Sebulan sudah berlalu sejak kepergian Mama, senyum tampak sudah menghiasi bibir Sasha, Jasmine dan Katia. Bisa dibilang semua sudah kembali normal. Sasha menjadi benar-benar sibuk karena harus mengurus kedua adiknya. Jasmine yang pengertian selalu bangun lebih awal agar bisa membantu Sasha. Seperti pagi ini, "Udah kakak masukin ya dek donatnya, kamu mau bawa semua banyak kan buat temen-temen juga?" tanya Sasha sambil memasukkan botol minum ke dalam ransel. "Iya, soalnya kata temen-temen donat bikinan kak Sha enak!" seru Katia, tangannya sibuk mengikat tali sepatu. "Bekal makan siang sama snack nya juga ada di tas ya dek, jangan lupa kalo ada apa-apa kamu kasih tau guru pembimbing buat hubungin kakak," pesan Sasha panjang lebar. "Iyaaa kaaak," sahut Katia. Jasmine keluar dari kamarnya, mengambil selembar roti yang sudah di toast dan mengolesinya dengan selai cokelat. "Kakak nanti kerja?" tanya Jasmine sambil menatap Sasha. Sasha mengangguk, "Iya sebentar aja kok, nanti waktu kamu pul
Enam Bulan Kemudian. Agensi Advertising RASHAD mulai lebih dilirik oleh banyak perusahaan. Walaupun begitu Sasha dan Raga tetap konsisten dengan janji mereka pada Jasmine dan Katia untuk harus selalu sampai di rumah tepat pukul 6.00 sore. Hari ini rencananya Sasha dan Raga akan mengunjungi rumah orang tua Raga. Biasanya mereka akan datang ke sana setiap dua minggu satu kali. Sasha juga selalu membawa Jasmine dan Katia yang segera menjadi akrab dengan keluarga Raga. "Ni Sha, Ibu buatin opor ayam kesukaan kamu!" seru Ibu mertua Sasha seraya membuka tutup makanan. Aroma bawang goreng menguar seketika, tiba-tiba saja Sasha merasakan perutnya mual. Ia menutup mulut dan hampir saja muntah. Padahal biasanya Sasha akan langsung merasa lapar jika mencium aroma bawang goreng. "Kamu kenapa Sha?" tanya Raga khawatir. Sasha menggeleng, "Gak tau, nyium bawang goreng mual banget," jawab Sasha sambil tetap menutup mulutnya. Ibu Raga tersenyum, membuat Sasha dan Raga saling pandang kebingungan. "
"Ngapain aja sayang seharian?" tanya Raga sambil membuka sepatunya. Sasha menghempaskan tubuhnya di sebelah Raga. "Ngobrol sama Gendis, ternyata dia juga lagi hamil!" seru Sasha yang cukup membuat Raga terkejut. "Oh ya? Wah kok baru ngasih tau?" tanya Raga heran. "Tau tuuu pamali katanya," sahut Sasha, ia sedang menimbang-nimbang untuk mengatakan pada Raga tentang Reina. "Kayaknya kita harus mulai cari dokter deh, kan aku udah harus mulai check up," tukas Sasha seraya menyandarkan kepalanya ke bahu Raga. Raga manggut-manggut, "Ya udah ayok kita cari, kamu mau di rumah sakit mana? Kemaren Ibu sempet rekomendasiin sih dokter senior dari jaman Ibu dulu," ujar Raga, tangannya membelai-belai rambut Sasha dengan lembut. "Oh iya? Aku juga lagi cari-cari sih, pengennya perempuan juga biar lebih nyaman aja gitu," tukas Sasha sambil berpikir, apa sebaiknya ia mengikuti jejak Gendis untuk daftar menjadi pasiennya dr. Reina? Toh kalau ia merasa tidak nyaman bisa berganti dokter lain. "Ummm ada
"Gimana? Nyaman gak sama dokter Reina?" tanya Raga setelah mereka keluar dari ruangan dokter. Sasha tersenyum sambil mengangguk, "Oke siii, kayaknya aku bakal sama dia aja deh, she is a professional doctor sih keliatannya," jawab Sasha sambil mengingat waktu tadi Reina memeriksanya. Raga tersenyum merangkul Sasha, "Bagus deh, ya udah kita jadi beli pizza kan buat the sisturrr?" tanya Raga yang sering memanggil Jasmine dan Katia dengan sebutan The Sisturrr. Sasha mengangguk, ia melangkah keluar lobby dengan riang. Di belakangnya ibu-ibu muda melihat Sasha dengan iri. Mereka melihat Sasha dan Raga sebagai pasangan yang sangat serasi, istri cantik dan suami tampan dengan ukuran tubuh yang sama-sama proposional. Padahal Sasha dan Raga sama sekali tak merasa begitu. Jakarta yang cukup luas terasa sangat sempit karena di manapun Sasha berada, ia seringkali menemui orang yang ia kenal. Kali ini ia bertemu lagi dengan Karin, mantan karyawan LPC yang dulu selalu mengejar-ngejar Daniel saat
"Sha, aku udah kabarin Luke sama Gendis, mereka bakal bantu kita juga buat gantian jaga Daniel," tukas Raga di pagi hari saat Sasha baru membuka mata. Raga terlihat sudah mandi dan sedang mengenakan pakaian kerja. Biasanya Sasha sudah menyediakan pakaian kerja untuk Raga, tapi karena kemarin ia terlalu kelelahan ia jadi bangun kesiangan. Sasha bangkit dari tempat tidur, memeluk Raga dari belakang. Raga yang sedang mengancingkan kemejanya tersenyum, mengelus lengan Sasha dengan sayang. "Raga, gak akan ada yang berubah setelah ini, kamu tetep bakal jadi satu-satunya laki-laki yang aku cintai!" ujar Sasha yang mengerti kegelisahan Raga sejak tadi malam. Raga berbalik badan, memegang kedua pipi Sasha yang kenyal, "Lagian aku gak akan ngebiarin siapapun ngambil kamu dari aku," tukas Raga mendekatkan wajahnya pada Sasha lalu mengecup bibir Sasha cepat. Sasha tersipu, bahkan setelah menikah beberapa bulan pun sentuhan kecil dari Raga masih selalu membuat Sasha tersipu malu. "Aku ke kantor
Hari ini Sasha, Raga, Luke dan Gendis berkumpul di Coffee Shop rumah sakit. Luke tampak sangat terpukul. "Kita mesti cerita ke Daniel tentang semua hal? Atau hanya tentang best part of his life aja?" tanya Gendis sambil mengusap-usap perutnya yang sudah membuncit. "I think kita harus kasih tau semua, jangan ada yang ditutupi, karena kalaupun bukan dari kita, he might someday dengar dari orang lain," jawab Luke bijak. Sasha mengigit bibirnya, itu artinya ia harus memberitahu Daniel tentang sejarah mereka. Sejarah pernikahan dan perceraian mereka. Raga menyentuh tangan Sasha, "Kita harus kasih Handphone Daniel Sha, mungkin itu bisa ngebantu buat men-trigger ingatan dia," tukas Raga lembut. Walaupun dalam hatinya cukup berat. Banyak hal buruk yang ia bayangkan akan terjadi. Bagaimana jika Daniel mulai jatuh cinta kepada Sasha seperti pertama kali? Bahkan sampai sebelum kecelakaan pun Daniel masih memasang wallpaper layar ponselnya dengan foto pernikahannya dan Sasha. Sasha mengangguk,
"Sha, have you call Heidi again?" tanya Luke dua minggu kemudian. Sasha mengangguk, "Cuaca udah kembali normal, tapi Heidi malah sakit, dia bilang setelah dia sembuh dia baru akan datang," jawab Sasha murung. Kasihan Daniel, apa keadaan Daniel yang parah seperti sekarang sama sekali bukan hal yang penting bagi Heidi? "Dokter bilang Daniel udah boleh pulang, jadi kita mesti gimana?" tanya Gendis, saat itu mereka sedang mengobrol di Kafe Rumah Sakit. Mereka semua sama-sama terdiam dan berpikir. Harus ada di antara mereka yang merawat Daniel. Luke harus kembali ke Bali karena pusat bisnisnya ada di sana. Sementara Gendis tetap di Jakarta karena ia ingin tinggal dengan orang tuanya saat hamil seperti sekarang. Raga dan Sasha, mereka bisa aja merawat Daniel, tapi tentu saja akan terasa sangat aneh. Setelah berdebat panjang, ternyata mereka sama sekali tak punya pilihan lain. Akhirnya keputusan diambil, Daniel akan dirawat oleh Raga dan Sasha sampai kondisinya membaik. Mereka akan datang
Malam ini Sasha memesan banyak makanan dari restoran Jepang favorit Daniel. Ia dan Gendis menyusun banyak makanan dan minuman di atas meja untuk mereka mengobrol dengan Daniel dari hati ke hati. Raga yang sempat mampir ke kantornya sebentar sore tadi sudah kembali, kini mereka bertiga menunggu Daniel dan Luke keluar dari dalam kamar Daniel. Tak lama kemudian Daniel muncul, ia terlihat sudah berganti baju dengan dibantu oleh Luke, kepalanya masih dililit perban, dan wajahnya masih saja seper orang yang kebingungan. "Hai Dan, how do you feel?" sapa Sasha sambil mendorong kursi roda Daniel menuju ke arah sofa tempat dimana yang lain sudah berkumpul. "Better I guess, knowing my ex wife and his new husband are all around me, it's a good sign isn't? Itu artinya kita semua bisa akur, ya kan?" jawab Daniel yang membuat Sasha langsung terdiam. Tanpa menyahut Sasha memarkirkan kursi roda Daniel dan menghempaskan tubuhnya tepat di samping Raga. "Well, jadi kalian mau bicara apa?" tanya Daniel