“Amira?” Tama menatap ibunya dengan kening berkerut-kerut. “Amira berarti tahu semuanya, Bu?” Mumun melemparkan pandangannya ke arah lain. Ada setitik rasa malu mengingat perdebatannya dengan Amira waktu itu. Ternyata apa yang dikatakan Amira benar adanya. “Kamu hamil dengan laki-laki beristri,
Amira yang baru pulang kerja mencium punggung tangan ibunya dengan hormat setelah mengucapkan salam. Wanita yang telah melahirkan Amira itu menunggu putrinya di ruang tamu dengan senyum yang mengembang. “Bu, Ibu sudah makan?” “Belum. Ibu sengaja ingin makan bareng sama kamu, Nduk. Biasanya bareng
“Nggak, ah. Nggak jadi Abang kasih tahu.” “Ah, Abang mah nggak seru!” protes Amira dengan wajah jutek. Fikri tergelak melihat ekspresi adiknya. “Dia siapa, Bang?” Amira tidak sabaran. Ia berjalan meninggalkan meja makan setelah izin pada ibunya. Bu Sumi mengangguk pasrah saat melihat Amira yang
“Boleh aku masuk, Mir?” Tama memohon dengan suara lembut. Tanpa suara, Amira mengangguk. Perempuan yang malam ini mengenakan baju setelan bercorak bunga sepatu itu minggir dari posisinya, memberikan jalan pada Tama untuk masuk ke dalam rumah. Melihat sorot mata Tama yang lemah dan penuh beban, Ami
“Apa Aira hamil, Nduk?” tanya Bu Sumi begitu melihat anak perempuannya masuk ke kamarnya. Bu Sumi menarik selimut hingga menutupi separuh tubuhnya. Sudah menjadi kewajiban Amira, sebelum tidur ia akan mengunjungi kamar ibu dan bibinya, memastikan keadaan mereka berdua. “Ibu dengar? Kirain Ibu su
Di kamarnya, Santi tersenyum menyeringai membaca pesan Aira. “Aku yakin apa yang terjadi dalam hidup kalian, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderita ibuku waktu itu, Ra! Maaf, kamu aku jadikan alat untuk balas dendam.” Santi berbicara sendiri. [Kenapa bertanya padaku, Ra? Hadapi!
“Bu, usahakan nanti makan malam bersama. Tanpa terkecuali. Aku tidak mau ada yang tidak ikut. Aku ingin ngobrol dengan kalian semuanya.” Tama berpesan pada ibunya sebelum berangkat kerja. Mumun mengangguk, menatap Tama yang sedang memakai sepatu, di depan teras. Sepatu yang sudah dipakai disimpan
“Diam kamu, Mbak!” Aira yang mulai jenuh dengan sikap Santi kini berdiri, menggebrak meja. Tatapannya yang tajam diarahkan ke netra Santi yang terlihat tersenyum miring. Tama dan Mumun hanya terdiam, menatap kedua orang itu secara bergantian. Atmosfer di meja makan malam ini menjadi sangat panas