POV 3 “Kok, tumben jam segini baru pulang, Mas? Lembur atau mampir ke mana-mana?” Baru masuk rumah, Tama sudah ditodong pertanyaan oleh Lilik. Tama terdiam. Enggan menjawab pertanyaan perempuan yang kini telah menjadi istrinya tersebut. Ia terus melangkahkan kaki menuju dapur, hendak mengambil air
[Hai perempuan mandul! Apa yang kamu katakan pada suamiku? Kamu iri, ya, melihat kebahagiaanku sampai-sampai harus membuat fitnah. Nggak fitnah nggak hidup kamu? Anak dan ibu sama saja! Sama-sama hobi menghancurkan kebahagiaan orang lain! Dasar anak pelakor!] Pesan masuk ke handphone Amira dari no
Malam semakin larut, tapi Tama tidak mempedulikan itu. Baginya, masalah tadi siang hari segera ia selesaikan malam ini juga. Dia sudah jenuh dengan semua sandiwara Lilik. Belum lagi ibunya yang suka bercerita bagaimana keseharian perempuan yang telah melahirkan anaknya tersebut. Ternyata, Lilik bany
“Katakan siapa yang membiayai hidupku selama itu, Lik?” Tama yang sudah kehabisan kesabaran kembali membentak Lilik. Detik selanjutnya bisa ditebak apa yang terjadi, Zidane menangis. Alih-alih menjawab, Lilik justru terdiam. Enggan menjawab pertanyaan suaminya. Ia sibuk mengayun anaknya yang kemb
“Kamu sudah sarapan, Nduk?” tanya Bu Sumi ketika putrinya pamit mau berangkat kerja. “Belum, Bu.” Amira mengambil punggung tangan ibunya, menciumnya dengan takzim. Bu Sumi mengelus pucuk kepala sang anak. Amira mendongak, menatap wajah teduh ibunya. Tak percaya kalau ibunya bisa menjadi pelakor
Amira ke luar dari ruangan Bu Sukma dengan gontai. Sebab, misinya mencari informasi tentang Lilik tidak membuahkan hasil. Bu Sukma tidak tahu banyak tentang masa lalu Lilik. Ia hanya tahu anak itu pernah tinggal di panti asuhan tempatnya memberikan sumbangan. Adiknya Fikri itu kembali ke ruangannya
“Bisa-bisa kamu tidak pulang semalaman. Terlebih kalau aku dapat tugas keluar kota,” sanggah Tama. Wajah Lilik memerah seketika, antara sakit hati dan marah menjadi satu bergulung-gulung di dalam hatinya. “Kamu tahu apa alasannya dulu aku memilih berpisah dengan Ibu dan tinggal di rumah peninggal
[Mas, besok aku mau ketemuan. Di tempat biasa. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan kepadamu. Hanya kamu bisa mengerti aku] Lilik mengirimkan pesan pada orang yang beberapa hari lalu ia temui. “Kenapa kamu tidak membalas pesanku, Mas? Apa kamu takut sama istrimu?” Perempuan yang sedang mengen