“Mau ke mana kamu, Mbak?” Tama yang baru pulang dari masjid usai salat Subuh menegur kakaknya yang baru ke luar kamar. Menatap Santi dari atas hingga bawah. Santi tampak rapi dan siap untuk pergi. Koper di samping perempuan itu pun tak luput dari pengamatan Tama. Tama memangkas jarak, berjalan mend
Pikiran Tama terlalu berisik, riuh dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan. Ucapan Amira kembali berdengung di telinganya. “Bisa jadi ini salah satu doa yang dipinta oleh Lilik pada waktu itu. Bisa jadi, Lilik yang sedang sakit hati memunajatkan doa yang jelek untuk kalian, lantara
Tanpa salam, Tama masuk rumah dengan langkah terburu-buru. Sejak pulang dari rumahnya Alfina, Tama tidak bisa berpikir jernih. Emosi menguasai jiwanya. Dari ruang tengah, Mumun mengamati gerak-gerik Tama. Perempuan itu mengerutkan kening ketika melihat gelagat tak biasa dari Tama. Mumun pun mengik
“Bagaimana hasilnya, Tam?” Mumun menatap putranya dengan kepala berdenyut nyeri. Bisa dipastikan tekanan darahnya naik. Di wajah tua itu terlihat jelas beban masalah yang sedang dihadapi saat ini. Tangan Mumun sibuk membereskan piring kotor bekas mereka makan. Tumpukan piring kotor itu is letakkan
Lilik yang sedang mengawasi Zidane main di ruang tengah merebahkan diri di karpet. Seperti biasa sambil bermalas-malasan. Dia tersentak kaget, menoleh ke arah pintu saat denting bel terdengar jelas di telinganya. “Siapa yang bertamu? Tak mungkin Handoko.” Lilik mengerutkan kening, bertanya di dal
“Enak-enakan tidur dalam keadaan rumah berantakan seperti ini! Mumpung anak tidur, waktunya kamu beres-beres. Rumah kayak kapal pecah seperti ini!” Di depan pintu, Utami menyambut Lilik dengan ceramahnya. Lilik hanya bisa menunduk dan mengucapkan kata maaf karena terlalu lama. “Bereskan sekarang j
Lilik memasak dengan kesal luar biasa. Ia memotong dengan sembarang. Setelah sayur yang ia masak berada dalam mangkuk, siap untuk disajikan, perempuan itu meludah ke arah sayur. Lalu diaduknya setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Lilik menjentikkan jarinya, tersenyum licik menatap s
“Han. Nggak bisa seperti ini, dong. Kita bisa pura-pura sebagai suami istri di depan ibumu, tapi tidak harus satu kamar. Kamu bisa cari alasan yang masuk akal di depan ibumu, Han. Aku mohon.” Lilik menatap Handoko dengan wajah memelas. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Lilik untuk satu kamar de