Satu Bulan Kemudian. Hari ini semua kepala departemen berkumpul di sebuah tempat meeting besar untuk membahas klien besar yang baru saja mereka akuisisi. Klien tersebut merupakan perusahaan fashion yang sangat terkenal di dunia. Sasha sangat bersemangat, karena PR dan Fashion adalah dua hal sangat ia sukai. Beberapa waktu belakangan, ia banyak menghabiskan waktunya di kantor dan kembali ke Apartemen saat sudah hampir larut malam karena ia sangat terfokus dengan rencana publisitas yang akan ia presentasikan untuk perusahaan fashion yang bernama JIA tersebut. Jerome dan Raga sama seperti Sasha, mereka biasanya meninggalkan kantor segera setelah Sasha pulang. Sesekali Jerome akan menghampiri meja Sasha dan mengajak berdiskusi, kadang ia datang hanya untuk memberikan kopi atau camilan. Raga hanya mengawasi dari kejauhan, entah mengapa ia merasa berkewajiban menjaga Sasha. Ia takut jika Jerome macam-macam dengan Sasha. "Sha, udah ready semuanya?" tanya Raga pada Sasha yang sedang sibuk
Raga mendorong Jerome sampai Jerome melepaskan tangan Sasha. Wajah Raga benar-benar tampak marah. Sasha langsung mundur dan memegangi lengannya yang terasa sakit dan perih karena Jerome mencengkramnya dengan sangat keras. "What the hell are you doing! You drunk!" seru Raga pada Jerome, Jerome yang terkejut segera menggosok wajahnya dengan keras lalu berlalu dari hadapan Sasha dan Raga tanpa kata. Ia terlihat seperti orang kebingungan. "Lo gak pa pa?" tanya Raga sambil memeriksa tangan Sasha yang terlihat memerah. "Gak pa pa," sahut Sasha masih dengan ekspresi terkejut. Raga menggosok wajahnya dengan gusar, lalu duduk di bangku di depan Sasha. "Sorry gue telat dateng, harusnya gue nunggu lo di deket sini, tapi tadi gue malah ngerokok di luar," tukas Raga dengan wajah penuh penyesalan. Sasha yang masih tak mengerti apa yang terjadi menatap Raga dengan penuh tanda tanya. "Sebenernya ada apaan sih Ga? Kenapa lo mesti jagain gue? Jagain gue dari apaan? Kenapa juga Jerome mau nyelakai
"Gianna is gone Sha," ujar Gendis tepat saat Sasha menerima telepon. Sasha dan Raga sama-sama terdiam lalu saling tatap dengan wajah yang sangat terkejut. "Kapan Nyet?" tanya Sasha pelan, "Dua jam yang lalu, di Royal Hospital Melbourne. Gue tau dari Luke, ummm Daniel ngehubungin Luke barusan," terang Gendis agak ragu saat harus menyebut nama Daniel. Setelah berbicara mengenai detail kematian Gianna dengan Gendis, Sasha mematikan telepon. Ia terhenyak, merasa seperti sedang bermimpi. Ada rasa bersalah yang merasuki hatinya secara tiba-tiba. Raga yang mengerti arah pikiran Sasha menepuk bahu Sasha pelan, "Oi Sha, look at me!" tukas Raga membuat Sasha menoleh ke arah Raga, mata Sasha tampak sendu. Raga menghela nafas panjang, "Kita semua merasa kehilangan, tapi gue mau kasih tau lo satu hal, none of this is your fault, jangan merasa bersalah!" ujar Raga sambil menatap Sasha dalam. Sasha terdiam, lalu tiba-tiba saja air mata sudah mengambang di matanya dan mengalir deras membasahi pip
"Lho, Nyet? Lo kok di sini?!" Gendis yang sedang mengobrol dengan seorang wanita yang sepertinya teman kuliah Gianna tampak sangat terkejut saat tak sengaja melihat Sasha yang sedang berdiri mematung dengan wajah pucat pasi. Dengan sergap Gendis menghampiri Sasha, memegang telapak tangan Sasha yang sedingin es, lalu Gendis menatap ke arah Daniel yang sudah memalingkan pandangannya dari Sasha. Tanpa berkata apa-apa Gendis menarik Sasha ke teras samping, menjauh dari keramaian, menjauh dari Daniel dan jenazah Gianna. Gendis memegang kedua tangan Sasha, menatap Sasha dengan khawatir, "Nyet kalo lo gak sanggup mending lo keluar dari sini, yuk gue temenin," tukas Gendis yang tak sanggup melihat Sasha yang seperti mayat hidup. Sasha tak bereaksi, rasanya ia ingin mengkonfrontasi Daniel dan bertanya apa maksud Daniel bersikap seperti itu pada Sasha, apa salah Sasha? Namun Sasha tak mampu berkata dan bergerak sama sekali. Diam-diam Gendis mengirim pesan pada Raga yang sedang mengurus urus
Dua bulan kemudian.Seseorang menekan bel unit apartemen Sasha. Dengan gerakan cepat Sasha mengintip di lubang kecil yang berada di balik pintu dan mendapati seorang kurir surat sedang berdiri di depan. Sasha segera membuka pintu dan menerima amplop besar yang diberikan kepadanya. Jantung Sasha berdebar keras saat membaca bahwa surat tersebut dikirim oleh pengacara Sasha yang berada di Jakarta. Dengan perlahan Sasha membuka surat tersebut, surat putusan cerai dari pengadilan. Sasha menarik nafas panjang, selesai sudah semuanya. Ada yang mengganjal sampai sekarang di hati Sasha karena ia dan Daniel tidak pernah benar-benar berbicara sejak kejadian di Melbourne, tidak sekalipun. Kendati demikian, surat putusan cerai sudah berada di tangan Sasha sekarang. Itu artinya Sasha harus melepaskan segala hal yang mengganjal dan meninggalkan semua kenangan pahit itu jauh di belakang. *****"Sha, tolong ke ruangan saya sebentar ya, sekalian bawa print out presentasi yang kemarin kamu kirim ke s
"Sha, lo udah sampe?" tanya Raga tepat setelah Sasha sampai di bandara internasional Ataturk Turki. Sasha menjauh sedikit dari Jerome yang berjalan di depannya, "Iya udah sampe, pokoknya nanti gue kabarin, gue bakal baik-baik aja kok!" seru Sasha berusaha meyakinkan Raga yang terlalu khawatir. "Sha, get in," tukas Jerome seraya membuka pintu mobil. "Ga nanti gue telepon lagi ya, gue cabut dulu," ujar Sasha pada Raga, setelah itu Sasha mematikan telepon dan bergegas masuk ke dalam mobil. Setelah itu Sasha dan Jerome langsung menuju ke hotel tempat mereka akan menginap. Sepanjang perjalanan Jerome tampak berpaling menatap jendela, seperti orang yang sedang gelisah. Sampai di hotel hal yang membuat Sasha panik terjadi, tiba-tiba saja koper Sasha menghilang tanpa jejak. "Memang tadi tidak dimasukkan ke dalam bagasi Pak?" tanya Sasha kepada supir yang menjemput mereka. Supir tersebut mengatakan ia lupa dan meninggalkan koper Sasha di bandara. Namun saat supir itu kembali ke bandara, ia
Sasha turun dari taxi tepat di depan sebuah rumah yang seluruh catnya berwarna putih. Di depan rumah tampak sepasang pria dan wanita sedang menunggu kedatangan Sasha. Dengan langkah cepat Sasha melangkah mendekati mereka, wajahnya masih terlihat ketakutan. "Halo kamu pasti Sasha?" tanya teman Raga dengan ramah. Sasha mengangguk pelan. "Saya Arka, ini istri saya Anggi. Raga sudah cerita semuanya, silahkan masuk," tukas Arka ramah. Dengan sigap Anggi membimbing Sasha untuk masuk ke dalam. Setelah mengobrol sedikit dengan Arka dan Anggi, Sasha diantar masuk ke dalam kamar tamu. Sasha segera mandi dan berganti pakaian tidur yang dipinjamkan oleh Anggi. Dalam hening Sasha duduk di atas tempat tidur, kali ini ia benar-benar akan kehilangan pekerjaan lagi. Kenapa nasib baik sulit sekali berpihak padanya. Setelah ini Sasha harus segera kembali ke Indonesia jika tak ingin Jerome menguntitnya lagi. Mungkin Sasha harus memulai semua lagi dari awal, memikirkannya saja sudah membuat Sasha ingin
"Sha? Kok bengong? Selow Sha gue cuma bercanda!" sergah Raga yang benar-benar takut Sasha marah karena Sasha terdiam cukup lama. "Ayo," ujar Sasha seraya menatap Raga. Raga terperangah dengan wajah tak mengerti, "Ayo apa?" tanya Raga bingung. Sasha menghela nafas, "Ayo kita nikah," ujar Sasha membuat Raga, Arka dan Anggi melotot tak percaya. "Wah dikerjain balik gue! Gak lucu Sha lo tau kan gue baper," gerutu Raga sambil mengangkat cangkir kopinya. "Gue gak bercanda, gue serius," tukas Sasha pelan. Raga langsung tersedak kopinya, sementara Arka dan Anggi saling bertatapan tak percaya. Bagaimana mungkin candaan mereka malah menjadi kenyataan."Wah, pinter ngerjain lo sekarang! Males ah, jantung gue jadi dag dig dug nih! udah udah ganti topik!" seru Raga dengan wajah merah karena tersedak, sebenarnya bukan hanya karena tersedak tapi juga karena ia merasa salah tingkah. Sasha tersenyum, "Ya udah kalo gak percaya," ujar Sasha sambil mengangkat bahu. Raga menyentuh bahu Sasha, "Lo berca