Hari lamaran sudah berlalu, keluarga Raga sudah meminta Sasha secara resmi untuk menjadi istri Raga. Semua berjalan dengan sangat lancar sampai Sasha mengira semua adalah mimpi, tak ada halangan sedikitpun seolah semesta memang mendukung niat baik Sasha dan Raga. Hari ini Raga mengajak Sasha untuk mencari kantor yang akan mereka gunakan untuk memulai usaha agensi periklanan yang akan mereka kembangkan. Mereka sudah keluar masuk gedung perkantoran beberapa kali namun belum menemukan yang cocok. "Kita butuh space gede Ga, jadi bisa kita jadiin gudang juga, kalo di gedung perkantoran kayaknya susah deh unless kita mau bayar mahal, tapi sayang aja gitu ngeluarin duit gede di awal-awal gini," ujar Sasha setelah mereka meninggalkan gedung terakhir yang mereka lihat. Raga manggut-manggut sambil berpikir keras, ia mengetuk-ngetukan jemarinya di atas kemudi, mencari solusi. "Sha, gimana kalo kita pake rumah aja? kita bisa fungsikan jadi kantor, rumah yang garasinya super gede jadi bisa kita
"So we are husband and wife!" seru Raga setelah prosesi pernikahan selesai dilakukan. Sasha tersenyum manis, merasa senang melihat binar bahagia di mata Raga. Dengan bangga Raga memamerkan Sasha pada seluruh keluarganya, ia memuji-muji Sasha dan mengatakan Sasha adalah wanita terbaik yang pernah ia temui seumur hidupnya. Sasha merasa sangat dicintai, dikagumi, disayangi, mungkin sebaiknya Sasha mulai memupuk perasaannya pada Raga agar bisa terus bertumbuh sebesar Raga mencintainya. "Nyet, I'm so happy for you, gue yakin sih Raga gak akan pernah nyakitin lo, he loves you so much!" tukas Gendis sambil memegang kedua tangan Sasha. Sasha tersenyum lebar, ia mengangguk, "I know!" sahutnya riang sekaligus terharu. Ia masih saja menyesali kebodohannya untuk tak melihat Raga sejak awal pertama Raga mengatakan bahwa Raga mencintainya. "Gak usah liat ke belakang, semua yang terjadi di kehidupan selalu ada alasannya," ujar Gendis seolah dapat membaca isi kepala Sasha. Sasha tergelak, "Lo pasti
Tak pernah ada pagi seindah hari ini, saat Sasha membuka mata dan Raga terbaring di sebelahnya dengan mata yang masih terpejam karena kelelahan. Sasha kira ia akan memerlukan waktu lama untuk menyesuaikan diri, nyatanya ketulusan cinta Raga mampu membuat Sasha merasakan jatuh cinta yang aneh, jatuh cinta pada orang yang sejak awal selalu ia sayangi dan ia pedulikan. Sasha memandangi wajah Raga, ia bahkan terlihat seratus kali lebih tampan sekarang. Banyak yang bilang Raga mirip dengan aktor Junot Ali, tapi menurut Sasha Raga bahkan terlihat lebih tampan di banding aktor tersebut. Dengan perlahan Sasha membelai pipi Raga, ia merasa agak canggung sebenarnya mengingat biasanya mereka saling toyor kepala. Tiba-tiba saja tangan Raga bergerak menarik tangan Sasha yang sedang menyentuh wajahnya, lalu menarik Sasha ke dalam pelukannya. "Jangan buru-buru bangun dong, masih betah nih gue kelonan sama lo," tukas Raga dengan mata setengah terpejam. Sasha hanya tertawa di balik pelukan Raga, "Aw
"Aku minta maaf Sha," ucap Raga merasa sangat bersalah. Sasha mendongak menatap Raga, "Apa?" tanya Sasha seolah tak mendengar kata-kata Raga. "Aku minta maaf Sasha," ulang Raga dengan suara lembut. Sasha tergelak, "Aku? Jadi sekarang kita aku kamu nih?" ledek Sasha menahan tawa. "Lah kamu gak marah? Ya udah kita aku kamu aja deh biar lebih kayak suami istri! This is an order!" tukas Raga pura-pura tegas. Sasha berdiri tegak lalu bersikap hormat, "Siap Laksanakan!" sahut Sasha yang tiba-tiba saja lupa dengan kekesalannya. Raga meraih bahu Sasha, merangkulnya hangat, "Udah kata-kata Daniel gak usah dipikirin! Kita istirahat aja, besok kan kita berangkat ke Nihi Sumba," ujar Raga seraya menciumi rambut Sasha yang wangi. Sasha mengangguk, lalu ia dan Raga naik ke atas tempat tidur. "Jadi kita beneran aku kamu nih? Pengen ngakak boleh gak sih?" tukas Sasha sambil menahan tawa. Raga mencubit pipi Sasha, "Ngakak deh sono! Dari pada orang salah paham mulu nyangkain kita bukan laki bini, me
Honeymoon sudah berakhir, Sasha dan Raga kembali ke Jakarta dengan perasaan yang jauh lebih bahagia dari pada sebelumnya. Mereka beristirahat selama beberapa hari di rumah, lalu mulai fokus mempersiapkan perpindahan kantor agensi periklanan Raga ke rumah Raga di kawasan Senayan. "Sha, lo mau ganti nama advertising kita gak?" tanya Raga saat mereka sedang berada di dalam mobil. Sasha memiringkan kepalanya, "Emang nama yang sekarang artinya apa?" tanya Sasha penasaran. "RASHAD Advertising, sebenernya Raga Satya Pandega, tapi sengaja pake huruf H jadi RASHAD biar bisa jadi Raga Sasha Pandega juga hahahahaa, maksa yaa?" jawab Raga yang membuat Sasha tertawa juga. "Gak usah diganti lah, RASHAD Advertising, sounds good kok!" tukas Sasha sungguh-sungguh. Tak lama kemudian mereka sudah sampai di sebuah ruko kecil tempat RASHAD Advertising berkantor sekarang. "Bos! Tumben mampir!" seru seorang pria dengan rambut gondrong yang bernama Bibi. Sasha menyapa semua karyawan Raga yang jumlahnya ha
"Mama udah enakan kepalanya?" tanya Sasha kepada Mamanya saat mereka sedang sarapan bersama. Mama tersenyum lalu mengangguk, tak terlihat gurat kesakitan di wajahnya. Sasha dan Raga hanya saling lirik. "Lha Mama udah rapi mau kemana?" tanya Raga sambil mengunyah nasi goreng di mulutnya. "Mau ketemu temen Mama, udah lama gak ketemu, mumpung Katia sekolah!" jawab Mama riang. "Ooo, mau Raga anterin?" tawar Raga. Mama menggeleng, "Gak usah, Mama bareng sama temen kok," sahut Mama santai. Lagi-lagi Sasha dan Raga hanya saling lirik. "Mama naik apa nanti?" tanya Sasha sambil mencuci piring. "Taksi online, kenapa sih ini tumben pada nanya terus," tukas Mama sambil membereskan meja makan. "Ya kan tadi malem Mama abis sakit, takut kenapa-kenapa aja," sahut Sasha beralasan. "Cepet-cepet Ga, ambil kunci mobil!" ujar Sasha setelah Mama keluar dari rumah. Raga buru-buru mengambil kunci mobil, lalu mereka bergegas masuk ke dalam mobil dan mengikuti taksi online yang membawa Mama nya pergi. "Sha
Sasha berjalan dengan lemas keluar dari ruang dokter bedah saraf. Di sebelahnya Raga memegangi Sasha dengan khawatir, "Sha, kita duduk dulu deh, lo lemes banget begitu," tukas Raga. Sasha mengangguk setuju, beberapa saat kemudian mereka sudah berada di sebuah coffee shop rumah sakit. "Gimana bisa Mama nyembunyiin semua dari kita Ga? Dia pasti selalu kesakitan tapi kok bisa gak keliatan sama kita!" ujar Sasha yang masih tak paham bagaimana cara Mama menyembunyikan penyakitnya dengan sangat rapih. "Sha, kita jarang di rumah, Jasmine sekolah les apa segala macem sampe jam enam sore, Katia masih terlalu kecil, dia mungkin gak gitu ngerti," tukas Raga, ia tak ingin Sasha merasa bersalah. Tiba-tiba Sasha mendapatkan sebuah pencerahan, ia membuka aplikasi kontrol CCTV di ponselnya, lalu membuka CCTV yang ada di rumahnya. Sasha memilih tanggal dari tiga bulan ke belakang, mencari-cari apakah Mamanya pernah merasakan sakit di rumah tanpa mereka semua mengetahuinya. Ada beberapa video di CC
Hari-hari selanjutnya tidak lagi sama bagi keluarga Sasha. Akan semakin mudah jika mereka tidak tahu kapan seseorang akan meninggalkan mereka. Mengetahui Mama mungkin saja akan dijemput kematian dalam waktu dekat membuat Sasha, Jasmine dan Katia terus menerus berada dalam kesedihan. "Sha, gue tau ini gak mudah, tapi gue rasa dengan sikap lo, Jasmine dan Katia yang kayak gini malah bikin kondisi Mama tambah buruk," tukas Raga yang merasa sangat prihatin melihat kondisi mental semua orang yang berada di dalam rumah. Sasha terdiam, ia tahu Raga benar, tapi melawan rasa sedihnya rasanya sangat sulit. "Kita mesti ngobrol Sha sama Jasmine dan Katia," ujar Raga lagi sambil memegang kedua tangan Sasha. Sasha menghela nafas panjang, lalu mengangguk pelan. "Gue mesti bilang apa Ga? Kata-kata gue gak akan membuat perubahan apapun, maksud gue Mama tetep bakal mati," sahut Sasha dengan suara tercekat. "Justru karena kita udah tau akhirnya Sha, ayok kita bikin Mama bahagia! Kalau perlu kita libu