******
Deheman keras dari bocah berkaos oblong dan celana denim selutut itu mengacaukan romantisnya suasana yang sempat tercipta.
"Kalian nggak makan? Aku lapar," ucapnya santai dan mendudukan diri di kursi, siap menyantap hidangan.
"Hush, kamu ini kebiasaan. Nggak mau nyapa Kakak-mu dulu? Sudah dua tahun loh kalian nggak ketemu," ucap sang mama mengingatkan.
Dewa melirik pria yang berdiri di belakang mamanya, menatap jari sang kakak yang bertautan dengan wanita yang kini menunduk dalam.
"Hallo, Brother, semoga betah kembali ke rumah," ucap Dewa santai seraya menyendok nasi ke piring.
Tere menggeleng pelan dengan helaan napas panjang. Bukan hal aneh lagi melihat tingkah Dewa yang selalu sesuka hati, apalagi memang sangat terlihat jelas bahwa anak tirinya itu tak menyukai Arya. Bahkan, kepergian anak sulungnya itu juga disebabkan karena hubungan keduanya yang semakin memburuk.
Meskipun begitu, wanita paruh baya itu tetap menyayangi Dewa seperti putra kandungnya sendiri. Ia sangat maklum dengan karakter keras anaknya itu yang meniru sifat papinya.
Sementara Arya hanya tersenyum masam, menarik lengan Uly menuju meja makan.
"Apa kabar, Anak nakal?" sapa Arya mencoba akrab.
Dewa mengunyah makanan dengan lambat, meneguk air putih sebelum menoleh dan memamerkan senyum palsunya. "Tenang saja, akan selalu baik," sahutnya santai.
"Bukannya kamu sedang sakit? Kenapa terlihat segar sekali?" Suara berat yang mendekat membuat suasana mendadak senyap.
"Sudah lebih baik setelah makan sedikit brownis."
Uly mengernyitkan dahi. Sedikit katanya? Apakah satu piring besar itu bisa dikatakan sedikit?
"Sejak kapan kamu suka makanan manis? Biasanya Mama buatin kamu nggak pernah makan." tanya wanita paruh baya itu heran.
"Kebetulan ingin saja, Ma," jawabnya kalem. "Aku sudah selesai, maaf harus kembali ke kamar duluan," imbuhnya setelah menandaskan isi gelas di tangannya.
"Sampai kapan kamu mau memusuhi Kakakmu?" tanya Abas tiba-tiba, Papi Dewa dan Arya.
Langkah bocah itu spontan terhenti, lalu berbalik dengan tatapan malas. "Sampai kapan Papi terus membahas ini?"
"Kamu sudah besar, Dewa, bersikaplah lebih dewasa, apalagi sebentar lagi kamu lulus dan akan masuk dunia perkuliahan, kurangi sifat keras kepalamu itu!" ujar pria paruh baya itu tegas.
"Pi ...." Tere mengusap lembut lengan suaminya, berusaha menenangkan pria itu.
"Papi nggak perlu khawatir, aku bisa urus diri sendiri, lebih baik pikirkan anak kesayangan Papi itu," sahutnya datar seraya melanjutkan langkah kaki.
"Dewa Angkasa!" hardik sang papa geram, tapi tak sedikitpun digubris oleh bocah itu.
Dewa adalah putra satu-satunya dari pernikahan Abas dengan Vanesa, istri pertamanya yang meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Wanita malang itu meninggal akibat kecelakaan lalu lintas pada malam tahun baru saat ia hendak menjemput salah satu kerabat di bandara.
Sejak saat itu, hubungan Dewa dan Papinya makin merenggang. Laki-laki itu marah karena sang Papi membiarkan Maminya menyetir sendirian tengah malam.
Apalagi tak berselang lama, Abas memberitahu keinginannya untuk menikah lagi karena merasa kewalahan mengurus Dewa sendirian yang selalu saja membuat onar.
Dan sialnya, kehadiran dua orang itu ke rumah ini bukan hanya merebut perhatian sang papi darinya, anak dari mama tirinya itu juga merampas seseorang yang sangat Dewa sayangi di hidupnya, satu-satunya penyemangat yang tersisa dan kakak tirinya itu malah merebutnya.
Dewa benci itu, hanya karena Arya terlihat lebih sempurna dari dirinya, semua orang berbondong-bondong datang dan memihak padanya, mengabaikan Dewa yang selalu dianggap nakal dan hanya bisa membuat onar.
Terdengar suara ketukan pintu yang terdengar ragu-ragu. Dewa mengernyitkan dahi seraya berjalan membuka pintu kamarnya yang sengaja ia kunci.
Ia terpaku untuk sesaat ketika mendapati tubuh mungil kekasih kakaknya berdiri dengan gelisah di sana.
"Mau apa?" tanya Dewa datar.
Uly berjengit kaget karena tak sadar dengan kehadiran Dewa di depannya.
"I ... ini oleh-oleh dari kakak kamu," ucap Uly pelan.
Laki-laki itu mengerutkan dahi heran. "Kenapa lo yang kasih?" tanyanya.
"Hmm, itu ... anu ... aku mau tanya, brownis yang kamu bawa masih ada?" ucap Uly terbata.
Dewa menyipitkan mata. "Maksud lo?"
"Hm, itu ... soalnya brownis yang di dapur habis," cicitnya tak enak hati.
Tapi memang benar, tadi kue cokelat buatannya masih tersisa sedikit lagi di dalam wadah yang ia bawa, tapi entah mengapa saat Uly ingin menyalinnya ke dalam piring dan memberikannya pada Arya, kue itu sudah menghilang entah kemana.
"Nggak ada, udah habis!" sahut laki-laki itu ketus.
Uly seketika melemas, niatnya memberikan kue spesial untuk menyambut Arya gagal total. Gadis itu mengangguk perlahan dan berniat pergi dari hadapan calon adik iparnya itu.
"Lain kali, kalau mau bawa itu yang banyak, manusia di rumah ini bukan cuma Arya," ujar Dewa datar sebelum menutup pintu kamar.
Uly menghela napas berat, hilang sudah harapannya membuat Arya terkesan dengan makanan buatannya.
Sesampainya di ruang keluarga, wanita itu mendapati kekasihnya itu tengah berbincang akrab dengan seorang wanita yang duduk dengan stelan kerja di sebelahnya.
"Kamu bisa mulai belajar dengan Marina," ucap Abas pada putranya.
"Ah, Bapak bisa saja, Pak Arya ini 'kan lulusan luar negeri, pasti lebih pintar daripada saya," sahut wanita itu malu.
"Tapi Arya belum berpengalaman terjun langsung ke lapangan, beda dengan kamu yang sudah bertahun-tahun menjadi sekretaris saya, ikut hilir mudik memantau proyek."
"Papa tenang saja, Arya akan cepat belajar, apalagi mentornya seperti ini," ucapnya jahil.
Marina yang notabennya adalah sekretaris Abas angkasa tersenyum malu.
"Uly, sini, Sayang. Ngapain berdiri di situ?" Tere muncul dari arah tangga setelah berganti baju santai.
"Iya, Ma," sahut Uly gugup.
Entah mengapa ia tiba-tiba merasa rendah diri berada di sini. Keluarga Angkasa adalah keluarga terpandang yang memiliki beberapa usaha properti dengan berbagai cabang di kota-kota besar Indonesia.
Sementara dirinya hanya putri dari sepasang petani biasa, mengandalkan beasiswa hingga bisa menjadi dosen muda karena kepintarannya.
Sungguh, mereka sangat jauh berbeda, apalagi melihat Arya duduk berdampingan dengan Marina, Uly merasa mereka sangat cocok karena memiliki wawasan dan pandangan yang sama. Sedangkan dengan dirinya, Arya mungkin tak akan leluasa berbicara tentang bisnis dan perusahaan karena memang bukan bidang yang Uly geluti.
Tapi, wanita itu percaya bahwa jodoh sudah di atur oleh yang kuasa, dan tak ada manusia yang mampu melawannya. Hanya itulah kekuatan Uly saat ini, mempercayai takdir yang akan membawanya pada cinta sejati, tanpa pamrih dan menerima segala kekurangan maupun kelebihan yang ada pada dirinya.
Semoga saja Arya adalah takdir yang dipilihkan sang maha kuasa untuknya. Sebab ia melihat pria itu begitu dewasa dan bijaksana.
*****
Sayangnya, takdir memang suka bercanda, hingga kita terkadang tak sanggup lagi tertawa.Seperti yang dirasakan Uly saat ini. Sebulan setelah kepulangan sang kekasih dari luar negeri, hubungan mereka merenggang. Arya terlalu sibuk dengan urusan kantor yang mulai digelutinya, hingga tak ada waktu lagi bagi mereka meski hanya untuk bertukar kabar lewat udara.Setiap kali wanita itu berkunjung ke rumah Arya, pria itu pasti tak ada di rumah, terkadang lembur, atau memantau proyek di luar kota.Uly mencoba untuk bersabar, ia cukup memahami tanggung jawab yang diemban pria itu cukup berat. Ini adalah kesempatan emas bagi Arya untuk meraih kepercayaan Abas.Namun, kesabaran seseorang sungguh ada batasnya. Apalagi saat memergoki sang kekasih yang sedang bermesraan di ruangan kerjanya dengan sekretaris sang papa, Marina.Uly spontan menjatuhkan kantongan berisi makanan yang ia ba
Uly melangkahkan kaki dengan sempoyongan, berjalan memasuki halaman luas dari kediaman Angkasa. Ia ingin bertemu dan meluapkan segala emosi yang menggerogoti rongga dada pada pria brengsek yang sudah mengkhianatinya. Pengaruh alkohol benar-benar sudah mempengaruhi gadis itu.Saat di club tadi, Diva bertemu dengan temannya yang mengajaknya ke lantai dansa. Uly tentu saja menolak ikut dan ingin pulang saja.Akhirnya Diva memesankan taksi dan menyuruh sang supir mengantar sahabatnya itu pulang. Tapi di tengah jalan Uly malah memutar haluan menuju rumah besar ini."Arya ... Arya ... pengkhianat! Keluar kamu!" Wanita itu mengetuk pintu dengan tangan kecil yang mulai melemah."Arya!" pekik gadis itu lagi dengan kesal."Non Uly, ada apa?" Satpam yang tadi membukakan gerbang kini sudah berdiri di sebelah gadis itu dengan raut bingung."Arya! Saya mau ketemu Arya, Pak!" rancau gadis itu.
"Jadi, siapa yang ingin menjelaskan?" tanya Abas tajam, memandang satu persatu wajah orang-orang yang semalam ia tinggal pergi ke luar kota.Di antara semua orang yang ada di ruangan ini, hanya Dewa yang bersikap biasa. Ia masih bisa memainkan ponselnya tanpa beban.Sementara Arya, duduk dengan tangan mengepal dan tatapan super tajam."Saya ... saya ... minta maaf telah membuat kekacauan di rumah ini," ucap Uly terbata-bata. "Tapi, saya yakin benar-benar tidak melakukan apapun dengan Dewa," imbuhnya pelan."Dewa Angkasa! Jelaskan semua ini!" ujar pria paruh baya itu geram."Jelaskan apa, Pi? 'Kan semua sudah jelas, kami tidur bersama," sahutnya santai."Brengsek!" Arya menggebrak meja dan hendak menghampiri adiknya, tapi seruan keras dari sang papi membuatnya urung seketika."Tenangkan emosimu, Arya!" tegur Abas tegas."Bagaimana aku bisa tenang di
šššSeminggu berlalu begitu cepat bagi seorang Uly Syahrani. Kini, ia sedang mematut diri di depan cermin yang menunjukkan wajah ayu yang terpoles make-up sederhana tapi tetap memancarkan wajah cantik nan teduhnya.Wanita itu memilin jari dengan gelisah. Di bawah sana, Dewa angkasa sedang bersiap mengucap ijab qobul untuk pernikahan mereka. Pemuda itu benar-benar tak mau mundur walau Uly sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tak perlu dinikahi.Acara ini dilakukan di rumah besar keluarga Angkasa. Ayah dan Ibu ulUly juga hadir, mereka tiba kemarin sore dan menginap semalam di hotel berbintang yang dibiayai langsung oleh Abas karena Ayah Uly sungkan menginap di rumah mereka.Saat ia memberi tahu perihal pernikahannya, mereka sempat terkejut dan merasa kecewa karena Uly tak menepati janji untuk menjaga diri saat jauh dari mereka. Tapi entah kenapa setelah Dewa m
Setelah selesai berkemas, Dewa dan Uly segera meninggalkan rumah besar itu dengan diantar seorang sopir yang ditugaskan oleh Abas. Dewa yang awalnya menolak tak bisa berkutik saat Abas berdalih tak ingin membuat menantunya susah karena putranya yang keras kepala.Sebenarnya pria paruh baya itu sangat berat hati melepaskan anak semata wayangnya hidup pisah rumah dengan alasan ingin mandiri, meskipun Dewa sudah menikah tapi Abas tahu bahwa sikap putranya itu belum sepenuhnya dewasa, bahkan masih sangat kekanakan dan kadang sedikit temperamental.Belum lagi sikap keras kepalanya yang Abbas yakin akan membuat Uly kewalahan setengah mati.Sementara kedua anak manusia yang sedang dikhawatirkan oleh Abbas itu duduk dalam diam menatap jalanan ibukota yang tetap ramai di malam hari.Beberapa menit kemudian mobil berbelok memasuki sebuah area perumahanan yang Uly tahu letaknya tak terlalu jauh dari kampus tempat dia men
šššDewa terkekeh geli saat menyadari tubuh Uly yang menegang kaku. Kelihatan sekali bahwa ini yang pertama kali bagi wanita itu. Tentu saj hal itu menambah daftar kesenangan bagi seorang Dewa Angkasa.Sejak awal wanita itu datang ke rumahnya, Dewa sudah merasa terpesona dengan sikap sopan nan lembut yang Uly tampilkan.Namun, saat ia memperkenalkan diri sebagai kekasih Arya, rasa kagum itu seolah berganti menjadi gejolak amarah.Dewa selalu benci saat Uly datang ke rumah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga Arya. Apalagi mendengar harapan wanita itu yang ingin segera menjejaki hubungan lebih serius setelah kepulangan kakak tirinya itu."Belum berpengalaman, eh?" ejek Dewa saat tak merasakan balasan, ia makin merapatkan tubuh menggoda.Perempuan itu bergerak gelisah, ingin menarik diri tapi ditahan oleh bocah yang kini berstatus sebagai
Uly menatap bimbang Dewa yang sudah duduk di atas motor besarnya, bersiap mengantar wanita itu pergi bekerja."Ayo, Ly, buruan ntar telat," ucapnya."I--iya, tapi ... kamu yakin bawa motor gini, rok aku gimana?" tanyanya pelan.Dewa berdecak. "Enak naik motor, nggak kena macet. Lagian kamu ngapain pake rok pendek gitu? Ganti celana sana!" titahnya.Uly melihat ke bagian bawah tubuhnya. Rok selutut yang dipakainya sungguh sudah amat sopan, tak terlalu pendek ataupun ketat. Tapi, akan sangat tidak nyaman jika ia harus menaiki motor besar pria itu."Nggak pendek banget," sangkal wanita itu."Pendek, dan aku nggak suka. Ganti!" sahut Dewa tegas.Uly menghembuskan napas panjang sebelum kembali memasuki rumah untuk menuruti perkataan suami berondongnya itu.Tak lama, wanita itu kembali dengan celana bahan panjang berwarna cream."Sudah,"
Uly membayar ongkos ojek online yang ditumpanginya lalu berbalik dan berjalan memasuki pekarangan rumah baru yang ditempatinya bersama suami brondongnya. Wanita itu mengernyitkan dahi saat melihat ada sebuah mobil yang tak dikenalinya terparkir di depan rumah.Dengan langkah ragu-ragu wanita itu mendorong pintu yang tak tertutup rapat, dan yang di dapatinya adalah seorang gadis muda menempel di lengan suaminya yang sedang serius menatap laptop."Widiiiih ... ada perempuan cantik bengong depan pintu," sorak Arka yang berjalan dari arah dapur.Dewa spontan mendongak, sejenak menatap dalam diam istrinya yang berdiri kaku di depan pintu."Sudah pulang?" Dewa akhirnya bersuara.Uly menarik napas panjang, mengangguk perlahan mengabaikan sentilan sakit di hati yang paling dalam."Siapa lo, Wa? Kok lo nggak bilang tinggal sama perempuan cantik gini? Pembantu atau--""Kakak
Suatu pagi yang cerah di sebuah kediaman milik Angkasa, matahari menyapa lewat sinarnya yang menembus dari celah gorden. Di atas ranjang yang cukup berantakan itu tidur seorang pria yang masih bergelung dengan selimut bersama sang istri di dalam pelukannya. Kedua manusia itu begitu menikmati waktu istirahat mereka setelah menakhlukkan gelombang asmara yang menggulung keduanya hingga hampir subuh tadi. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu bersama celotehan seorang bocah satu tahun yang merengek di dekat kaki sang kakek. "Cup ... cup ... cup. Tunggu sebentar, opa bangunkan dulu orang tuamu yang seperti kerbau itu," ujarnya berusaha menenangkan sang cucu yang mencari papinya saat baru bangun tidur itu. "Pi ... Pii ... Piii ...." rengek Bara sembari menarik narik celana Abas. "Astaga! Dasar Anak kurang ajar," gerutu pria paruh baya itu sebelum mengumpulkan suara dan menambah
Menjelang fajar, Dewa dan sang Papi tiba di rumah setelah memberi beberapa keterangan di kantor polisi dan menyerahkan semuanya kepada petugas yang berwajib. Rasa lelah dan juga letih yang dirasakan oleh pria itu seolah hilang tak bersisa ketika melihat wajah damai anak dan istrinya yang masih tertidur pulas di dalam kamar. Dewa segera membersihkan diri dengan kilat lalu ikut bergabung di atas ranjang dan memeluk istrinya dengan erat. Hal itu tentu saja langsung membuat Uly terjaga dan membalikkan tubuh menatap wajah suaminya yang tersenyum sangat lebar. "Kamu kenapa?" tanya wanita itu heran karena wajah pria itu yang terlihat sangat cerah. "Kangen kamu," sahut Dewa sembari mengecup sudut bibir wanita itu yang masih terperangah karena merasa heran. "Aneh," gumam Uly Yang masih bisa didengar oleh Dewa.
Arya dan Gladys menyadari bahwa mereka saat ini sudah terkepung dan tidak bisa melarikan diri dengan mudah begitu saja."Papa," ujar Arya yang jauh di lubuk hatinya masih menyimpan rasa hormat dan segan pada orang tua yang telah menyekolahkannya hingga ke luar negeri itu."Sudah kuduga kamu tidak datang sendiri," desis Gladys yang menarik sebuah pistol dari saku Arya."Jangan macam-macam, Gladys! Ingat anakmu," ucap Abas memberi peringatan kepada wanita itu yang sudah mengacungkan senjata ke arah Abbas dan Dewa secara bergantian.Wanita itu menatap keduanya dengan penuh kebencian. "Tidak perlu repot-repot menasehatiku! Anak bukan sesuatu hal yang begitu penting untukku," desis wanita itu.Abbas terperangah tak percaya. Bagaimana bisa wanita yang dulu begitu lugu dan pendiam itu kini menjelma jadi wanita yang tak memiliki perasaan bahkan kepada darah dagingnya sendiri.&nbs
Mereka tiba di kediaman Abbas Angkasa saat matahari mulai terbenam di ufuk barat. Tepat saat sang Papi baru saja pulang dari kantor."Wow ... kalian datang bersama cucu opa!" serunya tampak begitu bahagia seperti dugaan Dewa sebelum mereka datang kemari."Eits. Papi dari luar rumah dan langsung ingin menggendong Bara? Yang benar saja!" tegur Dewa galak.Abas yang tadi sudah mengulurkan tangan ingin mengambil Bara dari gendongan Uly kini mengurungkan niatnya dengan wajah ditekuk masam.Dewa mengabaikan ekspresi berlebihan papinya itu dan segera menarik Uly untuk masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Abbas yang protes karena diabaikan padahal dirinya lah tuan rumah yang sebenarnya di sini.Setelah Abas selesai membersihkan diri, pria paruh baya itu langsung meminta Bara ke dalam gendongannya. Bahkan ketika waktu makan malam tiba, Papi Dewa itu tetap enggan untuk melepaskan Bara dan mengatakan dirinya akan makan malam sendiri nanti setelah Bara tert
Hari ini Dewa dan Uly bersiap untuk memenuhi panggilan dari pihak kepolisian yang akan memintai keterangan pada kedua orang tua bayi tersebut. Sebenarnya bisa saja hanya Dewa yang datang ke kantor polisi karena mengingat Uly yang masih dalam penyembuhan luka pasca melahirkan.Namun wanita itu ngotot ingin ikut dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan berjanji tidak akan berlama-lama di sana membuat Dewa tak kuasa untuk menolak meski sebenarnya ia tak tahu pasti berapa lama waktu yang diperlukan oleh pihak kepolisian dalam memintai keterangan kali ini.Ibu Uly masih tinggal di rumah mereka, sementara Ayahnya sudah lebih dulu pulang ke kampung karena ada beberapa pekerjaan yang harus diurusnya. Maka dari itu Dewa berinisiatif untuk meninggalkan anaknya di rumah bersama mertua dan beberapa pelayan serta bodyguard yang menjaga dengan ketat karena biar bagaimanapun ia cukup merasa trauma dengan kejadian penculikan itu.
Uly menyambut kepulangan anak dan suaminya dengan penuh sukacita. Wanita itu bahkan menangis sesenggukan sembari memeluk bayi mungil yang menatapnya dengan mata berkedip lucu. Tak ada yang bisa Uly katakan selain ucapan penuh syukur.Dewa tersenyum dengan mata berkaca-kaca, sungguh ia lega luar biasa meski sebenarnya masalah ini belum benar-benar selesai karena dalang dari kekacauan ini belum benar-benar bisa dipastikan.Memang Abas sempat mendapat kabar bahwa Arya melarikan diri dari penjara beberapa hari yang lalu. Tapi jika mengingat tentang pengakuan Marina sebelum diseret polisi beberapa jam yang lalu, maka bisa dipastikan bahwa bukan hanya pria itu yang menjadi otak dari penculikan ini.Meski sempat meragu, tapi Dewa meminta pihak kepolisian untuk memeriksa Maharani di mana yang ia tahu wanita itu adalah mantan kencan dari Arya bahkan sempat mengandung anak pria itu yang dulu sempat menjadi sorotan di acara pesta p
Dewa sudah memeriksa semua CCTV, melapor pada pihak kepolisian serta mengerahkan semua orang kepercayaannya serta detektif yang juga papinya sewa. Tak banyak yang mereka dapatkan selain seorang suster yang membawa anak mereka keluar dari ruang bayi karena wanita yang mereka lihat dengan masker putih itu menghilang di zona yang memang tidak terpasang CCTV.Namun ada informasi yang Dewa terima dari seorang satpam yang mencurigai gerak-gerik seseorang saat keluar rumah sakit dengan membawa sebuah tas besar serta memakai topi dan masker dan juga jaket tebal di siang bolong yang terik.Orang itu pergi menggunakan taksi menuju arah barat, dan hal itu cukup membantu bagi Dewa untuk segera menghubungi perusahaan taksi tersebut dan mencari informasi sedetail-detailnya agar mengetahui kemana perginya orang yang mencurigakan itu."Kamu yakin dia orangnya?" tanya Uly masih dengan isak tangis yang benar-benar tak bisa berhenti
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, pukul sepuluh pagi, Uly dan Dewa sudah berada di sebuah rumah sakit yang telah dijanjikan oleh dokter kandungan sebagai tempat Uly menjalani operasi sesar. Papi Dewa dan orang tua Uly juga hadir di sana untuk menemani putra-putri mereka yang jelas terlihat sekali gugup sekaligus cemas.Apalagi Dewa yang bahkan sampai berkeringat karena mengingat banyak sekali kasus kematian seorang ibu setelah melahirkan anaknya. Sungguh, Dewa tak ingin kehilangan salah satu dari mereka."Kamu harus tenang. Malu sama anak kamu nanti kalau pas dia lahir, papinya malah pingsan," ucap Abas berusaha untuk melemparkan lelucon agar suasana hati Dewa sedikit mencair.Tapi ternyata hal itu sia-sia saja karena putra semata wayangnya itu tak menggubris ucapan Abas dan hanya melirik sekilas tanpa respon karena memang saat ini dia tidak ingin berdebat dengan papinya.Uly sendiri sudah memulai
Pagi yang cerah dan begitu membahagiakan apalagi bagi kedua insan yang sedang menikmati udara segar di taman yang terlihat semakin indah dan rapi karena beberapa bulan belakangan mereka sudah menambah beberapa pekerja untuk mengurus rumah mereka hingga kini terlihat lebih rapi dan nyaman untuk ditinggali keluarga kecil mereka. Kehamilan wanita itu sudah hampir tiba di hari perkiraan lahir yang mana dokter telah menjadwalkan operasi sesar untuk Uly dan bayinya. Hal itu disebabkan karena Dewa yang meminta agar wanita itu tidak merasa kesakitan saat melahirkan karena setahu Dewa sikap perempuan yang lahir secara sesar maka dirinya akan diinfus dan tidak merasakan sakit. Padahal Uly sudah memberitahu agar suaminya itu paham bahwa melahirkan secara normal maupun sesar sebenarnya sama-sama menyakitkan karena setelah operasi, kegunaan bius itu juga akan hilang dan semua ibu akan berjuang untuk memulih