******
Uly Syahrani berdandan dengan cantik karena malam ini dia akan menyambut sang pujaan hati, Arya Mahendra yang sore ini tiba di bandara Soekarno Hatta.
Setahun menjalin hubungan tanpa pernah berjumpa membuat hati wanita itu kini dilanda kegugupan, dia takut Arya merasa kecewa dengan paras aslinya. Meskipun selama ini mereka sering melakukan video call, tapi tetap saja ini rasanya berbeda.
Uly bergegas keluar ketika mendengar suara klakson mobil di depan pintu rumahnya. Mobil jemputan dari keluarga Arya sudah datang. Iya, dia memang sudah sedekat itu dengan keluarga pria itu, bahkan di waktu senggangnya, Uly sering mengunjungi kediaman mereka.
Mama Tere bahkan sangat menyukai dirinya karena Uly pintar memasak. Seringkali wanita itu memintanya datang hanya untuk belajar membuat kue bersama Uly.
Di antara semua kerabat Arya yang Uly kenal, hanya satu oranglah yang sangat tak suka padanya. Bahkan terkesan sinis dan dingin, yaitu Dewa Angkasa, adik tiri pria itu.
Mungkin dibenaknya Uly hanyalah seorang wanita mata duitan yang mencintai Arya karena hartanya.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa Keluarga Angkasa masuk dalam sepuluh keluarga terkaya di Indonesia. Tapi jujur saja, bukan hal itu yang membuat Uly mau menerima Arya sebagai kekasihnya, karena memang cintanya tulus untuk pria itu.
Arya adalah pria yang baik, lembut, sopan, serta bertanggung jawab. Saat ini pria itu baru saja mendapatkan gelar masternya di Universitas ternama Amerika, dan sudah pasti hal itu menjadi nilai plus di mata Uly. Hal yang positif tentunya.
"Cantik sekali Nona Uly hari ini." Suara Pak Budi terdengar jahil di telinga wanita itu.
"Bapak jangan begitu dong. Saya jadi nggak pe-de," Uly berucap malu.
Pria paruh baya yang menjemputnya sore ini tertawa. "Nona Uly cantik, baik lagi. Semoga langgeng, ya sama Den Arya."
"Amiin. Makasih, Pak Budi," ucap Uly seraya tersenyum manis.
Mobil bergerak membelah jalan raya, membawa serta rasa gugup dan cemas yang Uly rasakan. Malam ini, dia akan menuntaskan segala rindu yang menggunung, dan akhirnya penantian panjangnya telah berujung.
Setengah jam kemudian, Uly sampai di kediaman keluarga Angkasa. Uly memang lebih memilih menunggu Arya di rumah, ketimbang ikut bersama kerabat pria itu yang menjemput di bandara. Lagi pula mereka pergi sebelum jam pulang mengajar Uly selesai.
Gadis itu melangkah santai memasuki rumah besar bak istana itu, sambil menenteng bungkusan plastik yang berisi kue coklat buatannya sendiri yang khusus di masaknya untuk menyambut kepulangan Arya.
"Eh, Non Uly sudah datang toh, sini-sini duduk." Bulek Atik, pekerja rumah ini menyambut ramah Uly yang segera meletakkan bungkusan kue di atas pantry.
"Pergi semua, ya, Bulek?" Uly bertanya seraya menyusun kue ke atas piring.
"Ndhak, Non. Tuan muda Dewa ada di atas," jawab Bulek Atik.
"Loh, dia nggak ikut jemput?"
"Tadi mau ikut, tapi tiba-tiba sakit perut katanya."
"Oh, gitu." Uly selesai menata kue dan meletakkannya di atas kitchen island. Lalu ia berbalik hendak membantu Bulek Atik yang sibuk memasak banyak menu untuk jamuan makan malam.
Suara langkah kaki terdengar memasuki area dapur, Dewa muncul hanya dengan celana olahraga yang menggantung di pinggul, keringat tampak membasahi dada telanjangnya.
Uly memalingkan wajah karena merasa malu, dia yang notabenenya wanita kolot yang sungguh polos merasa risih melihat pemandangan itu karena tak terbiasa.
Kedekatannya dengan seorang pria pun biasa-biasa saja, hanya sebatas mengobrol dan makan bersama tanpa ada sentuhan fisik. Mungkin hal itulah yang membuat para teman kencannya itu merasa jenuh dan tunggang langgang meninggalkannya.
Uly berharap Arya adalah pria berbeda, mereka sama-sama sudah dewasa, dan wanita itu harap Arya adalah pria yang bertanggung jawab dan memegang prinsip Teguh melindungi wanita.
"Den Dewa perlu bantuan?" tanya Bik Atik sopan.
Cowok itu menggeleng pelan, dengan mata menusuk tajam punggung wanita yang berdiri dengan gelisah di depan kulkas.
Dewa berjalan mendekati wanita itu, menatapnya sejenak sebelum meraih kedua bahu Uly dan menggesernya dengan mudah.
"Minggir! Gue mau minum!" ucapnya datar.
Wanita itu tergagap dengan bibir sedikit bergetar. "Oh, ehm ... apa kamu ingin kue?" tanyanya gugup.
Dewa menaikkan sebelah alis seraya menyambar sebotol air mineral dan meneguknya hingga setengah.
"Apa itu kue buatan elo?" Matanya melirik sepiring brownis yang terletak di atas meja.
Uly mengangguk tanda membenarkan meski nada bicara calon adik iparnya itu terdengar kurang sopan.
Dewa melangkah mendekati meja itu, menyambar sepotong brownis dan melahapnya dengan wajah datar. Lalu, tanpa Uly sangka, laki-laki itu berlalu pergi membawa sepiring kue tanpa berkata apa-apa.
Wanita itu ingin mencegah, tapi entah mengapa bibirnya terasa kelu walau hanya sekedar menegur laki-laki itu.
"Loh, kok dibawa semua? Biasanya Den Dewa ndhak suka makanan yang manis-manis," komentar Bulek Atik heran.
Uly meringis tak mengerti, ia segera melihat kantongan plastik yang tadi dibawanya. Untung saja masih tersisa sedikit potongan brownis yang bisa ia sisakan untuk Arya.
Setengah jam kemudian, segala menu masakan telah terhidang di atas meja, lengkap dengan buah dan menu penutupnya. Tak lama, terdengar deru mobil berhenti di pekarangan rumah, dilanjutkan dengan suara tawa dan langkah kaki yang semakin mendekat.
Uly merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, jemarinya saling meremas dengan getar halus yang merambat.
"Welcome to home, Sayang!" Suara riang gembira Tere terdengar begitu bersemangat.
"Ah, Uly! Kamu sudah datang, Sayang!" pekik wanita itu ketika melihat calon menantu kesayangannya berdiri kaku di seberang meja makan.
Wanita itu mengangguk canggung. "Iya, Ma," sahutnya pelan. Ya, Tere sendiri yang memintanya memanggil dengan sebutan mama.
"Arya ...! sini!" panggil wanita paruh baya itu girang.
Tak lama, sesosok pria tampan dengan balutan kemeja biru navy muncul di hadapan Uly.
"Coba tebak, ini siapa?" goda sang mama pada putra sulungnya.
Senyum pria itu seketika mengembang, menatap lembut wanita yang berdiri dengan jari saling bertautan.
"Hallo, Uly," sapanya lembut.
Wanita itu mendongak dengan tatapan malu disertai detak jantung bertalu-talu.
"Hai, Mas Arya," sahutnya teramat merdu.
Pria itu tak sanggup menahan senyum, direntangkannya kedua tangan seraya berucap, "Nggak mau peluk? Nggak kangen sama aku?"
Uly menunduk malu, menggigit bibir salah tingkah. Arya yang melihat itu menarik kekasihnya gemas, mendekap dengan pelukan hangat sebagai salam perjumpaan.
"Aku nggak nyangka, kamu lebih manis dari yang aku bayangin," kekehnya senang, dengan raut wajah begitu riang.
******
******Deheman keras dari bocah berkaos oblong dan celana denim selutut itu mengacaukan romantisnya suasana yang sempat tercipta."Kalian nggak makan? Aku lapar," ucapnya santai dan mendudukan diri di kursi, siap menyantap hidangan."Hush, kamu ini kebiasaan. Nggak mau nyapa Kakak-mu dulu? Sudah dua tahun loh kalian nggak ketemu," ucap sang mama mengingatkan.Dewa melirik pria yang berdiri di belakang mamanya, menatap jari sang kakak yang bertautan dengan wanita yang kini menunduk dalam."Hallo, Brother, semoga betah kembali ke rumah," ucap Dewa santai seraya menyendok nasi ke piring.Tere menggeleng pelan dengan helaan napas panjang. Bukan hal aneh lagi melihat tingkah Dewa yang selalu sesuka hati, apalagi memang sangat terlihat jelas bahwa anak tirinya itu tak menyukai Arya. Bahkan, kepergian anak sulungnya itu juga disebabkan karena hubungan keduanya yang semakin memburuk.
Sayangnya, takdir memang suka bercanda, hingga kita terkadang tak sanggup lagi tertawa.Seperti yang dirasakan Uly saat ini. Sebulan setelah kepulangan sang kekasih dari luar negeri, hubungan mereka merenggang. Arya terlalu sibuk dengan urusan kantor yang mulai digelutinya, hingga tak ada waktu lagi bagi mereka meski hanya untuk bertukar kabar lewat udara.Setiap kali wanita itu berkunjung ke rumah Arya, pria itu pasti tak ada di rumah, terkadang lembur, atau memantau proyek di luar kota.Uly mencoba untuk bersabar, ia cukup memahami tanggung jawab yang diemban pria itu cukup berat. Ini adalah kesempatan emas bagi Arya untuk meraih kepercayaan Abas.Namun, kesabaran seseorang sungguh ada batasnya. Apalagi saat memergoki sang kekasih yang sedang bermesraan di ruangan kerjanya dengan sekretaris sang papa, Marina.Uly spontan menjatuhkan kantongan berisi makanan yang ia ba
Uly melangkahkan kaki dengan sempoyongan, berjalan memasuki halaman luas dari kediaman Angkasa. Ia ingin bertemu dan meluapkan segala emosi yang menggerogoti rongga dada pada pria brengsek yang sudah mengkhianatinya. Pengaruh alkohol benar-benar sudah mempengaruhi gadis itu.Saat di club tadi, Diva bertemu dengan temannya yang mengajaknya ke lantai dansa. Uly tentu saja menolak ikut dan ingin pulang saja.Akhirnya Diva memesankan taksi dan menyuruh sang supir mengantar sahabatnya itu pulang. Tapi di tengah jalan Uly malah memutar haluan menuju rumah besar ini."Arya ... Arya ... pengkhianat! Keluar kamu!" Wanita itu mengetuk pintu dengan tangan kecil yang mulai melemah."Arya!" pekik gadis itu lagi dengan kesal."Non Uly, ada apa?" Satpam yang tadi membukakan gerbang kini sudah berdiri di sebelah gadis itu dengan raut bingung."Arya! Saya mau ketemu Arya, Pak!" rancau gadis itu.
"Jadi, siapa yang ingin menjelaskan?" tanya Abas tajam, memandang satu persatu wajah orang-orang yang semalam ia tinggal pergi ke luar kota.Di antara semua orang yang ada di ruangan ini, hanya Dewa yang bersikap biasa. Ia masih bisa memainkan ponselnya tanpa beban.Sementara Arya, duduk dengan tangan mengepal dan tatapan super tajam."Saya ... saya ... minta maaf telah membuat kekacauan di rumah ini," ucap Uly terbata-bata. "Tapi, saya yakin benar-benar tidak melakukan apapun dengan Dewa," imbuhnya pelan."Dewa Angkasa! Jelaskan semua ini!" ujar pria paruh baya itu geram."Jelaskan apa, Pi? 'Kan semua sudah jelas, kami tidur bersama," sahutnya santai."Brengsek!" Arya menggebrak meja dan hendak menghampiri adiknya, tapi seruan keras dari sang papi membuatnya urung seketika."Tenangkan emosimu, Arya!" tegur Abas tegas."Bagaimana aku bisa tenang di
šššSeminggu berlalu begitu cepat bagi seorang Uly Syahrani. Kini, ia sedang mematut diri di depan cermin yang menunjukkan wajah ayu yang terpoles make-up sederhana tapi tetap memancarkan wajah cantik nan teduhnya.Wanita itu memilin jari dengan gelisah. Di bawah sana, Dewa angkasa sedang bersiap mengucap ijab qobul untuk pernikahan mereka. Pemuda itu benar-benar tak mau mundur walau Uly sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tak perlu dinikahi.Acara ini dilakukan di rumah besar keluarga Angkasa. Ayah dan Ibu ulUly juga hadir, mereka tiba kemarin sore dan menginap semalam di hotel berbintang yang dibiayai langsung oleh Abas karena Ayah Uly sungkan menginap di rumah mereka.Saat ia memberi tahu perihal pernikahannya, mereka sempat terkejut dan merasa kecewa karena Uly tak menepati janji untuk menjaga diri saat jauh dari mereka. Tapi entah kenapa setelah Dewa m
Setelah selesai berkemas, Dewa dan Uly segera meninggalkan rumah besar itu dengan diantar seorang sopir yang ditugaskan oleh Abas. Dewa yang awalnya menolak tak bisa berkutik saat Abas berdalih tak ingin membuat menantunya susah karena putranya yang keras kepala.Sebenarnya pria paruh baya itu sangat berat hati melepaskan anak semata wayangnya hidup pisah rumah dengan alasan ingin mandiri, meskipun Dewa sudah menikah tapi Abas tahu bahwa sikap putranya itu belum sepenuhnya dewasa, bahkan masih sangat kekanakan dan kadang sedikit temperamental.Belum lagi sikap keras kepalanya yang Abbas yakin akan membuat Uly kewalahan setengah mati.Sementara kedua anak manusia yang sedang dikhawatirkan oleh Abbas itu duduk dalam diam menatap jalanan ibukota yang tetap ramai di malam hari.Beberapa menit kemudian mobil berbelok memasuki sebuah area perumahanan yang Uly tahu letaknya tak terlalu jauh dari kampus tempat dia men
šššDewa terkekeh geli saat menyadari tubuh Uly yang menegang kaku. Kelihatan sekali bahwa ini yang pertama kali bagi wanita itu. Tentu saj hal itu menambah daftar kesenangan bagi seorang Dewa Angkasa.Sejak awal wanita itu datang ke rumahnya, Dewa sudah merasa terpesona dengan sikap sopan nan lembut yang Uly tampilkan.Namun, saat ia memperkenalkan diri sebagai kekasih Arya, rasa kagum itu seolah berganti menjadi gejolak amarah.Dewa selalu benci saat Uly datang ke rumah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga Arya. Apalagi mendengar harapan wanita itu yang ingin segera menjejaki hubungan lebih serius setelah kepulangan kakak tirinya itu."Belum berpengalaman, eh?" ejek Dewa saat tak merasakan balasan, ia makin merapatkan tubuh menggoda.Perempuan itu bergerak gelisah, ingin menarik diri tapi ditahan oleh bocah yang kini berstatus sebagai
Uly menatap bimbang Dewa yang sudah duduk di atas motor besarnya, bersiap mengantar wanita itu pergi bekerja."Ayo, Ly, buruan ntar telat," ucapnya."I--iya, tapi ... kamu yakin bawa motor gini, rok aku gimana?" tanyanya pelan.Dewa berdecak. "Enak naik motor, nggak kena macet. Lagian kamu ngapain pake rok pendek gitu? Ganti celana sana!" titahnya.Uly melihat ke bagian bawah tubuhnya. Rok selutut yang dipakainya sungguh sudah amat sopan, tak terlalu pendek ataupun ketat. Tapi, akan sangat tidak nyaman jika ia harus menaiki motor besar pria itu."Nggak pendek banget," sangkal wanita itu."Pendek, dan aku nggak suka. Ganti!" sahut Dewa tegas.Uly menghembuskan napas panjang sebelum kembali memasuki rumah untuk menuruti perkataan suami berondongnya itu.Tak lama, wanita itu kembali dengan celana bahan panjang berwarna cream."Sudah,"
Suatu pagi yang cerah di sebuah kediaman milik Angkasa, matahari menyapa lewat sinarnya yang menembus dari celah gorden. Di atas ranjang yang cukup berantakan itu tidur seorang pria yang masih bergelung dengan selimut bersama sang istri di dalam pelukannya. Kedua manusia itu begitu menikmati waktu istirahat mereka setelah menakhlukkan gelombang asmara yang menggulung keduanya hingga hampir subuh tadi. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu bersama celotehan seorang bocah satu tahun yang merengek di dekat kaki sang kakek. "Cup ... cup ... cup. Tunggu sebentar, opa bangunkan dulu orang tuamu yang seperti kerbau itu," ujarnya berusaha menenangkan sang cucu yang mencari papinya saat baru bangun tidur itu. "Pi ... Pii ... Piii ...." rengek Bara sembari menarik narik celana Abas. "Astaga! Dasar Anak kurang ajar," gerutu pria paruh baya itu sebelum mengumpulkan suara dan menambah
Menjelang fajar, Dewa dan sang Papi tiba di rumah setelah memberi beberapa keterangan di kantor polisi dan menyerahkan semuanya kepada petugas yang berwajib. Rasa lelah dan juga letih yang dirasakan oleh pria itu seolah hilang tak bersisa ketika melihat wajah damai anak dan istrinya yang masih tertidur pulas di dalam kamar. Dewa segera membersihkan diri dengan kilat lalu ikut bergabung di atas ranjang dan memeluk istrinya dengan erat. Hal itu tentu saja langsung membuat Uly terjaga dan membalikkan tubuh menatap wajah suaminya yang tersenyum sangat lebar. "Kamu kenapa?" tanya wanita itu heran karena wajah pria itu yang terlihat sangat cerah. "Kangen kamu," sahut Dewa sembari mengecup sudut bibir wanita itu yang masih terperangah karena merasa heran. "Aneh," gumam Uly Yang masih bisa didengar oleh Dewa.
Arya dan Gladys menyadari bahwa mereka saat ini sudah terkepung dan tidak bisa melarikan diri dengan mudah begitu saja."Papa," ujar Arya yang jauh di lubuk hatinya masih menyimpan rasa hormat dan segan pada orang tua yang telah menyekolahkannya hingga ke luar negeri itu."Sudah kuduga kamu tidak datang sendiri," desis Gladys yang menarik sebuah pistol dari saku Arya."Jangan macam-macam, Gladys! Ingat anakmu," ucap Abas memberi peringatan kepada wanita itu yang sudah mengacungkan senjata ke arah Abbas dan Dewa secara bergantian.Wanita itu menatap keduanya dengan penuh kebencian. "Tidak perlu repot-repot menasehatiku! Anak bukan sesuatu hal yang begitu penting untukku," desis wanita itu.Abbas terperangah tak percaya. Bagaimana bisa wanita yang dulu begitu lugu dan pendiam itu kini menjelma jadi wanita yang tak memiliki perasaan bahkan kepada darah dagingnya sendiri.&nbs
Mereka tiba di kediaman Abbas Angkasa saat matahari mulai terbenam di ufuk barat. Tepat saat sang Papi baru saja pulang dari kantor."Wow ... kalian datang bersama cucu opa!" serunya tampak begitu bahagia seperti dugaan Dewa sebelum mereka datang kemari."Eits. Papi dari luar rumah dan langsung ingin menggendong Bara? Yang benar saja!" tegur Dewa galak.Abas yang tadi sudah mengulurkan tangan ingin mengambil Bara dari gendongan Uly kini mengurungkan niatnya dengan wajah ditekuk masam.Dewa mengabaikan ekspresi berlebihan papinya itu dan segera menarik Uly untuk masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Abbas yang protes karena diabaikan padahal dirinya lah tuan rumah yang sebenarnya di sini.Setelah Abas selesai membersihkan diri, pria paruh baya itu langsung meminta Bara ke dalam gendongannya. Bahkan ketika waktu makan malam tiba, Papi Dewa itu tetap enggan untuk melepaskan Bara dan mengatakan dirinya akan makan malam sendiri nanti setelah Bara tert
Hari ini Dewa dan Uly bersiap untuk memenuhi panggilan dari pihak kepolisian yang akan memintai keterangan pada kedua orang tua bayi tersebut. Sebenarnya bisa saja hanya Dewa yang datang ke kantor polisi karena mengingat Uly yang masih dalam penyembuhan luka pasca melahirkan.Namun wanita itu ngotot ingin ikut dan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan berjanji tidak akan berlama-lama di sana membuat Dewa tak kuasa untuk menolak meski sebenarnya ia tak tahu pasti berapa lama waktu yang diperlukan oleh pihak kepolisian dalam memintai keterangan kali ini.Ibu Uly masih tinggal di rumah mereka, sementara Ayahnya sudah lebih dulu pulang ke kampung karena ada beberapa pekerjaan yang harus diurusnya. Maka dari itu Dewa berinisiatif untuk meninggalkan anaknya di rumah bersama mertua dan beberapa pelayan serta bodyguard yang menjaga dengan ketat karena biar bagaimanapun ia cukup merasa trauma dengan kejadian penculikan itu.
Uly menyambut kepulangan anak dan suaminya dengan penuh sukacita. Wanita itu bahkan menangis sesenggukan sembari memeluk bayi mungil yang menatapnya dengan mata berkedip lucu. Tak ada yang bisa Uly katakan selain ucapan penuh syukur.Dewa tersenyum dengan mata berkaca-kaca, sungguh ia lega luar biasa meski sebenarnya masalah ini belum benar-benar selesai karena dalang dari kekacauan ini belum benar-benar bisa dipastikan.Memang Abas sempat mendapat kabar bahwa Arya melarikan diri dari penjara beberapa hari yang lalu. Tapi jika mengingat tentang pengakuan Marina sebelum diseret polisi beberapa jam yang lalu, maka bisa dipastikan bahwa bukan hanya pria itu yang menjadi otak dari penculikan ini.Meski sempat meragu, tapi Dewa meminta pihak kepolisian untuk memeriksa Maharani di mana yang ia tahu wanita itu adalah mantan kencan dari Arya bahkan sempat mengandung anak pria itu yang dulu sempat menjadi sorotan di acara pesta p
Dewa sudah memeriksa semua CCTV, melapor pada pihak kepolisian serta mengerahkan semua orang kepercayaannya serta detektif yang juga papinya sewa. Tak banyak yang mereka dapatkan selain seorang suster yang membawa anak mereka keluar dari ruang bayi karena wanita yang mereka lihat dengan masker putih itu menghilang di zona yang memang tidak terpasang CCTV.Namun ada informasi yang Dewa terima dari seorang satpam yang mencurigai gerak-gerik seseorang saat keluar rumah sakit dengan membawa sebuah tas besar serta memakai topi dan masker dan juga jaket tebal di siang bolong yang terik.Orang itu pergi menggunakan taksi menuju arah barat, dan hal itu cukup membantu bagi Dewa untuk segera menghubungi perusahaan taksi tersebut dan mencari informasi sedetail-detailnya agar mengetahui kemana perginya orang yang mencurigakan itu."Kamu yakin dia orangnya?" tanya Uly masih dengan isak tangis yang benar-benar tak bisa berhenti
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, pukul sepuluh pagi, Uly dan Dewa sudah berada di sebuah rumah sakit yang telah dijanjikan oleh dokter kandungan sebagai tempat Uly menjalani operasi sesar. Papi Dewa dan orang tua Uly juga hadir di sana untuk menemani putra-putri mereka yang jelas terlihat sekali gugup sekaligus cemas.Apalagi Dewa yang bahkan sampai berkeringat karena mengingat banyak sekali kasus kematian seorang ibu setelah melahirkan anaknya. Sungguh, Dewa tak ingin kehilangan salah satu dari mereka."Kamu harus tenang. Malu sama anak kamu nanti kalau pas dia lahir, papinya malah pingsan," ucap Abas berusaha untuk melemparkan lelucon agar suasana hati Dewa sedikit mencair.Tapi ternyata hal itu sia-sia saja karena putra semata wayangnya itu tak menggubris ucapan Abas dan hanya melirik sekilas tanpa respon karena memang saat ini dia tidak ingin berdebat dengan papinya.Uly sendiri sudah memulai
Pagi yang cerah dan begitu membahagiakan apalagi bagi kedua insan yang sedang menikmati udara segar di taman yang terlihat semakin indah dan rapi karena beberapa bulan belakangan mereka sudah menambah beberapa pekerja untuk mengurus rumah mereka hingga kini terlihat lebih rapi dan nyaman untuk ditinggali keluarga kecil mereka. Kehamilan wanita itu sudah hampir tiba di hari perkiraan lahir yang mana dokter telah menjadwalkan operasi sesar untuk Uly dan bayinya. Hal itu disebabkan karena Dewa yang meminta agar wanita itu tidak merasa kesakitan saat melahirkan karena setahu Dewa sikap perempuan yang lahir secara sesar maka dirinya akan diinfus dan tidak merasakan sakit. Padahal Uly sudah memberitahu agar suaminya itu paham bahwa melahirkan secara normal maupun sesar sebenarnya sama-sama menyakitkan karena setelah operasi, kegunaan bius itu juga akan hilang dan semua ibu akan berjuang untuk memulih