"Jadi, siapa yang ingin menjelaskan?" tanya Abas tajam, memandang satu persatu wajah orang-orang yang semalam ia tinggal pergi ke luar kota.
Di antara semua orang yang ada di ruangan ini, hanya Dewa yang bersikap biasa. Ia masih bisa memainkan ponselnya tanpa beban.
Sementara Arya, duduk dengan tangan mengepal dan tatapan super tajam.
"Saya ... saya ... minta maaf telah membuat kekacauan di rumah ini," ucap Uly terbata-bata. "Tapi, saya yakin benar-benar tidak melakukan apapun dengan Dewa," imbuhnya pelan.
"Dewa Angkasa! Jelaskan semua ini!" ujar pria paruh baya itu geram.
"Jelaskan apa, Pi? 'Kan semua sudah jelas, kami tidur bersama," sahutnya santai.
"Brengsek!" Arya menggebrak meja dan hendak menghampiri adiknya, tapi seruan keras dari sang papi membuatnya urung seketika.
"Tenangkan emosimu, Arya!" tegur Abas tegas.
"Bagaimana aku bisa tenang di saat orang yang aku sayangi tidur dengan adikku sendiri, Pi?" tanyanya penuh emosi.
"Sayang?" Dewa terkekeh keras, memasukan ponsel ke dalam saku. "Sayang di saat lo masih suka celup lubang sana-sini?" sindirnya penuh ejekan.
"Dewa ... Kakak kamu nggak seperti itu. Jangan jadikan dendam masa lalu membuat kamu terus membenci, Nak." Suara lembut wanita paruh baya itu sarat akan permohonan.
Senyum culas di wajah Dewa berganti dengan raut geram penuh ketidaksukaan. "Aku bukan orang yang mengagungkan masa lalu," ucapnya datar.
"Kalau bukan karena masa lalu, kenapa kamu lakukan ini?" tanya Arya tajam. "Katakan saja jika niatmu adalah balas dendam!"
Abas mendesah lelah, permasalahan ini tampaknya tak akan selesai cepat.
"Cukup! Kita sedang membahas Dewa dan Uly, bukan tentang masa lalu yang sudah tak perlu di ingat lagi!" ujarnya tegas.
"Ma ... maaf, Om. Saya rasa masalah ini tidak perlu di perpanjang, saya akan pergi karena mema--"
"Tidak bisa seperti itu saja," tukas Abas cepat. "Kami bukan keluarga tak bermoral yang melepas tanggungjawab begitu saja!"
"Bukan begitu maksud saya, Om."
"Dewa! Sekarang maumu apa?" tanya Abas tajam, mengabaikan Uly yang tergugu di sana.
"Aku akan tanggung jawab."
Sontak saja ucapan bocah itu membuat semua orang terkesiap kaget.
"Apa maksud kamu?" tanya Uly tak percaya.
"Sadar dengan apa yang baru saja kamu ucapkan, Dewa Angkasa?" tanya Abas geram.
"Sangat yakin, Pi, kami bisa menikah minggu depan," sahutnya santai.
"Gila kamu!" hardik Arya keras.
"Dewa, pernikahan itu bukan untuk main-main," ucap Tere mengingatkan.
"Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Abas tajam.
"Bisa diatur, toh minggu depan adalah ujian akhir."
"Jangan main-main, aku nggak minta kamu menikahiku!" ucap Uly panik.
Dewa menoleh dengan tatapan mata tajam. "Memangnya elo mau hamil tanpa suami?" tanyanya sinis.
"Ap ... apa?" Uly terkesiap mendengar ucapan bocah itu. Hamil? Sungguh dirinya tak terpikirkan soal itu. Tapi, apa benar mereka sudah melakukan hal terlarang tadi malam?
Arya menggeram penuh amarah. "Sialan kalian berdua!" umpatnya sebelum melangkah lebar meninggalkan ruangan.
"Ceritakan kronologisnya!" perintah sang Papi tegas.
Dewa mengedikkan bahu. "Papi bisa bertanya pada Pak Diman yang membukakan gerbang untuk Uly, dan kejadian setelahnya di ranjang nggak perlu dijabarkan 'kan?" sahut bocah itu kelewat santai.
Abas mengusap kepalanya kasar, napasnya terdengar berat dengan pundak tertunduk layu.
"Baik, persiapkan diri kalian mulai sekarang, minggu depan kalian menikah, resepsi menyusul setelah Dewa lulus!" ujar Abas tegas.
Uly meremas jarinya panik, bukan ini yang dia mau. Bagaimana bisa ia menikah dengan laki-laki yang umurnya lima tahun lebih muda darinya.
Sungguh, ia mengidamkan pria yang lebih matang darinya, yang bisa mengayomi dan menjadi pelindungnya, bukan bocah keras kepala sombong yang arti dari pernikahan saja belum mampu dimaknainya.
"Mas, gimana dengan Arya?" tanya Tere khawatir.
Abas menghela napas panjang. "Harus bagaimana lagi? Mau tidak mau dia harus merelakan Uly."
Tere menggeleng pelan, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Meratapi nasib sial sang putra yang dikhianati kekasih dan adiknya sendiri. Wanita itu dapat membayangkan betapa hancurnya hati putra sulungnya itu saat ini.
Abas beranjak, meninggalkan ruangan dengan beban berat di pundak serta hati. Saat ini ia ingin menyendiri, merenungi nasib dan meminta maaf pada almarhumah istri pertamanya karena tak becus mendidik anak mereka.
Selama ini ia sudah berusaha sekuat mungkin untuk memberi perhatian pada putra nakalnya itu, tapi pekerjaan yang menumpuk tak bisa membuatnya sesuka hati meloloskan diri. Abas berpikir, dengan menghadirkan sosok ibu baru untuk Dewa, maka anaknya itu tak akan merasa kekurangan kasih sayang, ia berharap sikap ceria penuh semangat yang dulu dimiliki anaknya sebelum ibunya meninggal itu bisa muncul kembali. Tapi sayangnya Abas salah, kelakuan Dewa semakin menjadi-jadi, apalagi saat mengetahui sahabat kecilnya punya hubungan spesial dengan Arya. Segalanya semakin rumit saat kebencian Dewa makin menjadi-jadi kepada kakaknya, maka dari itu Abas memutuskan mengirim Arya untuk melanjutkan study ke luar negeri agar keduanya memiliki jarak untuk saling mendinginkan hati.
Tapi kini, lihat apa yang terjadi? Semua semakin kacau karena keduanya terlibat dengan satu wanita lagi.
Sementara Tere menatap Uly dengan sorot penuh kekecewaan. "Saya kecewa sama kamu!" ucapnya geram.
"Ma--"
"Jangan panggil saya Mama lagi! Saya nggak sudi!"
"Jaga nada bicara, Mama, atau semua orang akan tahu bagaimana sifat asli Mama sebenarnya," ucap Dewa santai.
"Apa maksud kamu?" tanya Tere tak percaya.
Dewa tersenyum simpul seraya berdiri dari duduknya. "Jangan mengira karena aku masih bocah, aku tak tahu bagaimana seluk beluk kehidupan kalian sebelum masuk ke rumah ini," ujarnya tenang, "jaga sikap, jika tidak ingin semuanya terungkap!"
Setelah melontarkan kalimat yang menyiratkan ancaman itu, Dewa pergi dengan menarik tangan Uly agar ikut bersamanya.
"Mau kemana? Kita belum selesai bicara," ucap Uly, berusaha melepaskan tangannya.
"Ya, kita memang belum selesai, ada banyak hal yang harus diurus sebelum pernikahan kita."
"Dewa! Aku nggak mau menikah dengan kamu!" pekik Uly kesal.
Bocah itu berhenti tepat di samping pintu mobil Ferrari hitam yang terparkir di garasi. "Jadi, elo mau menikah dengan Arya? Si pencinta selangkangan itu?" tanyanya mengejek.
Uly menggeram penuh rasa frustasi, malsalahnya dengan Arya saja belum terselesaikan. Ia belum sempat menjambak dan menendang pria yang sudah membuatnya patah hati itu. Lalu kini, dia harus terjerat bersama adik dari laki-laki brengsek itu.
"Apa bedanya dengan kamu?" sahut Uly sarkastis.
Dewa menaikkan alis sebelum tertawa kencang. "Elo lupa siapa yang tadi malam ngegoda gue dan minta ditidur--"
"Stop!!!"
"Aku nggak mungkin begitu!" bantahnya lantang.
Dewa tersenyum penuh arti. "Apa perlu gue tunjukkin videonya ke elo?"
Uly merasa kini wajahnya merah padam, membayangkannya saja ia tak sanggup, apalagi harus melihat sendiri apa yang dikatakan Dewa lewat ponselnya. Sungguh, Uly tak akan sanggup, benar-benar tidak sanggup.
šššSeminggu berlalu begitu cepat bagi seorang Uly Syahrani. Kini, ia sedang mematut diri di depan cermin yang menunjukkan wajah ayu yang terpoles make-up sederhana tapi tetap memancarkan wajah cantik nan teduhnya.Wanita itu memilin jari dengan gelisah. Di bawah sana, Dewa angkasa sedang bersiap mengucap ijab qobul untuk pernikahan mereka. Pemuda itu benar-benar tak mau mundur walau Uly sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tak perlu dinikahi.Acara ini dilakukan di rumah besar keluarga Angkasa. Ayah dan Ibu ulUly juga hadir, mereka tiba kemarin sore dan menginap semalam di hotel berbintang yang dibiayai langsung oleh Abas karena Ayah Uly sungkan menginap di rumah mereka.Saat ia memberi tahu perihal pernikahannya, mereka sempat terkejut dan merasa kecewa karena Uly tak menepati janji untuk menjaga diri saat jauh dari mereka. Tapi entah kenapa setelah Dewa m
Setelah selesai berkemas, Dewa dan Uly segera meninggalkan rumah besar itu dengan diantar seorang sopir yang ditugaskan oleh Abas. Dewa yang awalnya menolak tak bisa berkutik saat Abas berdalih tak ingin membuat menantunya susah karena putranya yang keras kepala.Sebenarnya pria paruh baya itu sangat berat hati melepaskan anak semata wayangnya hidup pisah rumah dengan alasan ingin mandiri, meskipun Dewa sudah menikah tapi Abas tahu bahwa sikap putranya itu belum sepenuhnya dewasa, bahkan masih sangat kekanakan dan kadang sedikit temperamental.Belum lagi sikap keras kepalanya yang Abbas yakin akan membuat Uly kewalahan setengah mati.Sementara kedua anak manusia yang sedang dikhawatirkan oleh Abbas itu duduk dalam diam menatap jalanan ibukota yang tetap ramai di malam hari.Beberapa menit kemudian mobil berbelok memasuki sebuah area perumahanan yang Uly tahu letaknya tak terlalu jauh dari kampus tempat dia men
šššDewa terkekeh geli saat menyadari tubuh Uly yang menegang kaku. Kelihatan sekali bahwa ini yang pertama kali bagi wanita itu. Tentu saj hal itu menambah daftar kesenangan bagi seorang Dewa Angkasa.Sejak awal wanita itu datang ke rumahnya, Dewa sudah merasa terpesona dengan sikap sopan nan lembut yang Uly tampilkan.Namun, saat ia memperkenalkan diri sebagai kekasih Arya, rasa kagum itu seolah berganti menjadi gejolak amarah.Dewa selalu benci saat Uly datang ke rumah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga Arya. Apalagi mendengar harapan wanita itu yang ingin segera menjejaki hubungan lebih serius setelah kepulangan kakak tirinya itu."Belum berpengalaman, eh?" ejek Dewa saat tak merasakan balasan, ia makin merapatkan tubuh menggoda.Perempuan itu bergerak gelisah, ingin menarik diri tapi ditahan oleh bocah yang kini berstatus sebagai
Uly menatap bimbang Dewa yang sudah duduk di atas motor besarnya, bersiap mengantar wanita itu pergi bekerja."Ayo, Ly, buruan ntar telat," ucapnya."I--iya, tapi ... kamu yakin bawa motor gini, rok aku gimana?" tanyanya pelan.Dewa berdecak. "Enak naik motor, nggak kena macet. Lagian kamu ngapain pake rok pendek gitu? Ganti celana sana!" titahnya.Uly melihat ke bagian bawah tubuhnya. Rok selutut yang dipakainya sungguh sudah amat sopan, tak terlalu pendek ataupun ketat. Tapi, akan sangat tidak nyaman jika ia harus menaiki motor besar pria itu."Nggak pendek banget," sangkal wanita itu."Pendek, dan aku nggak suka. Ganti!" sahut Dewa tegas.Uly menghembuskan napas panjang sebelum kembali memasuki rumah untuk menuruti perkataan suami berondongnya itu.Tak lama, wanita itu kembali dengan celana bahan panjang berwarna cream."Sudah,"
Uly membayar ongkos ojek online yang ditumpanginya lalu berbalik dan berjalan memasuki pekarangan rumah baru yang ditempatinya bersama suami brondongnya. Wanita itu mengernyitkan dahi saat melihat ada sebuah mobil yang tak dikenalinya terparkir di depan rumah.Dengan langkah ragu-ragu wanita itu mendorong pintu yang tak tertutup rapat, dan yang di dapatinya adalah seorang gadis muda menempel di lengan suaminya yang sedang serius menatap laptop."Widiiiih ... ada perempuan cantik bengong depan pintu," sorak Arka yang berjalan dari arah dapur.Dewa spontan mendongak, sejenak menatap dalam diam istrinya yang berdiri kaku di depan pintu."Sudah pulang?" Dewa akhirnya bersuara.Uly menarik napas panjang, mengangguk perlahan mengabaikan sentilan sakit di hati yang paling dalam."Siapa lo, Wa? Kok lo nggak bilang tinggal sama perempuan cantik gini? Pembantu atau--""Kakak
Pagi-pagi sekali Uly dikagetkan dengan kedatangan beberapa orang yang mengantarkan sebuah mobil mewah yang dihiasi pita besar beserta balon berbentuk hati.Uly semakin kaget saat dengan tiba-tiba Dewa memeluknya dari belakang, menghirup aroma rambut Uly setelah orang-orang itu pergi."Happy birthday, My Wife. Tapi, ini kado untuk pernikahan kita," bisiknya serak."Kado?" tanya Uly tak percaya"Ya, kamu senang?"Uly menggeleng, melepas pelukan Dewa dan memutar tubuhnya."Dewa, kamu harus mempertimbangkan kata-kataku kemarin. Tidak perlu melakukan semua ini untuk berpura-pura atau menutupi niat kamu sebenarnya."Dewa mengernyitkan dahi tak suka. "Kamu pengen banget pisah sama aku?""Wa, hubungan yang--""Kamu masih cinta sama Arya? Atau malah sudah berpaling pada Juno?" tuduhnya."Aku nggak begitu!" sang
Sore ini Dewa menepati janjinya ingin mengajari Uly mengendarai mobil baru yang sebenarnya ia beli dari hasil jerih payahnya sendiri.Dewa Angkasa, pemuda yang tak banyak bicara. Berbuat semaunya yang dianggap orang banyak sebagai tindakan pembuat onar.Ya, dulu dirinya begitu sering mencari-cari perhatian papinya, berharap pria tua itu mau meluangkan sedikit saja waktunya untuk sekedar melihat putranya yang hidup kesepian setelah kehilangan sang mami.Namun, pria tua itu malah salah mengartikan, ia menganggap Dewa butuh kasih sayang dari sosok seorang ibu, sehingga ia memilih untuk menikah lagi yang pada akhirnya malah semakin memburuk hubungan keduanya."Pertama-tama kamu harus duduk dengan nyaman, jangan gugup ataupun grogi." Dewa mulai memberi arahan."Oke," sahut Uly pelan."Sekarang aku akan jelasin beberapa fungsi dari alat-alat yang ada di depan kamu."
Pagi ini Uly sedang sibuk di dapur memasak sarapan untuk dirinya dan juga Dewa. Ini adalah hari libur dan kebetulan tak ada jadwal pertemuan dengan siapa pun.Menu pagi ini ia memasak salad sayur yang dipadukan dengan sedikit daging dan pasta.Uly melakukan semuanya dengan ulet, dia memang terbiasa memasak jika berada di kampung. Hanya saja saat tinggal di kampus, ia lebih sering makan di kantin atau di luar dengan rekan-rekannya."Hm, harum." Suara serak dari balik punggungnya membuat Uly menoleh."Selamat pagi," sapa wanita itu sat mendapati Dewa berdiri dengan wajah baru bangun tidurnya."Pagi, My Wife." Dewa melingkarkan lengan di perut wanita itu dan menempelkan bibir di pundak terbuka wanita itu.Pekikan kecil dari bibir Uly pun terdengar. "Aku lagi masak, Wa," protesnya."Yaudah masak, aku nggak ganggu kok," sahutnya acuh.Tidak men
Suatu pagi yang cerah di sebuah kediaman milik Angkasa, matahari menyapa lewat sinarnya yang menembus dari celah gorden. Di atas ranjang yang cukup berantakan itu tidur seorang pria yang masih bergelung dengan selimut bersama sang istri di dalam pelukannya. Kedua manusia itu begitu menikmati waktu istirahat mereka setelah menakhlukkan gelombang asmara yang menggulung keduanya hingga hampir subuh tadi. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu bersama celotehan seorang bocah satu tahun yang merengek di dekat kaki sang kakek. "Cup ... cup ... cup. Tunggu sebentar, opa bangunkan dulu orang tuamu yang seperti kerbau itu," ujarnya berusaha menenangkan sang cucu yang mencari papinya saat baru bangun tidur itu. "Pi ... Pii ... Piii ...." rengek Bara sembari menarik narik celana Abas. "Astaga! Dasar Anak kurang ajar," gerutu pria paruh baya itu sebelum mengumpulkan suara dan menambah
Menjelang fajar, Dewa dan sang Papi tiba di rumah setelah memberi beberapa keterangan di kantor polisi dan menyerahkan semuanya kepada petugas yang berwajib. Rasa lelah dan juga letih yang dirasakan oleh pria itu seolah hilang tak bersisa ketika melihat wajah damai anak dan istrinya yang masih tertidur pulas di dalam kamar. Dewa segera membersihkan diri dengan kilat lalu ikut bergabung di atas ranjang dan memeluk istrinya dengan erat. Hal itu tentu saja langsung membuat Uly terjaga dan membalikkan tubuh menatap wajah suaminya yang tersenyum sangat lebar. "Kamu kenapa?" tanya wanita itu heran karena wajah pria itu yang terlihat sangat cerah. "Kangen kamu," sahut Dewa sembari mengecup sudut bibir wanita itu yang masih terperangah karena merasa heran. "Aneh," gumam Uly Yang masih bisa didengar oleh Dewa.
Arya dan Gladys menyadari bahwa mereka saat ini sudah terkepung dan tidak bisa melarikan diri dengan mudah begitu saja."Papa," ujar Arya yang jauh di lubuk hatinya masih menyimpan rasa hormat dan segan pada orang tua yang telah menyekolahkannya hingga ke luar negeri itu."Sudah kuduga kamu tidak datang sendiri," desis Gladys yang menarik sebuah pistol dari saku Arya."Jangan macam-macam, Gladys! Ingat anakmu," ucap Abas memberi peringatan kepada wanita itu yang sudah mengacungkan senjata ke arah Abbas dan Dewa secara bergantian.Wanita itu menatap keduanya dengan penuh kebencian. "Tidak perlu repot-repot menasehatiku! Anak bukan sesuatu hal yang begitu penting untukku," desis wanita itu.Abbas terperangah tak percaya. Bagaimana bisa wanita yang dulu begitu lugu dan pendiam itu kini menjelma jadi wanita yang tak memiliki perasaan bahkan kepada darah dagingnya sendiri.&nbs
Mereka tiba di kediaman Abbas Angkasa saat matahari mulai terbenam di ufuk barat. Tepat saat sang Papi baru saja pulang dari kantor."Wow ... kalian datang bersama cucu opa!" serunya tampak begitu bahagia seperti dugaan Dewa sebelum mereka datang kemari."Eits. Papi dari luar rumah dan langsung ingin menggendong Bara? Yang benar saja!" tegur Dewa galak.Abas yang tadi sudah mengulurkan tangan ingin mengambil Bara dari gendongan Uly kini mengurungkan niatnya dengan wajah ditekuk masam.Dewa mengabaikan ekspresi berlebihan papinya itu dan segera menarik Uly untuk masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Abbas yang protes karena diabaikan padahal dirinya lah tuan rumah yang sebenarnya di sini.Setelah Abas selesai membersihkan diri, pria paruh baya itu langsung meminta Bara ke dalam gendongannya. Bahkan ketika waktu makan malam tiba, Papi Dewa itu tetap enggan untuk melepaskan Bara dan mengatakan dirinya akan makan malam sendiri nanti setelah Bara tert
Hari ini Dewa dan Uly bersiap untuk memenuhi panggilan dari pihak kepolisian yang akan memintai keterangan pada kedua orang tua bayi tersebut. Sebenarnya bisa saja hanya Dewa yang datang ke kantor polisi karena mengingat Uly yang masih dalam penyembuhan luka pasca melahirkan.Namun wanita itu ngotot ingin ikut dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan berjanji tidak akan berlama-lama di sana membuat Dewa tak kuasa untuk menolak meski sebenarnya ia tak tahu pasti berapa lama waktu yang diperlukan oleh pihak kepolisian dalam memintai keterangan kali ini.Ibu Uly masih tinggal di rumah mereka, sementara Ayahnya sudah lebih dulu pulang ke kampung karena ada beberapa pekerjaan yang harus diurusnya. Maka dari itu Dewa berinisiatif untuk meninggalkan anaknya di rumah bersama mertua dan beberapa pelayan serta bodyguard yang menjaga dengan ketat karena biar bagaimanapun ia cukup merasa trauma dengan kejadian penculikan itu.
Uly menyambut kepulangan anak dan suaminya dengan penuh sukacita. Wanita itu bahkan menangis sesenggukan sembari memeluk bayi mungil yang menatapnya dengan mata berkedip lucu. Tak ada yang bisa Uly katakan selain ucapan penuh syukur.Dewa tersenyum dengan mata berkaca-kaca, sungguh ia lega luar biasa meski sebenarnya masalah ini belum benar-benar selesai karena dalang dari kekacauan ini belum benar-benar bisa dipastikan.Memang Abas sempat mendapat kabar bahwa Arya melarikan diri dari penjara beberapa hari yang lalu. Tapi jika mengingat tentang pengakuan Marina sebelum diseret polisi beberapa jam yang lalu, maka bisa dipastikan bahwa bukan hanya pria itu yang menjadi otak dari penculikan ini.Meski sempat meragu, tapi Dewa meminta pihak kepolisian untuk memeriksa Maharani di mana yang ia tahu wanita itu adalah mantan kencan dari Arya bahkan sempat mengandung anak pria itu yang dulu sempat menjadi sorotan di acara pesta p
Dewa sudah memeriksa semua CCTV, melapor pada pihak kepolisian serta mengerahkan semua orang kepercayaannya serta detektif yang juga papinya sewa. Tak banyak yang mereka dapatkan selain seorang suster yang membawa anak mereka keluar dari ruang bayi karena wanita yang mereka lihat dengan masker putih itu menghilang di zona yang memang tidak terpasang CCTV.Namun ada informasi yang Dewa terima dari seorang satpam yang mencurigai gerak-gerik seseorang saat keluar rumah sakit dengan membawa sebuah tas besar serta memakai topi dan masker dan juga jaket tebal di siang bolong yang terik.Orang itu pergi menggunakan taksi menuju arah barat, dan hal itu cukup membantu bagi Dewa untuk segera menghubungi perusahaan taksi tersebut dan mencari informasi sedetail-detailnya agar mengetahui kemana perginya orang yang mencurigakan itu."Kamu yakin dia orangnya?" tanya Uly masih dengan isak tangis yang benar-benar tak bisa berhenti
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, pukul sepuluh pagi, Uly dan Dewa sudah berada di sebuah rumah sakit yang telah dijanjikan oleh dokter kandungan sebagai tempat Uly menjalani operasi sesar. Papi Dewa dan orang tua Uly juga hadir di sana untuk menemani putra-putri mereka yang jelas terlihat sekali gugup sekaligus cemas.Apalagi Dewa yang bahkan sampai berkeringat karena mengingat banyak sekali kasus kematian seorang ibu setelah melahirkan anaknya. Sungguh, Dewa tak ingin kehilangan salah satu dari mereka."Kamu harus tenang. Malu sama anak kamu nanti kalau pas dia lahir, papinya malah pingsan," ucap Abas berusaha untuk melemparkan lelucon agar suasana hati Dewa sedikit mencair.Tapi ternyata hal itu sia-sia saja karena putra semata wayangnya itu tak menggubris ucapan Abas dan hanya melirik sekilas tanpa respon karena memang saat ini dia tidak ingin berdebat dengan papinya.Uly sendiri sudah memulai
Pagi yang cerah dan begitu membahagiakan apalagi bagi kedua insan yang sedang menikmati udara segar di taman yang terlihat semakin indah dan rapi karena beberapa bulan belakangan mereka sudah menambah beberapa pekerja untuk mengurus rumah mereka hingga kini terlihat lebih rapi dan nyaman untuk ditinggali keluarga kecil mereka. Kehamilan wanita itu sudah hampir tiba di hari perkiraan lahir yang mana dokter telah menjadwalkan operasi sesar untuk Uly dan bayinya. Hal itu disebabkan karena Dewa yang meminta agar wanita itu tidak merasa kesakitan saat melahirkan karena setahu Dewa sikap perempuan yang lahir secara sesar maka dirinya akan diinfus dan tidak merasakan sakit. Padahal Uly sudah memberitahu agar suaminya itu paham bahwa melahirkan secara normal maupun sesar sebenarnya sama-sama menyakitkan karena setelah operasi, kegunaan bius itu juga akan hilang dan semua ibu akan berjuang untuk memulih