memang sudah diceritakan Mba
"Kamu dapat warisan, Na?" tanya mama menyela. "Kalau iya, kenapa? Kalau nggak, juga kenapa? Sudahlah. Bukan urusan mama dan Mas Azka," jawabku lagi. "Jelas masih urusan Azka dong, Na. Kalian masih sah suami istri," ucap mama cepat. Giliran urusan harta saja kalian gerak cepat. Dasar keluarga mata duitan!"Benar kata mama, Na. Kita masih sah suami istri. Jadi, apa yang kamu miliki itu juga milikku." Mas Azka begitu bersemangat. "Enak aja! Kamu nggak ada hak di sana ya, Mas. Lagipula aku sudah bilang kemarin sama kamu. Aku mau kita cerai. Aku nggak sudi lagi punya suami dan mertua dzalim seperti kalian. Jadi, jangan coba-coba mengambil keuntungan," jawabku lagi. Kutekankan kata dzalim dan keuntungan di sini agar mereka tahu diri. Aku yakin Mas Azka sengaja menyalakan speaker handphonenya agar mama atau mungkin Nina bisa ikut mendengar obrolan ini. "Nggak akan! Aku nggak akan pernah menceraikanmu. Aku nggak mau cerai, Ratna!" ucap Mas Azka tegas. "Terserah kamu, Mas. Kalau kamu me
"Nin ... Nina!" Viona menggoyang-goyangkan tubuh Nina yang mendadak pingsan. Aku diam saja, masih asyik membaca majalah yang kubawa dari mobil tadi sambil menunggu karyawan salon yang akan membersihkan rambutku. Ini salon khusus perempuan, jadi tak ada laki-laki keluar masuk sembarangan. "Tanggung jawab kamu, Na! Pakai acara menghalu segala. Pingsan 'kan dia," ucap Viona tiba-tiba. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan kesal, sementara aku hanya mengernyit.Menghalu, katanya? Rupanya dia masih nggak percaya dengan cerita Anggun barusan. Mungkin masih begitu yakin kalau aku sesuai dengan prasangkanya. Oh, yasudahlah terserah apa maunya. Lagipula aku juga malas berdebat dengan perempuan sepertinya. Buang-buang waktu dan tenaga saja. "Heh, malah enak-enakan baca majalah. Bantuin nih adik iparmu. Bikin ribet aja pakai pingsan segala. Mau perawatan jadi gagal," sungut perempuan itu lagi. Aku masih bergeming dan hanya melirik sekilas. "Kamu nggak tuli kan?!" sentak Viona sembari berusaha
"Berani-beraninya mengancamku! Heh, kamu nggak tahu siapa aku?!" sentak Viona tak mau kalah. "Tahu. Kamu hanya mantan suamiku yang kini berusaha mendekatinya lagi setelah dia berusaha move on dari perempuan tukang selingkuh sepertimu," balasku sekenanya. Wajah Viona memerah. Dia pasti tak terima dengan jawabanku. Aku tak peduli."Asal kamu tahu, Mas Azka nggak mungkin bisa move on! Dia terlalu mencintaiku. Dasar perempuan tak tahu diri. Mimpimu terlalu tinggi untuk membuatnya jatuh cinta padamu. Mengerti!" Aku menatapnya sembari tersenyum miring. "Mengerti, Nona Viona. Silakan ambil suamiku kalau kamu mau. Aku tak membutuhkannya lagi," bisikku dengan sedikit penekanan. Dua karyawan salon itu berusaha menenangkan Viona yang makin meradang. Mereka menarik tangan Viona yang nyaris melemparku dengan vas bunga. Malas berdebat, aku sengaja keluar salon agar mereka tahu jika aku bukanlah Ratna yang dulu. Aku yakin mereka akan mengintip dan mengikuti kemana aku pergi. Benar saja, dua per
Sejak dua hari yang lalu, aku sudah mencari salon terbaik di kota ini untuk melakukan perawatan wajah dan badan. Mulai detik ini, aku tak ingin lagi diremehkan oleh Mas Azka soal penampilan apalagi dibanding-bandingkan dengan mantan istrinya itu. Setidaknya agar dia sadar jika ingin melihat istrinya cantik dan modis dia juga harus mengeluarkan modal. Sekiranya tak sanggup memberikan dana, mungkin lebih baik jika diam. Semakin dia menghina istrinya, semakin membuatnya terlihat buruk karena menguliti aib sendiri. Selain itu, aku juga akan membuktikan pada keluarga dzalim itu jika hidupku jauh lebih bahagia setelah tak bersama dengan mereka. Mereka pasti menyesal dan shock saat melihatku mendadak kaya. Bukan soal dendam dan sebagainya, aku hanya ingin mereka sadar jika Allah bisa mengubah kehidupan hambaNya dengan mudah dalam sekejap mata jika DIA berkehendak. Jadi, buat apa merasa paling tinggi bahkan merendahkan yang lainnya?[Kenapa nggak kirim nomor rekeningnya, Mas?] Kukirimkan
"Ratna ... jawab pertanyaan ibu. Apa benar kabar yang ibu dengar itu?" ulang ibu dengan cemasnya." Kuhela napas panjang lalu mengusap pelan lengan ibu untuk sedikit menenangkan. "Desas-desus itu memang benar, Bu. Sudahlah. Ibu tak perlu merisaukan kabar itu. Pokoknya sekarang Ratna ingin membuka lembaran baru. Ratna tak sanggup lagi menjadi istri Mas Azka. Ratna capek. Hampir semua pekerjaan rumah, Ratna yang kerjakan. Sepertinya mereka sengaja mencari menantu sekaligus untuk dijadikan pembantu. Beruntung Ratna belum hamil, jadi bisa benar-benar bebas dan lepas jika sudah bercerai dengan Mas Azka nanti. Coba kalau sudah hamil, apalagi memiliki buah hati. Mereka pasti melakukan berbagai cara untuk merecoki kehidupan Ratna di kemudian hari." Terpaksa kuceritakan semua alasan perceraianku pada ibu. Aku nggak ingin ibu makin berpikir macam-macam. Aku akan merasa amat bersalah kalau sampai tensi ibu naik lagi hanya gara-gara memikirkan masalahku ini. "Astaghfirullah ... astaghfirullah .