Di dalam klinik kecil yang terletak di lantai satu gedung perkantoran tempat Luke & Park Communications beroperasi, Gianna terbaring lemah tak berdaya. Wajahnya tampak pucat dan tangannya terasa dingin. Sasha menepuk-nepuk pipi Gianna pelan, ia menatap Daniel dengan tatapan cemas. "Kita bawa ke rumah sakit aja, aku takut dia kenapa-kenapa," tukas Sasha pada Daniel karena Gianna tak kunjung sadar. Namun tiba-tiba tangan Gianna yang lemah menyentuh tangan Sasha, "Just take me home! I don't wanna do a fuckin' Chemo!" bisik Gianna dengan mata setengah terpejam. Sasha menatap Gianna prihatin, lalu beralih menatap Daniel, meminta pendapat. "Okay Sha, let's take her home, percuma kalau di paksa ke rumah sakit, nanti dia malah stress," sahut Daniel sambil menatap Gianna sedih. Setelah itu Daniel mengangkat Gianna dan mendudukkannya di kursi roda, lalu bersama dengan Sasha mereka berjalan menuju area parkir kantor. "Kamu seneng ya Sha liat saya kayak gini? Jadi berkurang satu kan sain
"Stev, saya keluar dulu ya, kabarin kalau ada apa-apa," tukas Sasha buru-buru seraya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Stevi membuka agendanya cepat-cepat sambil mengikuti Sasha di belakang. "Tapi nanti jam empat ada meeting ya Mbak sama MW Food," ujar Stevi mengingatkan. Sasha memberi tanda 'ok' dengan jemarinya tanda setuju, lalu ia berjalan cepat menuju parkiran untuk mengambil mobil Daniel dan melaju menuju apartemen Gianna. "Halo Gi, saya jemput di lobby ya, lima menit lagi sampai," ujar Sasha sambil mengemudi dengan kencang. Saking menyebutnya ia nyaris bertabrakan dengan sebuah motor yang melawan arah, beruntung Sasha sigap menginjak pedal rem, sehingga kecelakaan bisa dihindarkan. Sampai di lobby apartemen, Gianna sudah menunggu. Ia tak tampak seperti pesakitan sama sekali, justru telihat sangat trendi dengan terusan tanpa lengan berwarna hitam yang menjuntai sampai atas mata kaki, sebuah kacamata hitam tampak bertengger menutupi kedua matanya. "Jadi sekarang kamu yang ha
Sasha berusaha fokus pada pekerjaannya, namun entah mengapa suara Olivia yang terdengar saat ia menelepon Daniel tadi terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sedang apa Daniel bersama dengan Olivia? Tadi Olivia menyebutkan Ibu Daniel, itu artinya Heidi ada di sana! Dengan susah payah akhirnya Sasha bisa kembali fokus pada laptopnya, melupakan sejenak urusan tentang Olivia. Pukul 20.30 malam, Daniel muncul di pintu ruangan kerja Sasha dengan wajah sangat bersalah. "I'm so sorry Sha," tukas Daniel sambil berjalan cepat menghampiri Sasha. Sasha mendongak, menatap Daniel dengan tatapan penuh tanda tanya. "You better have a good reason! Bisa-bisanya kamu gak dateng! Melissa bukan orang sembarangan Dan!" omel Sasha kesal. Jarang sekali ia merasa sekesal ini kepada Daniel. Daniel duduk di atas kursi di depan Sasha, "I know, harusnya aku gak ninggalin meeting itu Sha, tapi Ibuku, oh God! she's out of control!" tukas Daniel, wajahnya putus asa. DEG, Sasha langsung teringat suara Olivia ya
"Welcome to Luke & Park Communications Ga! Thanks udah mau terima tawaran saya," tukas Daniel menyambut kedatangan Raga. Raga tertawa kecil, tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya ia mau ikut bergabung karena ada Sasha. Ia sudah terlalu merindukan Sasha, walaupun di benaknya sama sekali tak ada niatan untuk merebut Sasha dari Daniel. Rasanya tak salah jika dia memiliki cinta sendiri. Berbulan-bulan Raga berjibaku berusaha keras melupakan Sasha, tapi hasilnya nihil. Semakin ia ingin melupakan, semakin ia rindu. Jadi ia memutuskan untuk membiarkan saja semua berjalan apa adanya, mungkin dengan berada di dekat Sasha yang sudah jelas-jelas bersama dengan Daniel akan membuat Raga lebih mudah untuk menghilangkan perasaannya. "Kita dinner bareng yuk! Selebrasi kehadiran Raga!" tukas Sasha mengusulkan. Ia sangat senang melihat Daniel dan Raga bisa berhubungan baik. Salah satu hal yang menjadi impiannya. Akhirnya malam itu, untuk pertama kalinya, Daniel, Raga dan Sasha makan malam bersama
Beberapa minggu belakangan sangat melelahkan bagi Sasha. Ia sangat lelah bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental. Akhirnya Daniel yang merasa kasihan dengan Sasha turun tangan langsung mengurus Gianna, yang justru malah membuat Sasha senewen, karena di dalam hatinya ada rasa cemburu yang susah sekali untuk di hindarkan."Melissa suruh aku untuk ke Singapore, aku mesti visit beberapa perusahaan dia di sana. She will be there too, atau kamu aja yang mau berangkat?" tanya Sasha pada Daniel saat mereka sedang makan siang bersama di ruangan kerja Daniel.Daniel tampak berpikir sebentar,"I think Melissa wants you to be there, dia lebih nyaman di handle sama kamu Sha.You can go," sahut Daniel sambil mengunyah Chicken Teriyaki di mulutnya."Bagaimana dengan Gianna?" tanya Sasha hati-hati. Daniel tersenyum, "She will be fine, aku akan lihat dia sesekali, kamu gak masalah kan? I mean she looks really sick Sha, there's no way that she will do something stupid to me," tukas Daniel sant
Sasha terbangun paginya karena panggilan telepon dari Daniel. "Yes Babe," sapa Sasha parau. "I'm so Sorry Babe, tadi malam aku sibuk banget, Gianna bleeding parah, jadi sekarang dia di rawat di rumah sakit," jelas Daniel dengan suara lelah. Sasha langsung terduduk, "Oh God, sekarang gimana keadaannya?" tanya Sasha khawatir. "I don't know, dokter masih observasi, semoga dia gak pa pa. How are you? Katanya kamu mau cerita sesuatu?" tanya Daniel. Sasha jadi agak ragu untuk menceritakan semua ketakutannya, ia tidak ingin membebani Daniel, jadi ia hanya mengatakan kepada Daniel mengenai kunjungan lanjutannya ke Thailand, Korea dan Jepang yang sudah di atur oleh Melissa Wijaya. "Apa-apaan Melissa! Dia gak koordinasi dengan kita mengenai ini Sha, I'll call her!" tukas Daniel tegas. Sasha langsung membayangkan Daniel akan marah-marah kepada Melissa, dan Melissa akan menjadi kesal sehingga menarik kerjasama mereka, Sasha bergidik ngeri. "Babe, don't do that! I don't want to piss her of
Sasha masih mematung ditempatnya duduk, ia menatap Evan tak percaya, "Kenapa kamu mengatakan semua saya saya? Apa untungnya buat kamu? Bahkan selama bekerja dengan kamu saya selalu bersikap tidak ramah," tukas Sasha masih tak mengerti dengan pengakuan Evan yang tiba-tiba. Tawa Evan yang renyah bahkan terdengar seperti auman di telinga Sasha. "Tidak ada yang gratis di dunia ini Sasha, bahkan sebuah informasi! Dengan mengatakan semua sama kamu, saya akan kehilangan pekerjaan saya dan saya mungkin harus selamanya meninggalkan Indonesia, walaupun memang itu yang saya inginkan," sahut Evan, matanya menerawang menatap ikan hias yang berenang-renang di aquarium restoran. "Jadi apa yang kamu mau? Kalau uang, kamu udah tau kan bagaimana kondisi keuangan saya!" cetus Sasha tak sabar. Evan terkekeh, "Bahkan hutang kamu yang cuma satu milyar aja kamu gak bisa bayar! Gimana saya mau minta uang sama kamu!" sahut Evan tajam. Sasha terkejut, "Dari mana kamu tau? Sejauh apa kamu mengobservasi
Bandara Internasional Suvarnabhumi, Bangkok Thailand terlihat lengang, tidak terlalu banyak orang yang melakukan penerbangan malam hari. Sasha berdiri di depan gerbang check in bandara bersama Evan, mendengarkan setiap instruksi Evan dengan seksama. Berusaha untuk tidak meluputkan satu katapun demi keselamatannya. "Oke Sha, kamu harus check in, sebentar lagi pesawat on board," tukas Evan sambil mengedikan matanya ke arah gerbang check in. Sasha menarik nafas panjang, berusaha untuk menenangkan perasaan takut yang menguasai dirinya. "Take care, ingat semua yang saya bilang, dan satu lagi, saya mengandalkan kamu untuk memastikan Allysa baik-baik saja, tolong jangan kecewakan saya," pesan Evan sungguh-sungguh. Sambil agak berkaca-kaca Sasha mengangguk, "I will, don't worry about that, thanks ya Van karena sudah mengurungkan niat untuk melakukan hal buruk kepada saya," ucap Sasha tulus. Evan mengangguk, "I did that for Allysa, seumur hidup saya melakukan kejahatan, belum pernah say
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han