“Diam kamu, Mbak!” Aira yang mulai jenuh dengan sikap Santi kini berdiri, menggebrak meja. Tatapannya yang tajam diarahkan ke netra Santi yang terlihat tersenyum miring. Tama dan Mumun hanya terdiam, menatap kedua orang itu secara bergantian. Atmosfer di meja makan malam ini menjadi sangat panas
“Kamu ini ngomong apa, sih, San? Jelas kamu anaknya ibulah. Kan dari kecil kamu diurus oleh Ibu?” Mumun berusaha mencairkan suasana yang sempat menegang. Mumun berusaha bersikap biasa saja setelah tadi sempat tegang mendengar ucapan Santi. Menyadari menjadi pusat perhatian semua orang yang ada di
"Apa benar ada yang mau datang menemui kamu, Nduk?” Bibi mendaratkan tubuhnya di samping Amira yang sedang berselancar di layar handphone. Satu cangkir teh manis bibi letakkan di atas meja. Sejak pagi ia belum minum teh manis. Amira menoleh ke arah bibinya. Meletakkan handphone dalam genggamannya
"Kalau boleh tahu Nak Arfan ini kenal Fikri dimana?” Bu Sumi menatap laki-laki muda yang sedang menunduk, di hadapannya. Arfan mendongak, menatap Bu Sumi. "Saya kenal dengan Bang Fikri di tempat kerja, Bu. Kebetulan kami sama-sama TKI di Arab Saudi sana. Kami sering bertemu di saat libur. Sering
"Selidiki siapa pria itu,” ujar Reza pada pria berkacamata mata hitam di sebelahnya. "Aku tidak mau Amira didekati oleh orang yang akan merugikannya." Reza mengetuk-ngetuk jarinya dan menyuruh sopirnya berlalu. Reza masih ingat saat itu di sekolah bertahun-tahun silam. Pertama kali hutang budinya
Amira kembali datang menyita perhatian laki-laki sukses tersebut. Reza kembali bernostalgia dengan masa lalu. Dunianya saat ini hanya tentang Amira. Di tempat duduknya, Reza memejamkan mata sejenak, seketika ingatan tentang masa lalu kembali berseliweran dalam kepalanya. Semua itu berkaitan dengan A
“Mau ke mana kamu, Mbak?” Tama yang baru pulang dari masjid usai salat Subuh menegur kakaknya yang baru ke luar kamar. Menatap Santi dari atas hingga bawah. Santi tampak rapi dan siap untuk pergi. Koper di samping perempuan itu pun tak luput dari pengamatan Tama. Tama memangkas jarak, berjalan mend
Pikiran Tama terlalu berisik, riuh dengan berbagai kemungkinan yang akan terjadi di depan. Ucapan Amira kembali berdengung di telinganya. “Bisa jadi ini salah satu doa yang dipinta oleh Lilik pada waktu itu. Bisa jadi, Lilik yang sedang sakit hati memunajatkan doa yang jelek untuk kalian, lantara
“Ini tempatnya, Mbak?” Tama menatap perempuan yang merupakan tetangga kontrakan Lilik tersebut dengan kening mengkerut. “Iya, ini, Mas. Beberapa hari yang lalu juga ada yang mencari Mbak Lilik. Perempuan. Bahkan dia menitipkan sesuatu untuk Zidane.” Tama terdiam, tapi otaknya berpikir menerka-nerk
Amira terdiam, menunggu jawaban Tama. Sebenarnya dia sendiri ragu, tidak yakin dengan idenya ini. Tapi, Amira merasa perlu melakukan itu demi kebaikan Zidane. [Jangan memintaku yang tidak-tidak, Mir! Mustahil aku kembali dengan Lilik. Itu tidak mungkin terjadi.] Tama mengirimkan pesan balasan pada
“Lilik?” Samar, Amira memanggil wanita yang sedang menuntun bocah cilik sambil menenteng tas yang terlihat berisi dagangan. “Pak tolong berhenti sebentar.” Amira meminta kepada sopir taksi. “Tapi argonya tetap jalan, ya, Mbak.” Sopir mengingatkan. “Nggak masalah, Pak. Nanti saya lebihkan untuk
“Kapan acara lamarannya, De?” tanya Fikri di negeri seberang sana. Amira baru saja menceritakan niat baik Reza yang ingin melamarnya kepada Fikri. “Rencananya empat hari lagi, Bang. Abang sekarang sudah merestui ‘kan?” tanya Amira yang belum begitu yakin sepenuhnya terhadap restu Fikri. “Insya
“Terima kasih banyak, ya, Mas. Maaf nggak bisa menyuruh mampir. Ini susah sangat malam.” Amira menghampiri pria yang berada di balik kemudi bulat setelah memarkirkan motornya di depan rumah. “Memang seharusnya aku tidak mampir, De. Kalau mampir nanti bahaya,” kelakar laki-laki di balik kemudi yang
“Mau sampai kapan kamu diam di situ, Lilik? Mau sampai kapan kamu membiarkan Zidane mengacak-acak permainannya? Cepat bereskan rumah ini! Aku muak melihat kamu yang seperti ini terus! Sudah berapa kali aku bilang? Jangan biarkan anakmu mengacak-acak ruang tamu atau ruang tengah dengan permainannya i
[Bi, tolong sampaikan ke Ibu, aku tidak bisa pulang sore ini. Mungkin, nanti malam baru pulang. Aira meninggal dunia, Bi. Aku bantu-bantu sekalian di sini.] Amira mengirimkan pesan pada Bi Marmi, bibinya. Amira baru sempat memberi tahu keluarganya. Derap langkah kaki yang memasuki ruang tamu membu
“Mas Tama, Mbak.” Amira menyodorkan ke handphone Santi yang baru kembali dari kamar ibunya. “Mungkin mau bicara sama kamu, Mir.” Santi kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di samping Amira. “Nggak, dia sengaja menelpon Mbak Santi, kok.” Tama sengaja menghubungi Santi melalui Amira, sebab handphon
Di depan pintu Santi menyambut Amira dengan penuh kesedihan. Sesuai permintaan Tama, Amira akhirnya pergi ke rumah Mumun. Memastikan bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Tama sengaja mengutus Amira sebab nomor handphone Santi tidak bisa dihubungi. “Apa kabar, Mbak?” Amira mengulurkan tangan ke ar