“Dasar gila!” Dengan langkah lebar, dada yang naik turun, napas yang tak beraturan Mumun meninggalkan parkiran setelah menghentakkan kakinya. Perempuan tua pergi meninggalkan area apotek begitu saja, seolah lupa dengan tuhan awalnya datang ke sana. “Amira! Aku bersumpah kamu tidak akan pernah menem
“Apa itu, Ra?” Sekali lagi Tama menyentak adiknya yang kini terlihat menundukkan kepalanya. Aira menyembunyikan tangannya di bawah meja dengan rapat saat tahu kakaknya mau merampas. Tama yang hendak mengambil benda tersebut dari tangan Aira pun urung karena suara ibunya yang menggelegar. “Kamu apa
“Amira?” Tama menatap ibunya dengan kening berkerut-kerut. “Amira berarti tahu semuanya, Bu?” Mumun melemparkan pandangannya ke arah lain. Ada setitik rasa malu mengingat perdebatannya dengan Amira waktu itu. Ternyata apa yang dikatakan Amira benar adanya. “Kamu hamil dengan laki-laki beristri,
Amira yang baru pulang kerja mencium punggung tangan ibunya dengan hormat setelah mengucapkan salam. Wanita yang telah melahirkan Amira itu menunggu putrinya di ruang tamu dengan senyum yang mengembang. “Bu, Ibu sudah makan?” “Belum. Ibu sengaja ingin makan bareng sama kamu, Nduk. Biasanya bareng
“Nggak, ah. Nggak jadi Abang kasih tahu.” “Ah, Abang mah nggak seru!” protes Amira dengan wajah jutek. Fikri tergelak melihat ekspresi adiknya. “Dia siapa, Bang?” Amira tidak sabaran. Ia berjalan meninggalkan meja makan setelah izin pada ibunya. Bu Sumi mengangguk pasrah saat melihat Amira yang
“Boleh aku masuk, Mir?” Tama memohon dengan suara lembut. Tanpa suara, Amira mengangguk. Perempuan yang malam ini mengenakan baju setelan bercorak bunga sepatu itu minggir dari posisinya, memberikan jalan pada Tama untuk masuk ke dalam rumah. Melihat sorot mata Tama yang lemah dan penuh beban, Ami
“Apa Aira hamil, Nduk?” tanya Bu Sumi begitu melihat anak perempuannya masuk ke kamarnya. Bu Sumi menarik selimut hingga menutupi separuh tubuhnya. Sudah menjadi kewajiban Amira, sebelum tidur ia akan mengunjungi kamar ibu dan bibinya, memastikan keadaan mereka berdua. “Ibu dengar? Kirain Ibu su
Di kamarnya, Santi tersenyum menyeringai membaca pesan Aira. “Aku yakin apa yang terjadi dalam hidup kalian, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderita ibuku waktu itu, Ra! Maaf, kamu aku jadikan alat untuk balas dendam.” Santi berbicara sendiri. [Kenapa bertanya padaku, Ra? Hadapi!