Rumah Belinda. "Hoek...hoek...." Pagi-pagi sekali Belinda terbangun dari tidurnya sebab merasakan gejolak yang sangat luar biasa di perutnya. Dia langsung berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan bening ke wastafel. Mual yang beberapa hari ini melandanya begitu sangat menyiksa. Belinda juga merasakan pusing yang teramat dan selera makannya pun berkurang. "Astaga... aku ini kenapa? Kepalaku sakit, perutku mual, mulutku rasanya enggak enak. Hoek...." Belinda kembali memuntahkan cairan bening dari mulutnya yang terasa pahit. Setelah dirasa sudah agak mereda, Belinda berkumur dan membasuh wajahnya agar terasa segar. Menegakkan tubuhnya, dan menatap dirinya sendiri lewat pantulan cermin. Telapak tangan Belinda meraba permukaan kulit wajahnya yang nampak pucat dan kuyu. Ada lingkar hitam di area matanya, penampilannya benar-benar menyedihkan. Dia pun bertanya-tanya dalam hati, penyakit apa yang sebenarnya tengah dideritanya. Hampir setiap pagi s
"Aku mau makan yang asem-asem, Mas. Kayak mangga mengkel, terus kweni," sahut Belinda sambil menelan ludah dan liurnya yang tiba-tiba menetes. Membayangkan asamnya buah tersebut berada di dalam mulutnya, sepertinya itu sangat enak. Bima mengulum senyum. Itu artinya Belinda sedang mengidam. Perkiraan dokter ternyata tidak salah. "Iya, nanti biar aku suruh pelayan cariin buah itu. Sekarang kamu makan dulu, terus minum obat ini. Biar pusing dan mual kamu berkurang." Bima mengambil mangkuk bubur tersebut, lalu menyodorkan ke depan muka Belinda. "Hoek...." Belinda menepis tangan Bima dengan cepat, memalingkan muka lantas berkata, "dibilang aku mual kalo cium baunya. Ganti yang lain aja, Mas! Aku mau roti bakar pakek selai nanas." Bima menghela, "Ya udah. Ini biar nanti dibawa ke bawah lagi sama pelayan." Dia meletakkan mangkuk bubur itu lagi ke nakas, lantas mengambil segelas jus jeruk. "minum jusnya aja kalo gitu. Ini jus jeruk buat mengurangi rasa mual." Belinda menerima gelas jus t
"Selamat bergabung di sini. Semoga kamu betah." Ayah menyambut Raffa dengan tangan terbuka, kehadiran putranya membuat seluruh karyawan wanita terkagum pada sosok Raffa yang sangat tampan dan menawan.Tidak sedikit dari mereka berbisik-bisik membicarakan Raffa. Ayah menyadari akan hal itu. Raffa menjadi pusat perhatian begitu dia melangkahkan kaki di perusahaannya. "Terima kasih, Yah. Raffa akan berusaha sebaik mungkin. Mohon bimbingannya." Raffa mengulurkan tangan ke ayah dan langsung di sambut oleh pria paruh baya itu. "Sama-sama. Nanti ayah suruh orang buat mengajarimu lebih dulu. Menjelaskan apa saja pekerjaan kamu di sini. Dia kebetulan asisten ayah," ucap ayah seraya menepuk pundak sang putra yang terlihat lebih dewasa. "Baik, Yah. Raffa akan belajar pelan-pelan," sahut Raffa dengan keyakinan penuh yang saat ini berkobar di dadanya. Dia akan membuktikan kepada Ayana jika dia bisa berubah dan mau belajar. Demi Belinda.Lantas, ayah berlalu dari kubik tempat di mana Raffa akan
Dua jam sebelum menuju Restoran~Belinda menangis tergugu di pelukan Bima, rasa bersalah yang teramat membuatnya hampir tak mampu menatap mata suaminya itu. Dia pikir, Bima pria egois dan tidak pernah memikirkan kebahagiaannya. Namun, apa yang pria itu lakukan merupakan hal yang sama sekali tidak terpikirkan oleh Belinda. "Mas." Belinda menarik diri dari pelukan Bima. Mengatur napasnya yang sesak, lalu menyeka air mata di pipi. "Aku mau ketemu Raffa, boleh?" tanyanya kemudian. Bola matanya yang basah bergerak gelisah, takut jika Bima tak memberinya ijin.Bima menghela seraya mengangguk. "Boleh. Itu hak kamu. Saya memberikan kamu ijin, Bel." Dia mengelus lembut rambut istrinya. Demi kebahagiaan perempuan ini, Bima rela nama baiknya hancur apabila suatu saat kabar perceraiannya terendus. "Makasih, Mas," ucap Belinda, tatapan yang dulu penuh kebencian kini berubah menjadi tatapan segan. "Tapi, sebelum aku bertemu Raffa, aku mau ke Dokter dulu. Aku mau memastikan sekali lagi soal kehami
Mobil Raffa terparkir sempurna di basemen Apartemen, dia melepas sabuk pengaman miliknya, lalu melepas sabuk di tubuh Belinda. Mengecup sekilas pipi kekasihnya yang sejak tadi merajuk lantaran sayur asem yang dia mau tidak ada. "Bel? Kamu kenapa? Aku liat dari tadi kamu diem aja," tanya Raffa sambil mengelus lembut rambut Belinda yang kini mencebik. Baru kali ini dia melihat perempuan itu merajuk seperti anak kecil. "Aku mau sayur asem, Raffa...." lirih Belinda menjawab pertanyaan Raffa dengan kepala menunduk. Bola matanya memanas dan mengembun. Keinginannya untuk menyantap segarnya sayur asem terpaksa diurungkan. Ah, ternyata begini rasanya orang mengidam. Rasanya sungguh tidak enak. Raffa malah terkekeh, dan seketika itu juga mendapat pelototan tajam dari Belinda."Kok, malah ketawa, sih? Kamu nyebelin!" Belinda melengos mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Basemen Apartemen Raffa nampak sangat sepi."Hei, maaf." Raffa merangkum wajah Belinda, memutarnya pelan supaya mengha
"A-aku hamil, Raf," lirihnya yang kemudian menundukkan kepala seraya menggigit bibirnya sendiri kuat-kuat. Dia tidak berani menatap perubahan pada wajah Raffa. Belinda memilin jari-jarinya sambil memejamkan mata.'Kenapa Raffa diem aja?' batinnya gusar. Debaran jantungnya semakin kencang nyaris loncat dari tempatnya. Hening terbentang di antara keduanya. Sementara Raffa kini mengerjap lamban, apa yang dikatakan Belinda barusan seakan bergema di telinganya. 'Hamil? Belinda hamil?' Pemuda itu membatin, menatap lurus ke arah sang kekasih yang betah menunduk. Lalu, sekejap Raffa tersentak dalam pemikirannya, itu artinya jika Belinda hamil, tak lama lagi dia akan menjadi seorang ayah?"Bel, k-kamu serius?" Raffa meraih tangan Belinda, digenggamnya begitu erat. "Kamu... enggak bercanda 'kan?" tanyanya lagi. Perasaannya campur aduk saat ini. Dia terlalu terkejut dan bingung. Kemudian, Raffa memegang dagu Belinda, lalu mengangkatnya perlahan. Ditatapnya dalam manik biru itu, bola mata bula
"Gitu doang?" Raffa bertanya dengan raut jahil, dia sengaja memancing Belinda. Sekadar ingin tahu bagaimana reaksi kekasihnya. Jujur, sejak bertemu dan bisa menyentuh Belinda lagi, Raffa sebenarnya ingin sekali bergelung manja di ranjang. Menikmati pertemuan ini dengan bercinta sepuasnya.Belinda yang masih berada di pelukan Raffa sontak mengerutkan alisnya tak paham. Dia lantas segera menarik diri menjauh dari dada Raffa."Maksudnya?" tanyanya, kepalanya sedikit mendongak, menatap Raffa yang kini menyeringai penuh arti. Matanya menyipit seolah dia tengah membaca isi kepala Raffa.Mengecup singkat bibir Belinda yang merekah menggoda, senyuman nakal terbit dari bibir Raffa."Aku kangen, Belinda. Masa kamu enggak paham, sih?" bisiknya sensual yang kemudian sengaja mencium dan mengulum telinga Belinda. Kedua tangannya sudah bergerilya ke mana-mana. Meremas bahkan menjelajahi setiap lekukan tubuh Belinda."Raf...." Sentuhan Raffa dengan cepat menyulut percikan gairah dalam diri Belinda ya
Vano menghela pendek, dia menopang kepala seraya memijatnya pelan. Berita yang baru saja didengar cukup membuatnya berdenyut. Tak disangka jika ucapannya tempo hari menjadi kenyataan. Belinda hamil anak Raffa dengan status masih istri orang.Rumit. Padahal bukan dia yang sedang dihadapkan dengan masalah ini, tetapi sebagai teman dekat, Vano berusaha mencari jalan keluar yang terbaik untuk sahabatnya ini. Baru saja dia bernapas lega dan merasa senang lantaran Raffa sudah mendapatkan pekerjaan. Lalu, tiba-tiba ada kabar semacam ini."Hfuuh...." Vano merasa otaknya buntu. Dia menyorot Raffa dengan tatapan kasihan. Bagaimana tidak? Inginnya, Raffa bertanggung jawab dan segera menikahi Belinda. Akan tetapi, niat baiknya tersebut tak bisa terealisasikan lantaran Belinda tidak bisa bercerai dalam keadaan hamil. Raffa mesti menunggu sampai anak itu lahir terlebih dahulu."Berarti gue mesti nunggu sekitar berapa bulan, Van?" tanya Raffa memecah keheningan di ruangan itu. Perasaan bahagia yang
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam