“Boleh aku masuk, Mir?” Tama memohon dengan suara lembut. Tanpa suara, Amira mengangguk. Perempuan yang malam ini mengenakan baju setelan bercorak bunga sepatu itu minggir dari posisinya, memberikan jalan pada Tama untuk masuk ke dalam rumah. Melihat sorot mata Tama yang lemah dan penuh beban, Ami
“Apa Aira hamil, Nduk?” tanya Bu Sumi begitu melihat anak perempuannya masuk ke kamarnya. Bu Sumi menarik selimut hingga menutupi separuh tubuhnya. Sudah menjadi kewajiban Amira, sebelum tidur ia akan mengunjungi kamar ibu dan bibinya, memastikan keadaan mereka berdua. “Ibu dengar? Kirain Ibu su
Di kamarnya, Santi tersenyum menyeringai membaca pesan Aira. “Aku yakin apa yang terjadi dalam hidup kalian, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderita ibuku waktu itu, Ra! Maaf, kamu aku jadikan alat untuk balas dendam.” Santi berbicara sendiri. [Kenapa bertanya padaku, Ra? Hadapi!
“Bu, usahakan nanti makan malam bersama. Tanpa terkecuali. Aku tidak mau ada yang tidak ikut. Aku ingin ngobrol dengan kalian semuanya.” Tama berpesan pada ibunya sebelum berangkat kerja. Mumun mengangguk, menatap Tama yang sedang memakai sepatu, di depan teras. Sepatu yang sudah dipakai disimpan
“Diam kamu, Mbak!” Aira yang mulai jenuh dengan sikap Santi kini berdiri, menggebrak meja. Tatapannya yang tajam diarahkan ke netra Santi yang terlihat tersenyum miring. Tama dan Mumun hanya terdiam, menatap kedua orang itu secara bergantian. Atmosfer di meja makan malam ini menjadi sangat panas
“Kamu ini ngomong apa, sih, San? Jelas kamu anaknya ibulah. Kan dari kecil kamu diurus oleh Ibu?” Mumun berusaha mencairkan suasana yang sempat menegang. Mumun berusaha bersikap biasa saja setelah tadi sempat tegang mendengar ucapan Santi. Menyadari menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di
"Apa benar ada yang mau datang menemui kamu, Nduk?” Bibi mendaratkan tubuhnya di samping Amira yang sedang berselancar di layar handphone. Satu cangkir teh manis bibi letakkan di atas meja. Sejak pagi ia belum minum teh manis. Amira menoleh ke arah bibinya. Meletakkan handphone dalam genggamannya
"Kalau boleh tahu Nak Arfan ini kenal Fikri dimana?” Bu Sumi menatap laki-laki muda yang sedang menunduk, di hadapannya. Arfan mendongak, menatap Bu Sumi. "Saya kenal dengan Bang Fikri di tempat kerja, Bu. Kebetulan kami sama-sama TKI di Arab Saudi sana. Kami sering bertemu di saat libur. Sering
“Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk
Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada
“Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk
“Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya
“Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang
“Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i
[Bi, tolong sampaikan ke Ibu, aku tidak bisa pulang sore ini. Mungkin, nanti malam baru pulang. Aira meninggal dunia, Bi. Aku bantu-bantu sekalian di sini.] Amira mengirimkan pesan pada Bi Marmi, bibinya. Amira baru sempat memberi tahu keluarganya. Derap langkah kaki yang memasuki ruang tamu membu
“Mas Tama, Mbak.” Amira menyodorkan ke handphone Santi yang baru kembali dari kamar ibunya. “Mungkin mau bicara sama kamu, Mir.” Santi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Amira. “Nggak, dia sengaja menelpon Mbak Santi, kok.” Tama sengaja menghubungi Santi melalui Amira, sebab handphon
Di depan pintu Santi menyambut Amira dengan penuh kesedihan. Sesuai permintaan Tama, Amira akhirnya pergi ke rumah Mumun. Memastikan bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tama sengaja mengutus Amira sebab nomor handphone Santi tidak bisa dihubungi. “Apa kabar, Mbak?” Amira mengulurkan tangan ke ar