"A-aku hamil, Raf," lirihnya yang kemudian menundukkan kepala seraya menggigit bibirnya sendiri kuat-kuat. Dia tidak berani menatap perubahan pada wajah Raffa. Belinda memilin jari-jarinya sambil memejamkan mata.'Kenapa Raffa diem aja?' batinnya gusar. Debaran jantungnya semakin kencang nyaris loncat dari tempatnya. Hening terbentang di antara keduanya. Sementara Raffa kini mengerjap lamban, apa yang dikatakan Belinda barusan seakan bergema di telinganya. 'Hamil? Belinda hamil?' Pemuda itu membatin, menatap lurus ke arah sang kekasih yang betah menunduk. Lalu, sekejap Raffa tersentak dalam pemikirannya, itu artinya jika Belinda hamil, tak lama lagi dia akan menjadi seorang ayah?"Bel, k-kamu serius?" Raffa meraih tangan Belinda, digenggamnya begitu erat. "Kamu... enggak bercanda 'kan?" tanyanya lagi. Perasaannya campur aduk saat ini. Dia terlalu terkejut dan bingung. Kemudian, Raffa memegang dagu Belinda, lalu mengangkatnya perlahan. Ditatapnya dalam manik biru itu, bola mata bula
"Gitu doang?" Raffa bertanya dengan raut jahil, dia sengaja memancing Belinda. Sekadar ingin tahu bagaimana reaksi kekasihnya. Jujur, sejak bertemu dan bisa menyentuh Belinda lagi, Raffa sebenarnya ingin sekali bergelung manja di ranjang. Menikmati pertemuan ini dengan bercinta sepuasnya.Belinda yang masih berada di pelukan Raffa sontak mengerutkan alisnya tak paham. Dia lantas segera menarik diri menjauh dari dada Raffa."Maksudnya?" tanyanya, kepalanya sedikit mendongak, menatap Raffa yang kini menyeringai penuh arti. Matanya menyipit seolah dia tengah membaca isi kepala Raffa.Mengecup singkat bibir Belinda yang merekah menggoda, senyuman nakal terbit dari bibir Raffa."Aku kangen, Belinda. Masa kamu enggak paham, sih?" bisiknya sensual yang kemudian sengaja mencium dan mengulum telinga Belinda. Kedua tangannya sudah bergerilya ke mana-mana. Meremas bahkan menjelajahi setiap lekukan tubuh Belinda."Raf...." Sentuhan Raffa dengan cepat menyulut percikan gairah dalam diri Belinda ya
Vano menghela pendek, dia menopang kepala seraya memijatnya pelan. Berita yang baru saja didengar cukup membuatnya berdenyut. Tak disangka jika ucapannya tempo hari menjadi kenyataan. Belinda hamil anak Raffa dengan status masih istri orang.Rumit. Padahal bukan dia yang sedang dihadapkan dengan masalah ini, tetapi sebagai teman dekat, Vano berusaha mencari jalan keluar yang terbaik untuk sahabatnya ini. Baru saja dia bernapas lega dan merasa senang lantaran Raffa sudah mendapatkan pekerjaan. Lalu, tiba-tiba ada kabar semacam ini."Hfuuh...." Vano merasa otaknya buntu. Dia menyorot Raffa dengan tatapan kasihan. Bagaimana tidak? Inginnya, Raffa bertanggung jawab dan segera menikahi Belinda. Akan tetapi, niat baiknya tersebut tak bisa terealisasikan lantaran Belinda tidak bisa bercerai dalam keadaan hamil. Raffa mesti menunggu sampai anak itu lahir terlebih dahulu."Berarti gue mesti nunggu sekitar berapa bulan, Van?" tanya Raffa memecah keheningan di ruangan itu. Perasaan bahagia yang
Malam menjelang, Belinda berniat ingin menginap di Apartemen Raffa, sebab dia masih belum puas bertemu dengan kekasihnya itu, rindunya masih menumpuk di dada. Belinda ingin menghabiskan malam ini bersama Raffa, melepaskan kerinduannya. Namun, sebelum itu dia menghubungi suaminya terlebih dahulu, meminta ijin berharap Bima mengijinkannya. Saat di telepon, Bima sempat menolak dan tidak memberikan ijin, mengingat jika Belinda saat ini tengah mengandung. Dia hanya tidak mau Belinda kelelahan akibat ulah nakal Raffa. Sebagai laki-laki normal, Bima jelas paham, apa yang akan terjadi ketika Belinda menginap di Apartemen Raffa. Lalu, karena Belinda yang terus merengek bahkan sempat menangis, pada akhirnya Bima memperbolehkan perempuan itu menginap. Belinda bahagia lantaran diperbolehkan menginap, meski dengan satu syarat Bima akan menyuruh seseorang mengantar vitamin dan obat mual dari dokter. Pun beberapa baju ganti dan perlengkapan lainnya. Usai menghubungi suaminya, lantas Belinda kemba
Kecupan itu semakin agresif. Belinda menjelajahi setiap lekukan leher Raffa yang candu. Aroma sabun menggelitik penciumannya hingga ingin terus mengendusnya."Kamu wangi, Raf. Aku suka." Sembari mengendus, jemari Belinda mengelus lembut permukaan leher sang kekasih, merambat ke tengkuk, lalu meremat helaian rambut Raffa.Sementara Raffa mengungkung tubuh Belinda dari belakang, melingkarkan tangannya ke perut rata itu, kemudian menelusup masuk ke dress dan meraba kulitnya. Naik perlahan, lantas berhenti di buah dada sintal dan kenyal milik Belinda. Ukuran yang menurut Raffa semakin besar dan padat."Bel, ini ukurannya kenapa tambah gede." Raffa berbisik, sembari memilin puncaknya yang mengencang. Belinda melenguh, mendesah sensual kala Raffa bermain-main di dadanya."Raf... eugh...." Bibir Belinda menyambut ciuman Raffa yang masih berada di balik punggungnya. Melumat dan menyesap bergantian hingga suara decapan bibir mereka menggema di seluruh ruangan luas itu. Ruang tamu nampaknya men
Paginya, Belinda yang masih memejamkan mata merasa terusik dengan sentuhan-sentuhan nakal yang berasal dari tangan Raffa. Perempuan itu menggeliat, kala buah dadanya terasa diremas dan dipijat lembut. Tanpa sadar bibirnya bahkan mengeluarkan desahan. Raffa menyeringai, memandang Belinda yang sangat terlihat cantik dan seksi saat masih tidur seperti ini. Ditambah dengan desahan erotis yang meluncur dari bibirnya yang merekah. Pemuda itu memang sengaja melakukannya, mengganggu tidur sang kekasih lantaran tak tahan disuguhi pemandangan indah di samping bantalnya. Memeluk Belinda dari balik punggung seperti ini, memudahkannya menjangkau buah dada yang ukurannya bertambah itu. Membenamkan wajahnya di tengkuk perempuan yang tengah mengandung benih cintanya. Mengendusi setiap helaian rambut pirang Belinda yang wangi. "Raf." Bola mata Belinda akhirnya terbuka sempurna, niatnya yang ingin bangun siang tak bisa terwujud lantaran gangguan dari Raffa. Tubuhnya selalu bereaksi dengan sentuhan pe
"Raf, ada yang mau tanyain." Belinda berucap ragu, wajar jika dia bersikap demikian sebab Raffa tak pernah sekali pun menyinggung tentang kehidupan pribadinya. Melihat sang kekasih menyendu, Raffa segera mendekat, memegang kedua lengan Belinda seraya berkata, "Apa, Bel? Kamu mau nanya apa?" Ditatapnya lekat-lekat wajah cantik nan menggemaskan itu. Manik Belinda menyelami sesaat arti dari tatapan Raffa yang begitu memancarkan cinta padanya. Ada perasaan yang tidak bisa dia jabarkan kala memikirkan nasib janin yang dikandungnya. Dia dan anaknya butuh seorang figur yang tak hanya melindungi, tetapi juga bisa dipercaya. Selama ini, memang Belinda tak pernah sekali pun bertanya apa pun soal keluarga Raffa. Keberadaan pemuda itu saja rasanya sudah cukup melengkapi kehidupannya kelak.Akan tetapi, ini bukan soal dirinya saja. Saat ini ada nyawa lain yang berhak tahu dari mana asal-usul sang calon ayah. Belinda tidak ingin, suatu saat kelak anaknya akan mempertanyakan siapa kakek dan nenekn
Jam kerja akhirnya telah selesai. Kini, waktunya Raffa bersiap untuk pulang. Rasa rindu kepada sang wanita pujaan sudah tak bisa ditahan lagi, dengan buru-buru Raffa membereskan meja kerjanya, kemudian bergegas meninggalkan tempat tersebut. Namun, tiba-tiba saja Raffa kepikiran untuk menemui ayah terlebih dahulu. Niatnya ingin memberi kabar jika Belinda sudah ada bersamanya dan saat ini tengah mengandung janinnya. Sudah seharusnya begitu, bukan? Jika menundanya malah akan semakin memperburuk keadaan. Raffa hanya tidak mau membuat orang-orang di sekitarnya bersedih terutama sang ibu. Apa pun risiko yang terjadi setelah ini, dia benar-benar harus siap. Entah itu penolakan atau pun persetujuan yang dia dapat setelah berkata jujur kepada sang ayah. Raffa akan menerima konsekuensi atas perbuatannya itu. Yang terpenting adalah bagaimana cara meyakinkan kedua orang tuanya supaya mau menerima dan merestui hubungannya dengan Belinda.Degup jantungnya berdetak sangat kencang. Raffa seakan hen
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam