Hari-hari selanjutnya tidak lagi sama bagi keluarga Sasha. Akan semakin mudah jika mereka tidak tahu kapan seseorang akan meninggalkan mereka. Mengetahui Mama mungkin saja akan dijemput kematian dalam waktu dekat membuat Sasha, Jasmine dan Katia terus menerus berada dalam kesedihan. "Sha, gue tau ini gak mudah, tapi gue rasa dengan sikap lo, Jasmine dan Katia yang kayak gini malah bikin kondisi Mama tambah buruk," tukas Raga yang merasa sangat prihatin melihat kondisi mental semua orang yang berada di dalam rumah. Sasha terdiam, ia tahu Raga benar, tapi melawan rasa sedihnya rasanya sangat sulit. "Kita mesti ngobrol Sha sama Jasmine dan Katia," ujar Raga lagi sambil memegang kedua tangan Sasha. Sasha menghela nafas panjang, lalu mengangguk pelan. "Gue mesti bilang apa Ga? Kata-kata gue gak akan membuat perubahan apapun, maksud gue Mama tetep bakal mati," sahut Sasha dengan suara tercekat. "Justru karena kita udah tau akhirnya Sha, ayok kita bikin Mama bahagia! Kalau perlu kita libu
"Lo yakin gak berangkat bareng aja?" tanya Sasha pada Raga. "Nanti gue nyusul Sha, kan gue mesti ngurusin kantor dulu, lo fokus sama Mama ya, biar gue yang urusin kerjaan," jawab Raga seraya membantu Sasha menyusun baju ke dalam koper. "Ya udah, keep me update ya! Jangan nakal!" pesan Sasha lalu memeluk Raga erat. Raga tertawa, "Kalau mau nakal mah dari dulu aja Shaaaa!" sahut Raga seraya mengangkat tubuh Sasha yang berada dalam pelukannya. Sasha tertawa, "Iya juga siii hahaha!" Setelah itu Raga mengantarkan Sasha dan yang lainnya ke bandara. Rencananya mereka akan berlibur ke Bali selama sepekan. Mama tampak sangat riang, selama beberapa hari belakangan sebelum keberangkatan, Mama tampak sangat antusias dan tak sabar. "Hati-hati, kabarin terus ya Sha," tukas Raga seraya mengecup puncak kepala Sasha. Raga juga mengelus kepala Jasmine dan Katia, terakhir ia mencium tangan Mama Sasha, "Have fun ya Ma!" pesan Raga tulus. Mama Sasha memegang tangan Raga, "Makasih banyak ya Raga, you br
Malam hari di saat semua terlelap, Sasha yang memaksa untuk tidur satu kamar dengan Mama nya mendengar suara orang yang sedang muntah di kamar mandi. Dengan sigap Sasha menyalakan lampu lalu bergegas menuju kamar mandi. Ia membuka pintu kamar mandi tanpa mengetuk dan mendapati Mama sedang muntah-muntah dengan tangan memegangi belakang kepalanya yang terasa sangat sakit. Sasha berjongkok memijit tengkuk Mama dengan wajah yang sangat panik. Mama terus mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya, keringat dingin sebesar biji jagung memenuhi keningnya. Sasha membimbing Mama naik ke atas tempat tidur, tak ada lagi ketabahan yang sejak lama selalu Mama tunjukan, hanya gurat kesakitan yang nampak. Sasha bergegas mengambil obat pereda nyerj dan meminumkannya pada Mama. Beberapa saat kemudian Mama sudah terkulai dengan mata setengah terpejam. "Maafin Mama ya Sha, kamu jadi harus melalui ini," gumam Mama masih dengan mata setengah terpejam. "Don't say that Ma, aku seneng bisa ngerawat Mam
Sasha menunggu sambil memeluk dan menepuk-nepuk punggung Katia, sementara dokter sedang sibuk melakukan resusitasi pada Mama Sasha. Entah mengapa Sasha sudah tau kalau Mama tak akan mungkin di selamatkan, namun melihat Mama pergi dalam keadaan tenang dan tanpa rasa sakit membuat Sasha menjadi lebih tabah dan legowo menerima semuanya. Gendis terus menerus mengucapkan kata penghiburan pada Jasmine, sementara Raga tampak berdiri memantau dokter yang sedang melakukan resusitasi. Suasana sangat mencekam, hari yang mereka takutkan akhirnya tiba. Dokter keluar dengan wajah muram, "Mohon maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain, Ibu Katalina Iswandi telah meninggal dunia, waktu kematian pukul 17.50 sore, kami turut berduka cita sedalam-dalamnya," ucap dokter sambil menepuk bahu Raga pelan. Jasmine menangis histeris di pelukan Gendis, begitupun Katia yang juga tersedu di pelukan Sasha. Sementara Sasha jangan ditanya bagaimana hancurnya perasaannya, tapi ia t
Sebulan sudah berlalu sejak kepergian Mama, senyum tampak sudah menghiasi bibir Sasha, Jasmine dan Katia. Bisa dibilang semua sudah kembali normal. Sasha menjadi benar-benar sibuk karena harus mengurus kedua adiknya. Jasmine yang pengertian selalu bangun lebih awal agar bisa membantu Sasha. Seperti pagi ini, "Udah kakak masukin ya dek donatnya, kamu mau bawa semua banyak kan buat temen-temen juga?" tanya Sasha sambil memasukkan botol minum ke dalam ransel. "Iya, soalnya kata temen-temen donat bikinan kak Sha enak!" seru Katia, tangannya sibuk mengikat tali sepatu. "Bekal makan siang sama snack nya juga ada di tas ya dek, jangan lupa kalo ada apa-apa kamu kasih tau guru pembimbing buat hubungin kakak," pesan Sasha panjang lebar. "Iyaaa kaaak," sahut Katia. Jasmine keluar dari kamarnya, mengambil selembar roti yang sudah di toast dan mengolesinya dengan selai cokelat. "Kakak nanti kerja?" tanya Jasmine sambil menatap Sasha. Sasha mengangguk, "Iya sebentar aja kok, nanti waktu kamu pul
Enam Bulan Kemudian. Agensi Advertising RASHAD mulai lebih dilirik oleh banyak perusahaan. Walaupun begitu Sasha dan Raga tetap konsisten dengan janji mereka pada Jasmine dan Katia untuk harus selalu sampai di rumah tepat pukul 6.00 sore. Hari ini rencananya Sasha dan Raga akan mengunjungi rumah orang tua Raga. Biasanya mereka akan datang ke sana setiap dua minggu satu kali. Sasha juga selalu membawa Jasmine dan Katia yang segera menjadi akrab dengan keluarga Raga. "Ni Sha, Ibu buatin opor ayam kesukaan kamu!" seru Ibu mertua Sasha seraya membuka tutup makanan. Aroma bawang goreng menguar seketika, tiba-tiba saja Sasha merasakan perutnya mual. Ia menutup mulut dan hampir saja muntah. Padahal biasanya Sasha akan langsung merasa lapar jika mencium aroma bawang goreng. "Kamu kenapa Sha?" tanya Raga khawatir. Sasha menggeleng, "Gak tau, nyium bawang goreng mual banget," jawab Sasha sambil tetap menutup mulutnya. Ibu Raga tersenyum, membuat Sasha dan Raga saling pandang kebingungan. "
"Ngapain aja sayang seharian?" tanya Raga sambil membuka sepatunya. Sasha menghempaskan tubuhnya di sebelah Raga. "Ngobrol sama Gendis, ternyata dia juga lagi hamil!" seru Sasha yang cukup membuat Raga terkejut. "Oh ya? Wah kok baru ngasih tau?" tanya Raga heran. "Tau tuuu pamali katanya," sahut Sasha, ia sedang menimbang-nimbang untuk mengatakan pada Raga tentang Reina. "Kayaknya kita harus mulai cari dokter deh, kan aku udah harus mulai check up," tukas Sasha seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Raga. Raga manggut-manggut, "Ya udah ayok kita cari, kamu mau di rumah sakit mana? Kemaren Ibu sempet rekomendasiin sih dokter senior dari jaman Ibu dulu," ujar Raga, tangannya membelai-belai rambut Sasha dengan lembut. "Oh iya? Aku juga lagi cari-cari sih, pengennya perempuan juga biar lebih nyaman aja gitu," tukas Sasha sambil berpikir, apa sebaiknya ia mengikuti jejak Gendis untuk daftar menjadi pasiennya dr. Reina? Toh kalau ia merasa tidak nyaman bisa berganti dokter lain. "Ummm ada
"Gimana? Nyaman gak sama dokter Reina?" tanya Raga setelah mereka keluar dari ruangan dokter. Sasha tersenyum sambil mengangguk, "Oke siii, kayaknya aku bakal sama dia aja deh, she is a professional doctor sih keliatannya," jawab Sasha sambil mengingat waktu tadi Reina memeriksanya. Raga tersenyum merangkul Sasha, "Bagus deh, ya udah kita jadi beli pizza kan buat the sisturrr?" tanya Raga yang sering memanggil Jasmine dan Katia dengan sebutan The Sisturrr. Sasha mengangguk, ia melangkah keluar lobby dengan riang. Di belakangnya ibu-ibu muda melihat Sasha dengan iri. Mereka melihat Sasha dan Raga sebagai pasangan yang sangat serasi, istri cantik dan suami tampan dengan ukuran tubuh yang sama-sama proposional. Padahal Sasha dan Raga sama sekali tak merasa begitu. Jakarta yang cukup luas terasa sangat sempit karena di manapun Sasha berada, ia seringkali menemui orang yang ia kenal. Kali ini ia bertemu lagi dengan Karin, mantan karyawan LPC yang dulu selalu mengejar-ngejar Daniel saat