Dua perempuan yang tidak terlalu jauh usianya itu masih mematung, menatap punggung dua sejoli yang terlihat sangat mesra meskipun usianya terpaut cukup jauh. “Pantasnya mereka itu menjadi bapak dan anak bukan, sih? Miris.” Amira terdiam, tidak tahu lagi harus berkomentar apa. Sebab, apa yang dik
“Mbak Ini obatnya.” Perempuan cantik Berseragam apotek itu menegur Amira yang sedang menatap Mumun dengan geram. Spontan Amira mengalihkan fokusnya ke arah apoteker tersebut, mengabaikan Mumun sejenak. “Oh iya. Ini uangnya, Mbak.” Amira lekas menyodorkan selembar uang berwarna merah. Amira masih
“Ngomong apa kamu, Mir?” Dengan setengah berlari Mumun mengejar langkah Amira yang sudah jauh ada di depannya. Dadanya terlihat naik turun, emosi menguasai seluruh darah yang mengalir dalam tubuhnya. Perempuan tua itu merasa sakit hati, tak terima anaknya yang cantik jelita dijelek-jelekkan oleh A
“Dasar gila!” Dengan langkah lebar, dada yang naik turun, napas yang tak beraturan Mumun meninggalkan parkiran setelah menghentakkan kakinya. Perempuan tua pergi meninggalkan area apotek begitu saja, seolah lupa dengan tuhan awalnya datang ke sana. “Amira! Aku bersumpah kamu tidak akan pernah menem
“Apa itu, Ra?” Sekali lagi Tama menyentak adiknya yang kini terlihat menundukkan kepalanya. Aira menyembunyikan tangannya di bawah meja dengan rapat saat tahu kakaknya mau merampas. Tama yang hendak mengambil benda tersebut dari tangan Aira pun urung karena suara ibunya yang menggelegar. “Kamu apa
“Amira?” Tama menatap ibunya dengan kening berkerut-kerut. “Amira berarti tahu semuanya, Bu?” Mumun melemparkan pandangannya ke arah lain. Ada setitik rasa malu mengingat perdebatannya dengan Amira waktu itu. Ternyata apa yang dikatakan Amira benar adanya. “Kamu hamil dengan laki-laki beristri,
Amira yang baru pulang kerja mencium punggung tangan ibunya dengan hormat setelah mengucapkan salam. Wanita yang telah melahirkan Amira itu menunggu putrinya di ruang tamu dengan senyum yang mengembang. “Bu, Ibu sudah makan?” “Belum. Ibu sengaja ingin makan bareng sama kamu, Nduk. Biasanya bareng
“Nggak, ah. Nggak jadi Abang kasih tahu.” “Ah, Abang mah nggak seru!” protes Amira dengan wajah jutek. Fikri tergelak melihat ekspresi adiknya. “Dia siapa, Bang?” Amira tidak sabaran. Ia berjalan meninggalkan meja makan setelah izin pada ibunya. Bu Sumi mengangguk pasrah saat melihat Amira yang