Di cafe NDolita, ditemani oleh Mbak Mayang aku bertemu dengan orang yang kita sewa untuk menyelidiki kasus ini. “Assalamualaikum, Mir. Apa kabar?” Laki-laki itu menjatuhkan bobot tubuhnya setelah melihat aku menangkupkan kedua tangan ke arahnya. “Waalaikummussallam, Bapak Armando. Alhamdulillah k
“Kamu nggak salah ngasih informasi ini, Armando?” tanyaku setelah mendengar semua informasi yang ia sampaikan. “Terus menurutmu aku salah mengintai orang?” Armando balik menatapku. Cowok yang satu ini memang suka menjawab sesuka hatinya, persis cewek yang PMS. Aku menghela napas berat. Kecurigaa
“Bagaimana, Mbak? Sudah siap datang ke konveksi besok pagi?” tanya Bu Sukma melalui sambungan telepon. Ini kali kedua beliau menghubungi aku setelah kepulangannya dari berobat di Ibu kota. Tiga hari sebelum hari pelayanan ulang tahunnya, beliau jatuh sakit. Pak Budi Darma yang merupakan orang kepe
“Ada apa?” tanyaku singkat. Rasanya enggan banyak basa-basi sama laki-laki yang pernah menorehkan banyak luka di hati ini. Aku kembali menunduk, mengisi plastik dengan buah sawo yang telah aku pisahkan. “Bagaimana kabar ibu, Mir?” Dari ekor mataku, laki-laki yang hari ini mengenakan sandal jepi
POV 3 “Kok, tumben jam segini baru pulang, Mas? Lembur atau mampir ke mana-mana?” Baru masuk rumah, Tama sudah ditodong pertanyaan oleh Lilik. Tama terdiam. Enggan menjawab pertanyaan perempuan yang kini telah menjadi istrinya tersebut. Ia terus melangkahkan kaki menuju dapur, hendak mengambil air
[Hai perempuan mandul! Apa yang kamu katakan pada suamiku? Kamu iri, ya, melihat kebahagiaanku sampai-sampai harus membuat fitnah. Nggak fitnah nggak hidup kamu? Anak dan ibu sama saja! Sama-sama hobi menghancurkan kebahagiaan orang lain! Dasar anak pelakor!] Pesan masuk ke handphone Amira dari no
Malam semakin larut, tapi Tama tidak mempedulikan itu. Baginya, masalah tadi siang hari segera ia selesaikan malam ini juga. Dia sudah jenuh dengan semua sandiwara Lilik. Belum lagi ibunya yang suka bercerita bagaimana keseharian perempuan yang telah melahirkan anaknya tersebut. Ternyata, Lilik bany
“Katakan siapa yang membiayai hidupku selama itu, Lik?” Tama yang sudah kehabisan kesabaran kembali membentak Lilik. Detik selanjutnya bisa ditebak apa yang terjadi, Zidane menangis. Alih-alih menjawab, Lilik justru terdiam. Enggan menjawab pertanyaan suaminya. Ia sibuk mengayun anaknya yang kemb