Elena tersenyum tipis, melihat ekspresi kekesalan yang tercetak jelas di wajah Delisa. sebenarnya dia tak ingin menyakiti siapapun, tetapi sikap dingin Delisa padanya, membuatnya kesal. Itu membuat Elena, sedikit memanfaatkan posisinya di pesta ini. “Elena, calon istri Alvaro,” kata Elena, sambil mengulurkan tangan ke Delisa. Elena sengaja membuat nadanya terdengar dibuat-buat, dia pun menunjukkan sikap sebagaimana dia bertindak seperti calon istri Alvaro yang sebenarnya. Bahkan wanita itu tak merasa risih saat mengalungkan kedua tangannya di leher Alvaro, menatap penuh cinta dengan senyum mesra pada pria yang selalu dia hindari itu. Sedangkan Alvaro, hanya menatap penuh arti, dengan senyum samar menikmati semua permainan yang dilakukan Elena. “Saya akan pergi, ambil minum, “ kata Delisa, mengabaikan uluran tangan Elena dan pergi. Elena berdecih, tetapi dia tersenyum puas karena merasa menang. Tingkah nakal Elena itu membuat Alvaro gemas, hingga memukul pantat wanita itu.
Elena menyelipkan tangannya ke belakang leher Alvaro, menariknya hingga jarak di antara mereka tak lagi ada. Dia mencium bibir Alvaro dengan penuh hasrat kembali, hingga membuat pria itu lupa akan janjinya. Alvaro memeluk Elena erat, membalas ciumannya dengan penuh intensitas. Saat Alvaro hendak melangkah lebih jauh menjelajah tubuh Elena, suara Jose terdengar dari luar. Alvaro tersentak, menghentikan aksinya. Dia menjauhkan wajahnya, menahan rintihan Elena yang masih menginginkannya. "Tuan, saya membawa dokter seperti yang Anda minta." Alvaro segera berdiri, dia mengatur napasnya, untuk meredam gejolak di dalam dirinya. Sesaat dia menatap Elena yang masih menggeliat gelisah, dengan desahan yang menggelitik hasrat Alvaro. “Shit!” Dia berjalan ke pintu dan membukanya dengan cepat. Jose berdiri bersama seorang pria berusia sekitar lima puluhan dengan jas putih, membawa tas medis kecil di tangannya. "Dokter akan memeriksa Nyonya Elena," jelas Jose. "Masuk," ujar Alvaro singka
“Elena! Buka sekarang!” Alvaro menggedor pintu kamar Elena keras. .Di dalam kamar, Elena duduk diam di tepi tempat tidur, memeluk lututnya. Gedoran semakin keras, membuatnya tak punya pilihan. Dengan napas bergetar, dia melangkah ke pintu dan membukanya perlahan.Begitu pintu terbuka, Alvaro langsung masuk, menutup pintu dengan keras. Dia berdiri tegak di depan Elena yang kembali duduk di tepi tempat tidur.“Apa maumu?” suara Alvaro dingin, kedua tangannya berkacak pinggang.“Aku hanya ingin sendiri,” jawab Elena, tidak berani menatapnya.“Sendiri?” ulang Alvaro mendekat, berdiri tepat di depannya.“Kenapa kau peduli?” balas Elena dengan nada bergetar.Alvaro menunduk sedikit, menatap Elena tajam. Netranya melirik ke atas meja, di mana telah tersaji makanan untuk Elena. “Keras kepala!” Olok Alvaro.“Ini semua karenamu! Kamu tidak bisa memegang u…” jawab Elena terputus. Karena sebelum Elena menyelesaikan kalimatnya, tanpa aba-aba, pria itu tiba-tiba menangkap wajah Elena dengan ke
Elena duduk diam di kursi belakang mobil, sambil menatap jendela. Langit biru yang cerah dan hiruk-pikuk kota tidak cukup menarik perhatiannya. Pikirannya masih berputar pada kejadian semalam. Dia mencoba mengingat apapun yang bisa diingat, tentang kejadian semalam. Tetapi sekeras apapun dia mencoba, dia tak bisa mengaitkan potongan-potongan ingatan yang muncul di ingatannya itu. Meski dia tak yakin telah terjadi sesuatu, tapi kenapa Alvaro tak menjelaskannya dengan jelas. Sedangkan dirinya, sudah terlanjur panik dan menuduh pria itu. Siapapun pasti akan shock mendapati dirinya yang tak mengenakan sehelai benang pun dengan pria yang tertidur di sampingnya. Apalagi pria itu, selalu mengincar kesuciannya itu. “Apakah aku keterlaluan dengannya?” batin Elena, sambil menggigit ujung kuku. Dia melirik Jose yang sedang fokus menyetir. Sesuatu dalam hatinya mendorongnya untuk bertanya pada pria yang kini sedang fokus menyetir. barangkali, pria ini tahu sesuatu tentang kejadian semalam
Elena segera masuk ke toko barang antik itu. Aroma kayu tua dan debu memenuhi ruangan, tetapi ada sesuatu yang hangat dan menarik dari tempat ini. Mata Elena menyapu deretan barang-barang kuno yang berjajar rapi. Pandangannya berhenti pada sebuah benda yang dipajang di sudut ruangan. “Ini dia,” gumam Elena, sambil berjalan mendekat. Seorang pria tua yang sepertinya pemilik toko muncul dari balik rak. “Selamat datang, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” “Bisa saya lihat itu,” kata Elena sambil menunjuk benda di sudut ruangan yang menyita perhatiannya. “Tentu saja!” Pemilik toko itu, melangkah mendekat dan mengambil barang yang diminta Elena. Elena tersenyum, tetapi tak lama wajahnya memucat saat pria itu mengatakan harga barang itu. “Lima ribu dolar, ini barang antik buatan tangan dengan detail yang sangat rumit,” kata pemilik toko itu dengan nada percaya diri. “Boleh kurang?” tanya Elena, penuh harap. Pemilik toko tersenyum ramah, tetapi tegas menolak. “Maaf, Nyonya
Mata Elena terbelalak. Tenggorokannya tercekat. Tubuhnya sampai terhuyung, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana bisa Alvaro ada di sini? Bukankah dia seharusnya bersama Don Moretti? “Elena,” panggil Alvaro dengan suara rendah, tetapi cukup membuat tubuh Elena merinding. Elena menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu, jika Alvaro tahu dia kabur tanpa izin, konsekuensinya akan sangat berat. Tetapi dia tidak punya pilihan. Ibunya membutuhkan dia. “Ngapain di sini?” tanya Alvaro, tatapannya tajam menghujam. Elena melangkah mendekat dengan hati-hati. Dia tahu, ini situasi yang rumit. Jika Alvaro masuk ke kamar ibunya, semuanya bisa berantakan. “Tuan Alvaro,” bisik Elena, suaranya hampir tak terdengar. “Saya tahu, saya salah. Saya hanya ingin bertemu ibu saya. Saya akan menjelaskan semuanya nanti, saya janji. Saya akan menerima hukuman dari anda.” Alvaro terdiam, ekspresinya datar, masih menata Elena dengan tajam, seolah mencoba membaca pikirannya. “Lima menit
Elena segera menuruni anak tangga menuju kamar pria itu. Dia tak punya pilihan, selain menurut. Karena dia tahu bahwa dia telah melakukan kesalahan. Saat ini mungkin pria itu sedang tidak dalam mood yang baik, jadi Elena tak mau menyulit kemarahannya. Meski dalam hati dia sangat menolak keputusannya untuk pindah ke kamar pria itu. Satu rumah dengan pria itu saja cukup membuat sesak, apalagi dalam satu kamar. Elena bergidik ngeri.Dia menghela napas dalam, lalu menarik kenop pintu itu, melangkahkan kakinya ke dalam. Matanya beredar ke seluruh ruangan yang didominasi warna hitam itu. Aura di kamar ini, begitu dingin seperti pemiliknya. Elena duduk di tepi tempat tidur, tak tahu harus melakukan apa. Saat dia akan beranjak, kembali ke pintu. Alvaro membuka pintu itu. “Mau ke mana?”“Aku…akan mandi, aku mau ambil pakaianku.”Elena menjawab tanpa melihat Alvaro. Pria itu mendekat dua langkah. “Pakaianmu ada di sini,”katanya.Elena memberanikan diri menatap pria itu. Ada sesuatu yang m
Tanpa menunggu jawaban, Alvaro berbalik, meninggalkan ruangan.“Berhenti!” seru Elena tiba-tiba.Langkah Alvaro terhenti di ambang pintu. Ia tak menoleh, hanya menunggu.“Kenapa kamu begitu kejam, Alvaro?” Elena mendekat beberapa langkah, suaranya bergetar. “Bukankah kamu juga punya ibu? Yang juga seorang wanita. Bagaimana perasaanmu jika dia diperlakukan seperti aku?”Alvaro akhirnya menoleh, wajahnya mengeras. “Bukan urusanmu.”Elena mendekat, menatapnya penuh kebencian. “Oke itu memang bukan urusanku, tetapi kenapa aku? Bukankah di pesta itu ada wanita yang menyukaimu? Kenapa bukan dia? Dia pasti akan dengan senang hati menjadi istrimu! Dan kalian sangat serasi sekali.”Alvaro mendesah pendek. “Diam, Elena.”Elena mendongak, air mata menggantung di pelupuk matanya. “Kalau ini soal hutang Vincent, aku bisa bekerja! Aku akan mencicilnya!”Alvaro tertawa kecil, sarkastik. “Lucu sekali.”“Mencicil, 20 miliar?”Wajah Elena memerah, tangannya terkepal erat. “Kamu selalu meremehkan aku! Y
“Kamu yakin? Tidak takut?”“Aku sudah lama membiarkannya, ini saatnya menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa dia injak seenaknya.”Alvaro hanya tersenyum tipis mendengar kalimat yang keluar dari bibir wanita di sampingnya itu. Begitu mobil berhenti di depan gedung perusahaan, Alvaro segera keluar lebih dulu. Dengan langkah tenang, ia membuka pintu untuk Elena, membuat wanita itu menatapnya sesaat.“Keluar,” ucap Alvaro singkat.Elena menghela napas, lalu turun dari mobil. Saat mereka melangkah masuk, Jose dan beberapa pengawal berjalan di belakang mereka.Begitu sampai di lantai tertinggi gedung ini. Sebelum masuk ke ruangan Alvaro. “Jose.”“Ya, Tuan?”“Ajari dia pekerjaanmu.”Jose menatap Elena sekilas sebelum kembali menatap Alvaro, memastikan ia tidak salah dengar. “Maksud Tuan, saya harus mengajarkan pekerjaan saya kepada Nyonya?”Alvaro mengangguk tanpa ragu. “Ya.”Elena mengernyit. “Tunggu, maksudmu aku bekerja dengan Jose?”Alvaro yang semula hendak melangkah ke ruangannya,
Keesokan paginya, Elena terbangun dalam pelukan Alvaro. Pria itu mendekapnya. Karena masih kesal semalam, Elena perlahan beringsut mengubah posisi menjadi membelakangi. Namun, tak disangka Alvaro menyadari gerakannya. Sehingga saat dia berhasil mengubah posisi. Alvaro kembali mendekapnya dari belakang. “Masih marah?” Bisiknya pelan. Elena diam, tak ingin bicara. Alvaro semakin mendekatkan tubuh Elena dalam pelukannya. “Sudah pagi, aku harus pergi.”“Kemana pagi-pagi?”“Bekerja, aku sadar aku cuma wanita simpanan yang bisa kamu buang kapan saja.”Elena hendak bangun, tetapi tubuhnya ditarik kembali oleh Alvaro. “Kita pergi bersama.”“Tidak perlu,” ucap Elena, ketus.Akhirnya Alvaro menyerah, dan membiarkan Elena pergi dari pelukannya. Berdebat dengan wanita itu saat marah tak akan bisa menang. Karena itu, dia memberikan Elena waktu untuk meredakan kemarahannya. Saat melihat Elena masuk ke dalam kamar mandi, Alvaro mengambil ponselnya di atas nakas. “Bagaimana?”“Kami sudah dapat
Pyar!Botol bir di tangannya dihantamkan ke meja kaca, pecahannya berhamburan ke lantai. Wanita-wanita di samping pria itu menjerit kecil dan mundur, sementara para pengawal langsung menodongkan pistol ke arahnya.Alvaro tetap berdiri tegak, menatap pria tua itu dengan mata dingin.Tidak ada yang berani menarik pelatuk lebih dulu.Mereka tahu siapa Alvaro.Pria yang berdiri di depan mereka bukan sekadar seorang pengusaha muda yang sedang naik daun. Dia adalah sosok yang namanya bergema di dunia bisnis. Orang yang tidak akan ragu mengotori tangannya jika diperlukan.Pria tua itu menghela napas panjang, lalu memberikan isyarat dengan satu gerakan tangan. Seketika, para pengawalnya menurunkan pistol mereka, meskipun tatapan mereka masih penuh kewaspadaan."Jadi benar, kau lemah karena wanita itu?"Alvaro mencengkeram kerahnya dan menariknya mendekat."Omong kosong!" suaranya rendah, penuh ancaman. "Aku tak butuh bisnismu."Pria itu mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah memberi isya
Delisa menatap layar ponselnya dengan sorot mata penuh kebencian. Foto-foto Alvaro dan Elena dari informan yang disewanya terpampang di atas meja.“Seharusnya aku yang ada di sana… Seharusnya aku yang dia tatap seperti itu…” gumamnya dengan suara bergetar.Tangannya mengepal erat. Sudah cukup lama menahan diri, berharap Alvaro akhirnya melihatnya, memilihnya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya—Elena muncul dan merebut tempat yang seharusnya menjadi miliknya.Tidak lagi.Jika Alvaro tidak bisa menjadi miliknya, maka Elena juga tidak boleh memilikinya.Delisa tahu bahwa Alvaro bukan pria yang mudah dipermainkan. Dia tidak bisa langsung menyerang Elena secara fisik, itu terlalu berisiko. Jadi, ia memutuskan untuk menyerang dari sisi lain, yaitu kepercayaan Alvaro.“Dasar wanita jalang, kita lihat apakah Alvaro masih mau denganmu.”Malam itu juga, Delisa menghubungi seorang. “Aku punya pekerjaan untukmu,” katanya dengan nada dingin.Pria di seberang telepon tertawa kecil.“Baik.”***Ha
Elena memutar bola matanya, berusaha mengabaikan cara Alvaro menatapnya. Ia tahu pria itu sedang mencoba menggodanya lagi, dan ia tidak akan membiarkan dirinya terjebak begitu saja.Elena mengernyit. “Al, pinggangku hampir patah karena ulahmu. Tidak lagi, lagi pula lukamu belum sembuh benar. Kamu ingin aku mengganti perbanmu lagi?”Alvaro menarik napas pelan, lalu dengan satu tarikan lembut, ia membuat Elena kembali terduduk di tepi ranjang, tepat di sampingnya. Tatapan matanya yang intens membuat Elena sulit untuk berpaling."Ini salahmu.""Salahku? Bagaimana bisa?"Alvaro mulai meraba bibir Elena lembut, “kamu membuatku candu."Elena menelan ludah, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Ia ingin marah tetapi entah kenapa dia merasa tersanjung dengan pujian pria itu. Melihat Elena hanya diam, Alvaro tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya untuk menyelipkan helai rambut yang jatuh di wajahnya. “Aku tahu kamu khawatir.”Elena mendesah, akhirnya memalingkan wajahnya. “Kamu
Alvaro menatap Elena dengan intens, seolah mencoba membaca pikirannya. Tatapannya tajam, penuh rasa ingin tahu, tetapi Elena tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang. “Iya, dia mengkhawatirkanmu,” ucapnya santai. “Dia bertanya tentang keadaanmu dan memintaku untuk menjagamu.” “Hanya itu?” tanyanya kembali. Seolah-olah dia tak puas dengan jawaban yang diberikan Elena barusan. Alvaro terdiam sesaat, menatapnya tanpa ekspresi yang jelas. Suasana di antara mereka sedikit canggung, seakan ada sesuatu yang menggantung di udara, tetapi Elena berusaha mengabaikannya. “Beristirahatlah,” katanya akhirnya, bangkit dari tempat tidur. “Aku akan menyiapkan makanan untuk kita.” Namun, sebelum ia bisa melangkah pergi, Alvaro tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menariknya kembali ke tempat tidur dengan gerakan cepat. Elena tersentak saat mendapati dirinya terduduk di pangkuannya, wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Hawa panas tubuh Alvaro begitu dekat, membuat jantungnya ber
Alvaro menatap Elena dengan lembut, sesuatu yang jarang terlihat darinya. Walau tubuhnya masih lemah, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.Pria itu menatapnya tanpa berkata-kata. Hening menyelimuti ruangan, hanya suara mesin medis yang berbunyi pelan.Lalu, tiba-tiba, Alvaro mengulurkan tangannya yang lemah ke arah Elena. Jangan pergi dariku."Elena terdiam. Kata-kata Don kembali terngiang di benaknya. "Jika kau benar-benar mencintainya, tinggalkan dia."Tapi, saat menatap Alvaro yang masih menunggunya dengan tatapan serius, dia tahu… dia tidak bisa melakukannya.Perlahan, Elena menggenggam erat tangan Alvaro."Aku…tidak akan pergi," bisiknya.Dia menghela napas panjang sebelum akhirnya berdiri. "Aku akan keluar sebentar," katanya.Alvaro menatapnya sebentar, seolah enggan membiarkannya pergi, tapi akhirnya mengangguk. "Jangan lama-lama."Elena hanya tersenyum kecil sebelum melangkah keluar dari ruangan, menutup pintu di belakangnya dengan pelan.Begitu Elena pergi, Jose masuk ke
Elena membeku di tempat. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya bertemu dengan sosok yang berdiri di depan pintu—seorang pria paruh baya dengan tatapan tajam, penuh wibawa.Don.Ayah Alvaro.“Mari kita bicara,” suara Don terdengar dalam dan penuh otoritas.Elena menelan ludah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Di dalam ruangan, Alvaro masih terbaring lemah. Dia tidak ingin pergi jauh, tapi tatapan Don memberinya isyarat bahwa dia tidak punya pilihan.“Baik,” jawabnya pelan.Don berbalik, melangkah dengan tenang menuju lorong rumah sakit. Elena ragu sejenak sebelum akhirnya mengikuti di belakangnya.Ketika mereka sampai di area yang lebih sepi, Don berhenti dan berbalik menatapnya.“Apa kamu mencintainya?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.Elena mengerjap. Dia bisa merasakan ketegangan yang begitu kuat dari cara pria itu menatapnya."Aku..." Dia menarik napas, mencoba mengumpulkan keberanian.“Jika iya, tinggalkan dia.”Mata Elena terbelalak, hatinya seolah berhenti berd
Bab 68 - Elena tersentak, dia mendengar perintah Alvaro dengan jelas. Tetapi tubuhnya membeku di tempat. Semua terjadi begitu cepat, pria bersenjata lain langsung mengangkat pistol mereka.DOR!Tembakan pertama melesat, nyaris mengenai Alvaro yang dengan cekatan menjadikan tubuh pria yang tadi diserangnya sebagai perisai. Darah muncrat saat peluru menghantam dada pria itu, membuatnya limbung sebelum jatuh tak bernyawa.“Lari!” Alvaro mengulang perintahnya lebih keras, tapi Elena masih terpaku.Salah satu pria menodongkan pistol ke arahnya.DOR!Elena menjerit dan memejamkan mata, namun tubuhnya tetap utuh. Saat membuka mata, yang dilihatnya justru Alvaro—berdiri di depannya, dadanya tertembus peluru.Tubuh Alvaro tersentak ke belakang, nafasnya tercekat. Darah dengan cepat merembes dari luka di dada kirinya, mengalir membasahi kemeja yang dikenakannya.Elena menjerit, “ALVARO!”Tatapannya nanar saat melihat tubuh pria itu melemah. Alvaro masih berdiri, tapi lututnya tampak goyah. Tan