“Enak-enakan tidur dalam keadaan rumah berantakan seperti ini! Mumpung anak tidur, waktunya kamu beres-beres. Rumah kayak kapal pecah seperti ini!” Di depan pintu, Utami menyambut Lilik dengan ceramahnya. Lilik hanya bisa menunduk dan mengucapkan kata maaf karena terlalu lama. “Bereskan sekarang j
Lilik memasak dengan kesal luar biasa. Ia memotong dengan sembarang. Setelah sayur yang ia masak berada dalam mangkuk, siap untuk disajikan, perempuan itu meludah ke arah sayur. Lalu diaduknya setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Lilik menjentikkan jarinya, tersenyum licik menatap s
“Han. Nggak bisa seperti ini, dong. Kita bisa pura-pura sebagai suami istri di depan ibumu, tapi tidak harus satu kamar. Kamu bisa cari alasan yang masuk akal di depan ibumu, Han. Aku mohon.” Lilik menatap Handoko dengan wajah memelas. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Lilik untuk satu kamar de
Menjelang Magrib, Lilik masuk ke kamarnya. Dia tampak kaget dan masih tak percaya kalau Handoko benar-benar menepati ucapannya, masuk ke kamar yang selama ini ditempati oleh Lilik dan Zidane. “Kamu benar-benar mau tidur di sini, Han?” Lilik bertanya dengan hati-hati. Takut menyinggung perasaan laki
Minggu Sore. "Assalamualaikum." Suara bariton yang akhir-akhir ini mengusik Amira menelusup ke telinga perempuan yang sedang menyirami tanaman di sekitar halaman rumahnya. "Reza?” Amira membatin sebelum membalikkan badan ke arah sang empu suara. Amira tersenyum menyambut teman remajanya itu sekal
"Jadi apa yang Mbak Amira suka kalau bukan coklat?” tanya Reza seraya senyum. Ada perasaan lega saat Amira mengatakan kalau dirinya tidak menyukai buket tersebut. "Apa saja yang penting dari orang menurut saya baik dan tulus dari hati pastinya.” Amira tersenyum memastikan jawabannya itu adalah sin
Hari demi hari kesibukan demi kesibukan Reza lalui seperti sebelumnya. Bisnisman di bidang apparel menenggelamkan diri dengan kesibukan berbisnis. Pengusaha muda itu menghabiskan waktunya untuk kerja dan kerja. Keinginannya untuk mengungkapkan perasaan pada Amira sampai detik ini belum terlaksana. K
“Aku sudah berhasil mengambil beberapa surat tanah atas nama Widuri, Ibunya Bos Reza. Itu diserahkan oleh Utami secara sadar. Dia begitu bodoh. Bahkan rumah utama atas nama Utami juga beberapa hektar tanah lainnya ikut diberikan kepadaku sebagai investasi. Kan awalnya sasaran kita hanya satu rumah d
“Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk
Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada
“Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk
“Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya
“Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang
“Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i
[Bi, tolong sampaikan ke Ibu, aku tidak bisa pulang sore ini. Mungkin, nanti malam baru pulang. Aira meninggal dunia, Bi. Aku bantu-bantu sekalian di sini.] Amira mengirimkan pesan pada Bi Marmi, bibinya. Amira baru sempat memberi tahu keluarganya. Derap langkah kaki yang memasuki ruang tamu membu
“Mas Tama, Mbak.” Amira menyodorkan ke handphone Santi yang baru kembali dari kamar ibunya. “Mungkin mau bicara sama kamu, Mir.” Santi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Amira. “Nggak, dia sengaja menelpon Mbak Santi, kok.” Tama sengaja menghubungi Santi melalui Amira, sebab handphon
Di depan pintu Santi menyambut Amira dengan penuh kesedihan. Sesuai permintaan Tama, Amira akhirnya pergi ke rumah Mumun. Memastikan bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tama sengaja mengutus Amira sebab nomor handphone Santi tidak bisa dihubungi. “Apa kabar, Mbak?” Amira mengulurkan tangan ke ar