"Hi Sasha, I'm Lee Hye Ri, I'm your neighbor, and I also work for Powell Com, we've met at the office earlier!" sapa seorang wanita korea yang tinggal di unit sebelah Sasha dengan ramah, kebetulan mereka bertemu saat Sasha baru selesai membuang sampah. Sasha ingat tadi siang ia sempat berkenalan dengan Hyeri di kantor, seingatnya Hyeri adalah sekretaris Raga. "Hi Lee Hye Ri, good to see you! Jadi kamu sekretaris nya Raga?" tanya Sasha basa-basi. Hyeri mengernyitkan dahi, "Raga?" tanya Hyeri bingung. Sasha langsung tersadar Raga dipanggil dengan nama belakangnya oleh staf kantor karena mereka masih baru saling kenal. "I mean Raga Satya Pandega," jelas Sasha yang tak tahu Hyeri biasa memanggil Raga apa. "Ahhh yup Mr. Pandega! Yes I'm his secretary, lucu ya! Bos saya tinggal di apartemen yang sama dengan saya!" tukas Hyeri sambil menunjuk unit yang ada di depan Sasha. Betul sekali, Raga tinggal di unit yang letaknya tepat di depan unit yang ditempati oleh Sasha. Sungguh kebetulan yang
Satu Bulan Kemudian. Hari ini semua kepala departemen berkumpul di sebuah tempat meeting besar untuk membahas klien besar yang baru saja mereka akuisisi. Klien tersebut merupakan perusahaan fashion yang sangat terkenal di dunia. Sasha sangat bersemangat, karena PR dan Fashion adalah dua hal sangat ia sukai. Beberapa waktu belakangan, ia banyak menghabiskan waktunya di kantor dan kembali ke Apartemen saat sudah hampir larut malam karena ia sangat terfokus dengan rencana publisitas yang akan ia presentasikan untuk perusahaan fashion yang bernama JIA tersebut. Jerome dan Raga sama seperti Sasha, mereka biasanya meninggalkan kantor segera setelah Sasha pulang. Sesekali Jerome akan menghampiri meja Sasha dan mengajak berdiskusi, kadang ia datang hanya untuk memberikan kopi atau camilan. Raga hanya mengawasi dari kejauhan, entah mengapa ia merasa berkewajiban menjaga Sasha. Ia takut jika Jerome macam-macam dengan Sasha. "Sha, udah ready semuanya?" tanya Raga pada Sasha yang sedang sibuk
Raga mendorong Jerome sampai Jerome melepaskan tangan Sasha. Wajah Raga benar-benar tampak marah. Sasha langsung mundur dan memegangi lengannya yang terasa sakit dan perih karena Jerome mencengkramnya dengan sangat keras. "What the hell are you doing! You drunk!" seru Raga pada Jerome, Jerome yang terkejut segera menggosok wajahnya dengan keras lalu berlalu dari hadapan Sasha dan Raga tanpa kata. Ia terlihat seperti orang kebingungan. "Lo gak pa pa?" tanya Raga sambil memeriksa tangan Sasha yang terlihat memerah. "Gak pa pa," sahut Sasha masih dengan ekspresi terkejut. Raga menggosok wajahnya dengan gusar, lalu duduk di bangku di depan Sasha. "Sorry gue telat dateng, harusnya gue nunggu lo di deket sini, tapi tadi gue malah ngerokok di luar," tukas Raga dengan wajah penuh penyesalan. Sasha yang masih tak mengerti apa yang terjadi menatap Raga dengan penuh tanda tanya. "Sebenernya ada apaan sih Ga? Kenapa lo mesti jagain gue? Jagain gue dari apaan? Kenapa juga Jerome mau nyelakai
"Gianna is gone Sha," ujar Gendis tepat saat Sasha menerima telepon. Sasha dan Raga sama-sama terdiam lalu saling tatap dengan wajah yang sangat terkejut. "Kapan Nyet?" tanya Sasha pelan, "Dua jam yang lalu, di Royal Hospital Melbourne. Gue tau dari Luke, ummm Daniel ngehubungin Luke barusan," terang Gendis agak ragu saat harus menyebut nama Daniel. Setelah berbicara mengenai detail kematian Gianna dengan Gendis, Sasha mematikan telepon. Ia terhenyak, merasa seperti sedang bermimpi. Ada rasa bersalah yang merasuki hatinya secara tiba-tiba. Raga yang mengerti arah pikiran Sasha menepuk bahu Sasha pelan, "Oi Sha, look at me!" tukas Raga membuat Sasha menoleh ke arah Raga, mata Sasha tampak sendu. Raga menghela nafas panjang, "Kita semua merasa kehilangan, tapi gue mau kasih tau lo satu hal, none of this is your fault, jangan merasa bersalah!" ujar Raga sambil menatap Sasha dalam. Sasha terdiam, lalu tiba-tiba saja air mata sudah mengambang di matanya dan mengalir deras membasahi pip
"Lho, Nyet? Lo kok di sini?!" Gendis yang sedang mengobrol dengan seorang wanita yang sepertinya teman kuliah Gianna tampak sangat terkejut saat tak sengaja melihat Sasha yang sedang berdiri mematung dengan wajah pucat pasi. Dengan sergap Gendis menghampiri Sasha, memegang telapak tangan Sasha yang sedingin es, lalu Gendis menatap ke arah Daniel yang sudah memalingkan pandangannya dari Sasha. Tanpa berkata apa-apa Gendis menarik Sasha ke teras samping, menjauh dari keramaian, menjauh dari Daniel dan jenazah Gianna. Gendis memegang kedua tangan Sasha, menatap Sasha dengan khawatir, "Nyet kalo lo gak sanggup mending lo keluar dari sini, yuk gue temenin," tukas Gendis yang tak sanggup melihat Sasha yang seperti mayat hidup. Sasha tak bereaksi, rasanya ia ingin mengkonfrontasi Daniel dan bertanya apa maksud Daniel bersikap seperti itu pada Sasha, apa salah Sasha? Namun Sasha tak mampu berkata dan bergerak sama sekali. Diam-diam Gendis mengirim pesan pada Raga yang sedang mengurus urus
Dua bulan kemudian.Seseorang menekan bel unit apartemen Sasha. Dengan gerakan cepat Sasha mengintip di lubang kecil yang berada di balik pintu dan mendapati seorang kurir surat sedang berdiri di depan. Sasha segera membuka pintu dan menerima amplop besar yang diberikan kepadanya. Jantung Sasha berdebar keras saat membaca bahwa surat tersebut dikirim oleh pengacara Sasha yang berada di Jakarta. Dengan perlahan Sasha membuka surat tersebut, surat putusan cerai dari pengadilan. Sasha menarik nafas panjang, selesai sudah semuanya. Ada yang mengganjal sampai sekarang di hati Sasha karena ia dan Daniel tidak pernah benar-benar berbicara sejak kejadian di Melbourne, tidak sekalipun. Kendati demikian, surat putusan cerai sudah berada di tangan Sasha sekarang. Itu artinya Sasha harus melepaskan segala hal yang mengganjal dan meninggalkan semua kenangan pahit itu jauh di belakang. *****"Sha, tolong ke ruangan saya sebentar ya, sekalian bawa print out presentasi yang kemarin kamu kirim ke s
"Sha, lo udah sampe?" tanya Raga tepat setelah Sasha sampai di bandara internasional Ataturk Turki. Sasha menjauh sedikit dari Jerome yang berjalan di depannya, "Iya udah sampe, pokoknya nanti gue kabarin, gue bakal baik-baik aja kok!" seru Sasha berusaha meyakinkan Raga yang terlalu khawatir. "Sha, get in," tukas Jerome seraya membuka pintu mobil. "Ga nanti gue telepon lagi ya, gue cabut dulu," ujar Sasha pada Raga, setelah itu Sasha mematikan telepon dan bergegas masuk ke dalam mobil. Setelah itu Sasha dan Jerome langsung menuju ke hotel tempat mereka akan menginap. Sepanjang perjalanan Jerome tampak berpaling menatap jendela, seperti orang yang sedang gelisah. Sampai di hotel hal yang membuat Sasha panik terjadi, tiba-tiba saja koper Sasha menghilang tanpa jejak. "Memang tadi tidak dimasukkan ke dalam bagasi Pak?" tanya Sasha kepada supir yang menjemput mereka. Supir tersebut mengatakan ia lupa dan meninggalkan koper Sasha di bandara. Namun saat supir itu kembali ke bandara, ia
Sasha turun dari taxi tepat di depan sebuah rumah yang seluruh catnya berwarna putih. Di depan rumah tampak sepasang pria dan wanita sedang menunggu kedatangan Sasha. Dengan langkah cepat Sasha melangkah mendekati mereka, wajahnya masih terlihat ketakutan. "Halo kamu pasti Sasha?" tanya teman Raga dengan ramah. Sasha mengangguk pelan. "Saya Arka, ini istri saya Anggi. Raga sudah cerita semuanya, silahkan masuk," tukas Arka ramah. Dengan sigap Anggi membimbing Sasha untuk masuk ke dalam. Setelah mengobrol sedikit dengan Arka dan Anggi, Sasha diantar masuk ke dalam kamar tamu. Sasha segera mandi dan berganti pakaian tidur yang dipinjamkan oleh Anggi. Dalam hening Sasha duduk di atas tempat tidur, kali ini ia benar-benar akan kehilangan pekerjaan lagi. Kenapa nasib baik sulit sekali berpihak padanya. Setelah ini Sasha harus segera kembali ke Indonesia jika tak ingin Jerome menguntitnya lagi. Mungkin Sasha harus memulai semua lagi dari awal, memikirkannya saja sudah membuat Sasha ingin
Empat Bulan Kemudian. Kehamilan Sasha sudah menginjak usia tiga puluh delapan minggu. Berat badannya sudah naik sekitar dua belas kilogram. Sasha mulai sering mengikuti senam kehamilan karena ia sangat berharap bisa melahirkan secara normal kali ini walaupun itu semua rasanya hampir tak mungkin karena sebelumnya ia melahirkan secara Caesar. Gendis sudah lebih dulu melahirkan seorang bayi tampan yang diberi nama Shawn, mereka sempat berkumpul untuk merayakan kelahiran Shawn, bahkan Daniel ikut bergabung secara online melalui video telekonferensi. Sasha dapat melihat Daniel sudah jauh lebih baik saat ini. Sepertinya ia sudah lebih bisa menerima keadaan. Sementara Evan akhirnya bisa memulangkan Allysa dan Ibunya ke Indonesia. Evan juga mengajak Sasha dan Raga bergabung bersamanya membuka bisnis restoran yang akan segera di buka beberapa bulan ke depan. Evan juga membeli rumah di dekat rumah Sasha agar Allysa bisa bermain bersama Katia dan agar Ibu Evan bisa membantu Sasha merawat Kati
"Gimana Van menurut kamu? Itu yang terbaik yang bisa saya dan Raga lakukan," tukas Sasha setelah menjelaskan semua rencananya pada Evan. Saat itu mereka berada di dalam ruang rawat inap rumah sakit Husada, tempat Sasha sedang menjalani rawat inap. Evan manggut-manggut, "Oke, that's a good idea, saya malah gak kepikiran," sahut Evan seperti biasa dengan nada datarnya. "Well okay, kalau gitu segera kita urus surat kuasanya, begitu Sasha sehat saya dan Sasha akan langsung ke Zurich," tandas Raga tak ingin berlama-lama karena ia ingin Sasha segera beristirahat. "Okay, kita bicarakan di luar aja, kamu istirahat aja Sha. Terimakasih ya," ucap Evan kaku lalu mengulurkan sekotak cokelat pada Sasha. Setelah itu Evan keluar mengikuti Raga yang sudah lebih dahulu melangkah keluar. Sasha tertawa kecil melihat tingkah kaku Evan, dalam hati Sasha bertanya-tanya, bagaimana orang seperti Evan bisa membesarkan seorang putri seperti Allysa. *****Satu minggu kemudian. "Waaaahhh dingin banget!" seru
"Sha! Sha!" lamat-lamat suara Raga terdengar di telinga Sasha. Sasha membuka matanya perlahan, aroma Lavender menyeruak masuk ke indera penciumannya. Biasanya aroma tersebut akan memenangkannya, tapi kali ini aroma Lavender kesukaan Sasha sama sekali tidak dapat menenangkan hatinya. "Sha, kamu udah sadar?" ujar Raga dengan nada khawatir. Sasha dapat melihat Raga yang berdiri di sebelah kanannya dan Reina yang berdiri di sebelah kirinya, Sasha sampai bingung akan mengalihkan pandangan kemana, karena Sasha sedang tak ingin melihat keduanya. "Sha? Kamu bisa denger aku kan?" tanya Raga yang bingung karena bahkan setelah sadar Sasha tidak mengatakan apa-apa. Sasha mengangguk pelan, masih enggan membuka mulut. "Sasha, tadi kamu pingsan, tekanan darah kamu rendah sekali, HB kamu juga rendah, sepertinya kamu perlu dirawat paling tidak sampai HB kamu normal," tukas Reina dengan nada profesional. Sasha hanya diam saja, ia memilih untuk memejamkan mata karena tak ingin menatap Raga ataupun Re
"Sayang, jangan lupa hari ini kita check up lho!" seru Sasha sebelum Raga berangkat ke kantor. Raga mengerlingkan sebelah matanya tanda mengiyakan. Setelah Raga berangkat kerja, Sasha melakukan rutinitas yang setiap hari ia lakukan secara berulang-ulang. Membereskan piring sisa sarapan, menyedot debu, membereskan semua kamar dan membereskan baju yang akan dibawa ke laundry.Ponsel Sasha berdering saat Sasha sedang bersantai sambil menikmati secangkir cokelat panas.Sebuah nomor yang tak dikenal. "Halo?" sapa Sasha santai. "Sasha, this is Evan," sebuah suara yang sangat Sasha kenal menyapa. Sasha langsung meletakkan cangkirnya, "Evan? Oh Hai! Jadi gimana?" tanya Sasha antusias, ia sangat ingin membantu Evan, karena Sasha tak tega melihat kehidupan Evan yang terlihat sangat kesulitan sekarang ini."Can I talk with your husband too, sebenarnya saya merasa kurang nyaman kalau kita harus berkomunikasi tanpa ijin dengan suami kamu," tukas Evan datar. Wajah Sasha memerah, bukankah seharusnya
Tiga bulan kemudian.Kehamilan Sasha mulai menginjak usia lima bulan. Berat badannya sudah bertambah sekitar empat kilogram membuat Sasha merasa sangat tidak nyaman karena bajunya mulai banyak yang tidak muat. “Kenapa sih Sha marah-marah terus?” tanya Raga yang melihat Sasha sedang berdecak kesal karena bahkan celana longgar yang biasa ia kenakan tidak muat juga. “Sebel! Celana yang ini juga gak muat!” seru Sasha seraya membuka kembali celana yang sudah dipakainya sampai ke paha. Raga tertawa, “Kan aku udah bilang, belanja baju baru gih! Kamu alasannya saying uang terus,” ledek Raga sambil mengancingkan kemejanya.Sasha menekuk wajahnya,”Ya kan aku gak tau kalau berat badan aku bakal naik secepat ini,” ujar Sasha sebal. “Ya udah belanja gih, ajak Gendis aja! Berangkatnya sekalian sama aku,” tukas Raga seraya menoleh menatap Sasha yang masih menggerutu. “Beneran?” tanya Sasha, semenjak ia memutuskan untuk stay at home dan tidak bekerja, ia selalu bersalah jika harus mengeluarkan uang u
Sasha berdiri di lobby Penthouse sambil melamun menatap pilar besar. Ia teringat perpisahan terakhirnya dengan Daniel tadi, tiba-tiba dadanya menjadi agak sesak. Tapi paling tidak hanya kenangan indah yang tersisa, ia berharap Daniel akan mendapatkan kebahagiaan seperti dirinya. "Cantik!" panggil Raga dari balik kemudian saat mobilnya sampai di lobby Penthouse. Sasha langsung tersadar dari lamunannya dan tersenyum pada Raga, suaminya, tempatnya pulang. "Gimana kabar Daniel?" tanya Raga sambil mengemudi. Sasha menghela nafas panjang, "Dia keliatan jauh lebih baik, lebih sehat, kayaknya Olin ngejalanin tugasnya dengan baik!" sahut Sasha santai. Ia tak ingin terlalu menunjukkan jika ia masih sangat peduli dengan Daniel. "Wah bagus dong, semoga dia cepet balik kayak dulu ya, kayaknya Luke udah keteteran pegang LPC karena dia mesti urus perusahaan dia yang di Bali," tukas Raga. Sasha terdiam, menatap mobil yang melaju di depannya. "Daniel mau pindah ke Oslo, dia gak akan urus LPC lagi,"
Malam harinya saat Sasha kembali ke rumah, Raga terlihat tertidur di sofa ruang TV. Sementara di karpet, Jasmine dan Katia terlihat sedang menonton film. "Ssssttt," Jasmine meletakkan ibu jari di mulutnya saat Sasha nyaris membuka mulut. "Baru tidur tuh Kak Raga, kecapean kayaknya," tukas Jasmine sambil mengambil paper bag yang dibawa Sasha. "Wah cheese cake! Kakak dari mana?" tanya Jasmine sambil mengeluarkan cheese cake dari papar bag. "Abis ngobrol sama Kak Gendis, kalian udah makan?" tanya Sasha seraya meletakkan tas tangannya ke atas sofa. "Udah! Tadi Kak Raga bikin nasi goreng!" jawab Katia riang. "Oh ya? Enak gak?" tanya Sasha. "Banget!" sahut Jasmine dan Katia bersamaan, membuat Sasha mau tak mau tersenyum. Ia berjongkok di depan Raga, lalu meniup-niup wajah Raga pelan. Raga membuka matanya perlahan, "Eh, udah pulang sayang?" ujar Raga dengan wajah terkejut. Raga meregangkan tubuhnya lalu bangkit dari tidurnya. "Capek ya?" tanya Sasha seraya duduk di sebelah Raga. "Lumayan,
Dua Bulan Kemudian. Tubuh Sasha masih saja ramping walaupun kehamilannya sudah menginjak usia kandungan delapan minggu. Hari ini adalah jadwal kontrol rutin bulanan Sasha ke dokter Reina. Bulan lalu ia tidak kontrol karena merasa belum perlu, namun karena belakangan Sasha mulai sering merasa pusing dan blackout ia memutuskan untuk check up segera ke klinik dokter Reina. Dengan ditemani oleh Raga, Sasha berangkat menuju klinik dokter Reina. Hari adalah hari kerja sehingga pasien dokter Reina tidak begitu banyak. Sasha sudah hampir melupakan pesan yang ia duga dikirimkan oleh dokter Reina. Karena Raga tidak merespon pesan romantis itu, Sasha memutuskan untuk melupakannya saja. Walaupun demikian Sasha tetap merasa perlu tampil cantik dan menarik di depan dokter Reina agar ia tidak diremehkan. Ia ingin mempertegas bahwa Raga adalah miliknya, suaminya, ayah dari janin dalam kandungannya! "Sha, kamu gak pa pa? Kok kayak lagi mikir gitu sih?" tanya Raga yang melihat Sasha sedang melamun
Malam ini Sasha memutuskan untuk pulang ke rumah, ia sempat berpamitan dengan Daniel, namun Daniel hanya memunggunginya dan Raga tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Olin, saya titip Pak Daniel ya, kalau ada apa-apa do let me know, kamu udah save nomor saya kan?" tanya Sasha yang dijawab angguka sopan oleh Olin. Langkah Sasha terasa berat saat meninggalkan Penthouse. Meninggalkan Daniel dalam keadaan terpuruk seperti sekarang tentu saja tidak mudah bagi Sasha. Namun berada di dekat Daniel hanya akan membuat semuanya menjadi bertambah rumit. Sasha sama sekali tak ingin tahu lagi alasan mengapa Daniel mencampakkannya waktu itu. Ia benar-benar akan mengubur semua rasa ingin tahu itu jauh-jauh. Pernikahannya dengan Raga adalah hal yang jauh lebih penting. Raga selalu tampak sabar di depan Sasha walaupun Sasha tahu sebenarnya Raga cukup cemburu dengan Daniel. "Kita mampir ke Gandy's ya, aku mau beliin steak buat Jasmine dan Katia," tukas Raga sambil mengemudi. Hati Sasha dialiri rasa han