Dua bulan kemudian.Seseorang menekan bel unit apartemen Sasha. Dengan gerakan cepat Sasha mengintip di lubang kecil yang berada di balik pintu dan mendapati seorang kurir surat sedang berdiri di depan. Sasha segera membuka pintu dan menerima amplop besar yang diberikan kepadanya. Jantung Sasha berdebar keras saat membaca bahwa surat tersebut dikirim oleh pengacara Sasha yang berada di Jakarta. Dengan perlahan Sasha membuka surat tersebut, surat putusan cerai dari pengadilan. Sasha menarik nafas panjang, selesai sudah semuanya. Ada yang mengganjal sampai sekarang di hati Sasha karena ia dan Daniel tidak pernah benar-benar berbicara sejak kejadian di Melbourne, tidak sekalipun. Kendati demikian, surat putusan cerai sudah berada di tangan Sasha sekarang. Itu artinya Sasha harus melepaskan segala hal yang mengganjal dan meninggalkan semua kenangan pahit itu jauh di belakang. *****"Sha, tolong ke ruangan saya sebentar ya, sekalian bawa print out presentasi yang kemarin kamu kirim ke s
"Sha, lo udah sampe?" tanya Raga tepat setelah Sasha sampai di bandara internasional Ataturk Turki. Sasha menjauh sedikit dari Jerome yang berjalan di depannya, "Iya udah sampe, pokoknya nanti gue kabarin, gue bakal baik-baik aja kok!" seru Sasha berusaha meyakinkan Raga yang terlalu khawatir. "Sha, get in," tukas Jerome seraya membuka pintu mobil. "Ga nanti gue telepon lagi ya, gue cabut dulu," ujar Sasha pada Raga, setelah itu Sasha mematikan telepon dan bergegas masuk ke dalam mobil. Setelah itu Sasha dan Jerome langsung menuju ke hotel tempat mereka akan menginap. Sepanjang perjalanan Jerome tampak berpaling menatap jendela, seperti orang yang sedang gelisah. Sampai di hotel hal yang membuat Sasha panik terjadi, tiba-tiba saja koper Sasha menghilang tanpa jejak. "Memang tadi tidak dimasukkan ke dalam bagasi Pak?" tanya Sasha kepada supir yang menjemput mereka. Supir tersebut mengatakan ia lupa dan meninggalkan koper Sasha di bandara. Namun saat supir itu kembali ke bandara, ia
Sasha turun dari taxi tepat di depan sebuah rumah yang seluruh catnya berwarna putih. Di depan rumah tampak sepasang pria dan wanita sedang menunggu kedatangan Sasha. Dengan langkah cepat Sasha melangkah mendekati mereka, wajahnya masih terlihat ketakutan. "Halo kamu pasti Sasha?" tanya teman Raga dengan ramah. Sasha mengangguk pelan. "Saya Arka, ini istri saya Anggi. Raga sudah cerita semuanya, silahkan masuk," tukas Arka ramah. Dengan sigap Anggi membimbing Sasha untuk masuk ke dalam. Setelah mengobrol sedikit dengan Arka dan Anggi, Sasha diantar masuk ke dalam kamar tamu. Sasha segera mandi dan berganti pakaian tidur yang dipinjamkan oleh Anggi. Dalam hening Sasha duduk di atas tempat tidur, kali ini ia benar-benar akan kehilangan pekerjaan lagi. Kenapa nasib baik sulit sekali berpihak padanya. Setelah ini Sasha harus segera kembali ke Indonesia jika tak ingin Jerome menguntitnya lagi. Mungkin Sasha harus memulai semua lagi dari awal, memikirkannya saja sudah membuat Sasha ingin
"Sha? Kok bengong? Selow Sha gue cuma bercanda!" sergah Raga yang benar-benar takut Sasha marah karena Sasha terdiam cukup lama. "Ayo," ujar Sasha seraya menatap Raga. Raga terperangah dengan wajah tak mengerti, "Ayo apa?" tanya Raga bingung. Sasha menghela nafas, "Ayo kita nikah," ujar Sasha membuat Raga, Arka dan Anggi melotot tak percaya. "Wah dikerjain balik gue! Gak lucu Sha lo tau kan gue baper," gerutu Raga sambil mengangkat cangkir kopinya. "Gue gak bercanda, gue serius," tukas Sasha pelan. Raga langsung tersedak kopinya, sementara Arka dan Anggi saling bertatapan tak percaya. Bagaimana mungkin candaan mereka malah menjadi kenyataan."Wah, pinter ngerjain lo sekarang! Males ah, jantung gue jadi dag dig dug nih! udah udah ganti topik!" seru Raga dengan wajah merah karena tersedak, sebenarnya bukan hanya karena tersedak tapi juga karena ia merasa salah tingkah. Sasha tersenyum, "Ya udah kalo gak percaya," ujar Sasha sambil mengangkat bahu. Raga menyentuh bahu Sasha, "Lo berca
Sasha ragu-ragu saat akan bertemu dengan Jerome di Powell Communications, namun karena Raga meyakinkannya ia menjadi yakin dan tidak takut. Jerome terlihat sangat terkejut saat melihat Sasha muncul. Ia memalingkan wajah, merasa malu. Dengan agak gemetar menahan rasa marah Sasha berdiri di depan Jerome, ia menarik nafas perlahan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Saya mengajukan pengunduran diri saya per hari ini dan karena ini disebabkan oleh anda saya meminta kompensasi sebesar gaji saya selama sisa kontrak saya disini," tukas Sasha dengan suara tegas seraya meletakkan surat pengunduran dirinya di atas meja. Jerome terperangah dengan keberanian Sasha, "Kompensasi gaji selama kontrak kerja? Gaji selama tiga tahun? Saya rasa saya tidak bisa mengabulkan permintaan kamu," tukas Jerome dengan jengah. Sasha menatap Jerome tajam, ia mengeluarkan ponselnya, memperdengarkan rekaman percakapannya dengan Jerome yang sempat direkam oleh Raga saat Sasha meneleponnya. "It's your call, jik
Hari ini Sasha habiskan dengan mengajak keluarganya belanja, ia ingin menyenangkan keluarganya sesekali karena ia baru saja mencairkan uang kompensasi yang diberikan Jerome. "Kak aku boleh beli tas yang ini?" tanya Jasmine malu-malu sambil menunjuk tas yang memang harganya agak mahal dibanding tas yang biasa Jasmine gunakan. Sasha tersenyum, "Boleh, tapi janji belajar lebih giat ya!" tukas Sasha yang langsung disambut anggukan keras oleh Jasmine. Sasha melihat Mamanya dari kejauhan sedang menatap takjub ke arah setelan keluaran terbaru dari Burberry. "Mama suka?" tanya Sasha setelah berdiri di sebelah Mamanya. Mama Sasha langsung menggeleng, "Enggak, cuma liat-liat aja, ayok!" Mama menarik tangan Sasha. Sasha menahan tangan Mamanya, "Ayo liat ke dalem!" ajak Sasha seraya menarik tangan Mamanya. "Gak usah Sha, mahal banget!" tukas Mama menggeleng kuat. Ia terlalu merasa bersalah untuk menghabiskan uang anaknya karena di masa lalu ia seringkali menyusahkan anaknya dengan banyaknya hu
Hari lamaran sudah berlalu, keluarga Raga sudah meminta Sasha secara resmi untuk menjadi istri Raga. Semua berjalan dengan sangat lancar sampai Sasha mengira semua adalah mimpi, tak ada halangan sedikitpun seolah semesta memang mendukung niat baik Sasha dan Raga. Hari ini Raga mengajak Sasha untuk mencari kantor yang akan mereka gunakan untuk memulai usaha agensi periklanan yang akan mereka kembangkan. Mereka sudah keluar masuk gedung perkantoran beberapa kali namun belum menemukan yang cocok. "Kita butuh space gede Ga, jadi bisa kita jadiin gudang juga, kalo di gedung perkantoran kayaknya susah deh unless kita mau bayar mahal, tapi sayang aja gitu ngeluarin duit gede di awal-awal gini," ujar Sasha setelah mereka meninggalkan gedung terakhir yang mereka lihat. Raga manggut-manggut sambil berpikir keras, ia mengetuk-ngetukan jemarinya di atas kemudi, mencari solusi. "Sha, gimana kalo kita pake rumah aja? kita bisa fungsikan jadi kantor, rumah yang garasinya super gede jadi bisa kita
"So we are husband and wife!" seru Raga setelah prosesi pernikahan selesai dilakukan. Sasha tersenyum manis, merasa senang melihat binar bahagia di mata Raga. Dengan bangga Raga memamerkan Sasha pada seluruh keluarganya, ia memuji-muji Sasha dan mengatakan Sasha adalah wanita terbaik yang pernah ia temui seumur hidupnya. Sasha merasa sangat dicintai, dikagumi, disayangi, mungkin sebaiknya Sasha mulai memupuk perasaannya pada Raga agar bisa terus bertumbuh sebesar Raga mencintainya. "Nyet, I'm so happy for you, gue yakin sih Raga gak akan pernah nyakitin lo, he loves you so much!" tukas Gendis sambil memegang kedua tangan Sasha. Sasha tersenyum lebar, ia mengangguk, "I know!" sahutnya riang sekaligus terharu. Ia masih saja menyesali kebodohannya untuk tak melihat Raga sejak awal pertama Raga mengatakan bahwa Raga mencintainya. "Gak usah liat ke belakang, semua yang terjadi di kehidupan selalu ada alasannya," ujar Gendis seolah dapat membaca isi kepala Sasha. Sasha tergelak, "Lo pasti
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han