"Kalau boleh tahu Nak Arfan ini kenal Fikri dimana?” Bu Sumi menatap laki-laki muda yang sedang menunduk, di hadapannya. Arfan mendongak, menatap Bu Sumi. "Saya kenal dengan Bang Fikri di tempat kerja, Bu. Kebetulan kami sama-sama TKI di Arab Saudi sana. Kami sering bertemu di saat libur. Sering
"Selidiki siapa pria itu,” ujar Reza pada pria berkacamata mata hitam di sebelahnya. "Aku tidak mau Amira didekati oleh orang yang akan merugikannya." Reza mengetuk-ngetuk jarinya dan menyuruh sopirnya berlalu. Reza masih ingat saat itu di sekolah bertahun-tahun silam. Pertama kali hutang budinya
Amira kembali datang menyita perhatian laki-laki sukses tersebut. Reza kembali bernostalgia dengan masa lalu. Dunianya saat ini hanya tentang Amira. Di tempat duduknya, Reza memejamkan mata sejenak, seketika ingatan tentang masa lalu kembali berseliweran dalam kepalanya. Semua itu berkaitan dengan A
“Mau ke mana kamu, Mbak?” Tama yang baru pulang dari masjid usai salat Subuh menegur kakaknya yang baru ke luar kamar. Menatap Santi dari atas hingga bawah. Santi tampak rapi dan siap untuk pergi. Koper di samping perempuan itu pun tak luput dari pengamatan Tama. Tama memangkas jarak, berjalan mend
Pikiran Tama terlalu berisik, riuh dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan. Ucapan Amira kembali berdengung di telinganya. “Bisa jadi ini salah satu doa yang dipinta oleh Lilik pada waktu itu. Bisa jadi, Lilik yang sedang sakit hati memunajatkan doa yang jelek untuk kalian, lantara
Tanpa salam, Tama masuk rumah dengan langkah terburu-buru. Sejak pulang dari rumahnya Alfina, Tama tidak bisa berpikir jernih. Emosi menguasai jiwanya. Dari ruang tengah, Mumun mengamati gerak-gerik Tama. Perempuan itu mengerutkan kening ketika melihat gelagat tak biasa dari Tama. Mumun pun mengik
“Bagaimana hasilnya, Tam?” Mumun menatap putranya dengan kepala berdenyut nyeri. Bisa dipastikan tekanan darahnya naik. Di wajah tua itu terlihat jelas beban masalah yang sedang dihadapi saat ini. Tangan Mumun sibuk membereskan piring kotor bekas mereka makan. Tumpukan piring kotor itu is letakkan
Lilik yang sedang mengawasi Zidane main di ruang tengah merebahkan diri di karpet. Seperti biasa sambil bermalas-malasan. Dia tersentak kaget, menoleh ke arah pintu saat denting bel terdengar jelas di telinganya. “Siapa yang bertamu? Tak mungkin Handoko.” Lilik mengerutkan kening, bertanya di dal