Pagi ini, Clara yang sedang menggosok gigi di kamar mandi, mendengar suara bel yang ditekan tanpa jeda. Suaranya benar-benar berisik dan mengganggu pendengarannya. Clara pun terpaksa mempercepat aktivitasnya di kamar mandi.Clara lalu bergegas untuk membuka pintu dan ia mendapati Revan sedang berdiri dengan mengenakan setelan formalnya lengkap dengan jas. Jika saja itu bukan Revan, mungkin wajah tampannya sudah membuat Clara terpesona. Terlebih wangi parfum pria itu benar-benar memanjakan hidung siapa pun yang berada di dekatnya. Sayangnya, Clara sudah telanjur tidak menyukai Revan sehingga apa pun yang Revan kenakan, malah membuat Clara ingin menjotos wajah pria itu. Ya, bagi Clara, wajah Revan itu sangat jotos-able."Kenapa semalam nggak turun buat makan malam?" tanya Revan to the point seraya melangkah masuk. Ia lalu duduk di sofa."Bukan urusan kamu." Clara yakin Revan ke sini pasti memiliki tujuan atau ada yang hendak dibicarakan. Itu sebabnya ia ikut mengambil posisi duduk, masi
Masa depan seperti apa yang akan Revan bahas, Clara benar-benar tidak tahu dan ia juga sangat penasaran. Selain itu, Clara tidak bisa berkutik saat Revan mengatakan akan mengirimkan foto vulgar ke Mama Clara. Itu sebabnya, sekarang Clara terpaksa melakukan hal konyol, yakni bersiap-siap mengunjungi rumah orangtua Revan.Sebenarnya Clara adalah tipe orang yang mudah beradaptasi. Namun, tetap saja ia merasa gugup jika dihadapkan dalam situasi seperti sekarang. Dulu, ia memang pernah dibawa ke rumah orangtua Benny—yang sekarang dua-duanya sudah meninggal, tapi tetap saja kasusnya berbeda dengan orangtua Revan. Ya, dirinya sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan pria itu. Bukankah ini sangat kurang kerjaan?Semenjak bertemu dengan Revan, Clara mengalami kejadian demi kejadian yang benar-benar tidak terduga. Tentu saja Clara tidak akan menyerah begitu saja. Ia memang sekarang masuk dalam perangkap yang Revan buat, tapi ia akan mencari cara apa pun agar bisa terbebas sepenuhnya.Di ru
Sepanjang perjalanan, baik Clara maupun Revan memilih diam. Keduanya sama-sama malas membuka pembicaraan. Clara sibuk menyetir sambil sesekali memperhatikan Google Maps, sedangkan Revan sibuk dengan ponselnya di kursi belakang.Tiga puluh menit berlalu, mobil yang Clara kemudikan mulai memasuki sebuah gerbang yang tinggi menjulang. Detik itu juga Clara menemukan sedikit persamaan antara rumah Revan dengan orangtuanya, yakni jarak gerbang masuk dan pintu utama cukup jauh. Entah apa tujuan mereka melakukan ini, Clara tidak peduli."Udah sampai, Pak. Silakan turun," ucap Clara setelah beberapa saat Revan masih duduk saja, seperti enggan untuk turun.Clara kemudian menoleh ke kursi belakang, tempat Revan duduk, pria itu menunjuk pintu mobil menggunakan kepalanya. Hal itu membuat Clara tersadar, dan langsung turun untuk membukakan pintu agar Revan bisa keluar. Sungguh, Clara masih belum terbiasa dengan pekerjaan yang mengharuskannya melayani pria yang sangat tidak disukainya itu. Tadi saja
Dengan masih menyodorkan tangannya, Revan kembali berkata, "Mari bekerja sama untuk menghancurkan mereka. Menghancurkan Ariana dan Ben," tegasnya.Selama beberapa saat, Clara mencerna apa yang Revan katakan. Ia mencoba meyakinkan diri kalau tidak salah dengar. Seorang Revan, pria yang melakukan banyak hal buruk padanya, sekarang mengajaknya bersekutu? Mungkinkah ini jebakan lain? Sungguh, Clara tidak akan semudah itu memercayainya."Pegel, nih," ucap Revan lagi, berharap Clara menyambut uluran tangannya."Perlu aku antar ke dokter supaya tangan kamu diamputasi aja? Lebih baik nggak punya tangan supaya nggak pegal lagi, kan?""Kamu itu...." Revan tidak melanjutkan kalimatnya. Ia pun terpaksa menarik kembali tangannya. "Aku serius, Clara. Bukankah lebih baik bekerja sama saat misi kita searah?"Clara lalu mengubah posisi duduknya, tidak lagi menyerong ke arah Revan, melainkan lurus ke depan. "Setelah banyak hal gila yang kamu lakuin ke aku ... bukankah aku terlalu polos jika sampai kena
Clara yakin pasti sedang kerasukan. Tidak hanya itu, ia juga sepertinya sudah terkena gendam. Bisa-bisanya ia setuju bekerja sama dengan Revan.Awalnya Clara pikir hanya kerja sama biasa, tapi sekarang di sinilah wanita itu berada. Ya, di lantai tiga rumah Revan. Tempat yang pria itu gunakan sebagai ruang kerja pribadinya saat berada di rumah.Revan meletakkan sebuah map di samping minuman kaleng yang disiapkannya untuk Clara, setelah itu ia juga duduk di sofa yang berseberangan dengan wanita itu."Apa lagi ini ya Tuhaaan?" tanya Clara menunjuk map itu. Firasatnya lagi-lagi mengatakan ada yang tidak beres."Karena kontrak sebelumnya resmi batal ... ini kontrak barunya."Clara tentu saja terkejut. "Apa?!""Ini kesepakatan kerja sama kita.""Kenapa harus pakai ginian, sih? Bodoh, aku bodoh banget bisa-bisanya percaya. Ternyata ini beneran jebakan baru!""Ini bukan jebakan, Clara. Jelas ini berbeda sama kontrak sebelumnya. Kali ini kamu bisa baca dengan teliti dan hati-hati, kamu juga bi
Seminggu kemudian, Revan benar-benar tidak muncul satu kali pun di hadapan Clara. Apa yang pria itu katakan memang benar kalau mereka akan sulit bertemu meskipun berada di atap yang sama.Ya, sudah seminggu tinggal di rumah ini, Clara sama sekali belum menandatangani surat kontrak yang sebenarnya tidak ada yang perlu direvisi.Sekarang Clara tidak perlu menjadi asisten pria menyebalkan itu lagi. Ah, ia hanya akan menjadi asisten di saat-saat mendesak saja. Contohnya seperti seminggu lalu saat Clara terpaksa ikut ke rumah orangtua Revan.Setelah meneliti ulang dan membaca berkali-kali surat kontrak baru itu nyaris setiap hari, Clara merasa tidak ada hal yang memberatkannya seperti di kontrak sebelumnya. Awalnya, Clara bermaksud berpikir sejenak sebelum memutuskan menolak atau menandatanganinya, sampai kemudian tanpa Clara sadari waktu sudah berlalu selama seminggu. Selama itu pula ia merasa memiliki teman baru. Lidya.Malam ini Clara duduk di ruang makan yang menyatu dengan dapur di la
"Oke, apa yang kamu rencanakan?" tanya Clara. "Maksudnya ... apa yang harus kita lakukan?""Pertama, kamu ke kamar dan tanda tangan. Setelah itu, bawa surat kontraknya ke ruang kerjaku. Aku tunggu di sana."Sebenarnya Clara kesal, padahal Revan tinggal katakan saja apa rencananya. Kenapa surat kontrak itu tampak lebih penting daripada pembicaraan mereka? Namun, ia tidak memiliki pilihan selain mengikuti Revan masuk ke lift. Berdebat hanya akan membuang-buang waktu, sedangkan sekarang sudah malam.Tak lama kemudian, pintu lift pun tertutup. Berdua di ruang sempit bersama Revan seperti ini membuat Clara tidak tahu harus berbuat apa atau memulai pembicaraan dari mana sehingga ia lebih memilih diam."Jangan cemberut. Surat itu untuk pegangan masing-masing, supaya kita sama-sama merasa aman dan nggak khawatir saling mengkhianati," kata Revan memecah keheningan di antara mereka."Ya, ya, ya," jawab Clara.Sampai kemudian, pintu lift terbuka tepat di lantai tiga. "Aku tunggu," pamit Revan se
Clara membuka matanya dan mendapati dirinya berada di sofa. Ah, semalam pasti ia ketiduran dan terbukti TV masih menyala. Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul, tetapi saat mendengarkan seorang presenter acara gosip di TV mengatakan hal yang membuatnya terkejut, Clara langsung terduduk.Seluruh tubuh Clara merasa sakit dan pegal, mungkin akibat posisi tidurnya di sofa. Sambil memijat-mijat bahunya, Clara memperhatikan tayangan yang menampilkan Ariana dan Benny di bandara. Ya, mereka sudah pulang. Rupanya satu Minggu kembali berlalu dengan cepat.Tidak bekerja memang membuat Clara lupa tentang hari dan tanggal. Ia nyaris tidak percaya sudah berada di rumah ini selama dua mingguan.Awalnya Clara mengira menunggu kepulangan Ariana dan Benny akan terasa lama, tapi ternyata waktu benar-benar tidak terasa. Terlebih setiap hari Lidya mengajaknya melakukan banyak hal, dari menikmati segala fasilitas di rumah ini, sampai ke salon atau mal untuk sekadar menguras kartu kredit Revan. Clara bahkan t