Perkataan Vermont membuat Richard bangkit dari duduknya karena terkejut, tepatnya pura-pura terkejut agar lebih meyakinkan pria itu bahwa Richard tidak setuju dengan ucapannya. Bos Mafia ini sudah tahu apa yang akan dikatakan Vermont, pria tersebut pasti tidak akan menyetujui hubungan dia dengan Callista setelah tahu pekerjaan Callista. Agar lebih meyakinkan sang ayah, Richard harus bersikap seolah-olah dia menentang. Dengan begitu dirinya bisa membuktikan bahwa dia mencintai orang lain daripada orang yang sudah diputuskan oleh Vermont untuknya. Ya, walaupun semua itu hanya akting belaka agar perjodohan dengan Ornella tidak pernah terjadi.
Melihat reaksi Richard, semuanya menoleh ke arah dia. Richard pun berkata, “Kau tidak bisa memutuskan seenaknya! Aku yang akan menikahi dia, bukan dirimu!”
“Kau adalah anakku dan juga bagian dari ValHolitz serta bermarga Holtzman, sebagai seorang ayah sekaligus pemilik utama ValHolitz dan Holtzman Group, aku berhak
Vermont membuang napas mendengar perkataan Ornella. Dia meminta agar makan malam dilanjutkan lagi setelah itu menyuruh Richard membawa kekasihnya ke suatu tempat di rumah ini. Ada hal yang ingin dibicarakannya dengan Ornella. Setelah makan malam, Richard pun membawa Callista pergi dari ruang makan ke kamar tidurnya yang berada di lantai dua. Kini mereka berada di dalam sana dan saling terdiam satu sama lain.Mata Callista melihat ke seluruh ruangan itu, tidak banyak furniture dan barang penting. Callista yakin kalau Richard jarang pulang dan hanya tinggal di tempat lain atau di markas ValHolitz. Di ruangan tersebut juga tercium aroma parfum yang sama yang saat ini dipakai oleh Richard.Sekarang Callista sedang terduduk di kursi tunggal, sedangkan Richard melihat ke arah jendela tanpa mengatakan apapun. Tiba-tiba saja Callista bertanya, “Aku mengatakan kebohongan kepada ayahmu, apakah hal ini akan baik-baik saja? Aku hanya mengikuti alur yang sudah kau buat dan te
Callista dan Richard pun sampai di markas ValHolitz. Setelah meminta izin kepada Vermont, mereka segera kemari menggunakan mobil Richard. Sesampainya di sana, mereka pergi menuju ke ruangan di mana Alberto berada. Tentu saja banyak pertanyaan yang terlintas di benak Callista. Kenapa Alberto ke sini? Apa tujuan pria itu? Kenapa harus datang langsung? Dia sangat ingin tahu. Pasti ada suatu alasan yang membuat Alberto datang ke markas ValHolitz. Tidak lama kemudian, mereka sampai di ruangan itu dan tampaknya Alberto sedang terduduk di sofa. Ketika kedua orang ini masuk, Alberto tampak berdiri. Wajahnya terkejut apalagi ketika melihat keberadaan Callista yang berdiri di samping Richard. “Untuk apa kau datang kemari?” tanya Callista dengan nada tidak suka. Ada perasaan aneh yang dia rasakan saat ini setelah mendengar Alberto datang ke sini. Alih-alih menjawab, Alberto malah balik bertanya, “Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau bersamanya?” Callista tidak menjawab. Tidak mau situasi
“Kenapa kau berkata begitu kepada orang itu hah? Kau kira dia akan setuju dengan cara kau datang secara langsung? Jangan harap! Kita sudah membahas hal ini dan aku sangat menolak apa yang kau mau! Jangan melakukan hal seenaknya apalagi berkata kau mengizinkan aku untuk bersama dia! Kau bersikap seakan-akan kau ini bodoh, Pak tua. Bisa-bisanya datang tanpa mengatakan apapun kepadaku dan membicarakan hal naif. Bukankah kau sendiri sudah tahu kalau aku tidak mau? Kenapa kau tetap datang? Apakah kau sangat ingin mencuri informasi ValHolitz dengan menggunakan aku? Jika kau memang sangat ingin, datanglah sendiri ke sana!”Callista sangat marah kepada Alberto. Kemarin sang bos datang ke markas ValHolitz tanpa mengabari apapun dan membicarakan sesuatu hal yang tidak perlu. Kalau saja Callista tidak ada, entah pembicaraan seperti apa yang akan dilontarkan Alberto dengan Richard. Mungkin saja ucapannya akan membuat Bos ValHolitz menyetujuinya.Tentu saja kehadirannya
Alberto tertawa membuat Callista mengerang dengan kesal. Bagaimana tidak? Tawa pria itu seakan-akan sedang mengejeknya. Callista mencoba untuk memberontak, tapi ikatan tali itu cukup kencang. Alih-alih terlepas, pergelangan tangannya menjadi sakit.“Menyesal ya? Hahaha … jika ku ingatkan lagi bagaimana berjasanya aku, apakah kau akan mengatakan hal yang sama?” tanya Alberto. Callista enggan menjawab, dia hanya menatap pria itu dengan tatapan tajamnya. “Jangan lupakan siapa aku, Zouch. Aku sudah pernah memberitahumu, pastinya kau ingat apa yang aku katakan tempo hari, kan? Penyesalanmu itu hanya karena emosimu saat ini, aku yakin kau tidak akan mengatakan hal yang sama setelah mengingat apa yang ku lakukan kepadamu. Ingat itu!”Untuk kesekian kalinya, Callista dibuat naik pitam. Dia meneriaki Alberto dengan kata-kata kasar. Sayangnya, Alberto malah pergi dan memerintahkan orang yang ada di ruangan ini untuk keluar. Callista kebingungan den
Callista membuka matanya secara perlahan. Mata kirinya yang terasa sakit membuat dia meringis kesakitan, dirinya hanya bisa membukanya sedikit. Sementara mata kanannya baik-baik saja. Wajah Callista sudah sangat babak belur, ada lebam serta luka di mana-mana. Pelipisnya berdarah, mata kiri bengkak, dan darah yang keluar dari hidung atau mulutnya. Anggota The Crow Hunters tampaknya tidak main-main, mereka benar-benar memukul Callista tanpa hati. Padahal dia seorang wanita, tapi tetap saja dipukul hingga babak belur seperti ini. Bahkan tubuh dia juga dibuat kesakitan.Callista dapat merasakan kalau darah yang ada di hidungnya terus mengalir, serta rasa sakit yang luar biasa. Ditambah kepalanya terasa sakit akibat pukulan. Wanita ini pun membuang darah yang ada di mulutnya. Dia mencoba untuk melepaskan ikatan itu yang membelenggu pergelangan tangan dan kaki, tapi tidak bisa karena saking kuatnya mereka mengikat dia.“Kau sudah bangun, Zouch?” Tiba-tiba saja te
Callista menundukkan kepalanya seusai berkata begitu. Dia sudah memutuskannya walau hatinya belum yakin, tapi semua keputusan itu demi orang tuanya agar tidak dibunuh oleh The Crow Hunters. Dia sudah mengambil keputusan ketika melihat bagaimana raut wajah ayah dan ibunya ketika mereka berbicara, dia tidak mau melihat keduanya dibunuh tepat di depannya. Jika hal tersebut terjadi, mungkin Callista akan mengamuk dan tidak terkendali. Bisa saja dia membalaskan dendamnya kepada Alberto. Sayangnya, dia tidak memilih hal itu.Callista memilih untuk merelakan masa depan yang sudah dia rencanakan. Menikah dengan orang yang tidak terlibat dengan kriminal, menikmati hidup tanpa dikejar polisi, ataupun memiliki keluarga yang bahagia. Semua itu harus dia buang jauh-jauh demi orang tuanya. Tentu saja dia tidak akan melupakan keegoisan Alberto, dia sangat dendam dengan pria itu. Karenanya, Callista harus menikah dengan bos mafia. Entah bagaimana masa depannya nanti, Callista tidak tahu. Bah
“Zouch!” seru seseorang membuat Callista menoleh. Fritz dan anggota tim Chasseurs datang ke ruang bawah tanah setelah mereka melihat pintu ruangan ini terbuka. Mereka segera menghampiri wanita itu dan membantunya berdiri.“Tubuhku tidak bisa digerakkan karena terlalu lama diikat,” kata Callista.“Kami akan membawamu ke ruang medis,” ucap Justin. Callista hanya menganggukkan kepalanya. Dia pun dibawa ke ruang medis untuk mendapatkan perawatan.Setelah diperiksa oleh perawat di sana dan wajahnya bersih dari darah, tim Chasseurs pun masuk ke dalam untuk melihat kondisi Callista. Wanita itu tampak melamun seraya menatap ke langit-langit ruangan. Bahkan tidak sadar kalau rekan timnya masuk ke dalam ruang medis. Fritz memberanikan diri dengan menyentuh lengan Callista hingga dia menolehkan kepalanya.“Aku baik-baik saja, Fritz,” kata Callista. Dia mengerti dengan tatapan khawatir yang ditunjukkan oleh temannya.
Callista mendengkus kesal setelah mendengar nasihat dari Florence. Wanita itu sudah pergi dari kamarnya, Callista pun merebahkan dirinya ke atas kasur. Dia menatap langit-langit ruangan. Sebenarnya dia memikirkan apa yang dikatakan oleh sang ibu angkat, dirinya juga tidak mau seperti ini. Namun dia terpaksa melakukannya agar bisa menenangkan diri. Memang benar dia melarikan diri dari masalah, tapi bukan berarti dia akan berlari terus menerus. Dia hanya ingin membuat hatinya jauh lebih tenang dengan berada di tempat yang sepi, tanpa diganggu siapapun dan tanpa dibuat emosi oleh seseorang.Kedatangannya ke rumah Florence juga bukan semata-mata untuk melarikan diri, dia ingin membuat rencana yang bagus dalam suasana sepi. Apalagi kota yang dia datangi tidak sepadat Kota Napoli. Ditambah tidak ada yang mengenalnya, dengan begitu tempat ini sangat cocok untuknya merancang rencana. Walaupun dia sendiri merasa kalau sia-sia saja melakukan hal tersebut, apalagi musuhnya jauh lebih ku