“Kenapa kau berkata begitu kepada orang itu hah? Kau kira dia akan setuju dengan cara kau datang secara langsung? Jangan harap! Kita sudah membahas hal ini dan aku sangat menolak apa yang kau mau! Jangan melakukan hal seenaknya apalagi berkata kau mengizinkan aku untuk bersama dia! Kau bersikap seakan-akan kau ini bodoh, Pak tua. Bisa-bisanya datang tanpa mengatakan apapun kepadaku dan membicarakan hal naif. Bukankah kau sendiri sudah tahu kalau aku tidak mau? Kenapa kau tetap datang? Apakah kau sangat ingin mencuri informasi ValHolitz dengan menggunakan aku? Jika kau memang sangat ingin, datanglah sendiri ke sana!”
Callista sangat marah kepada Alberto. Kemarin sang bos datang ke markas ValHolitz tanpa mengabari apapun dan membicarakan sesuatu hal yang tidak perlu. Kalau saja Callista tidak ada, entah pembicaraan seperti apa yang akan dilontarkan Alberto dengan Richard. Mungkin saja ucapannya akan membuat Bos ValHolitz menyetujuinya.
Tentu saja kehadirannya
Alberto tertawa membuat Callista mengerang dengan kesal. Bagaimana tidak? Tawa pria itu seakan-akan sedang mengejeknya. Callista mencoba untuk memberontak, tapi ikatan tali itu cukup kencang. Alih-alih terlepas, pergelangan tangannya menjadi sakit.“Menyesal ya? Hahaha … jika ku ingatkan lagi bagaimana berjasanya aku, apakah kau akan mengatakan hal yang sama?” tanya Alberto. Callista enggan menjawab, dia hanya menatap pria itu dengan tatapan tajamnya. “Jangan lupakan siapa aku, Zouch. Aku sudah pernah memberitahumu, pastinya kau ingat apa yang aku katakan tempo hari, kan? Penyesalanmu itu hanya karena emosimu saat ini, aku yakin kau tidak akan mengatakan hal yang sama setelah mengingat apa yang ku lakukan kepadamu. Ingat itu!”Untuk kesekian kalinya, Callista dibuat naik pitam. Dia meneriaki Alberto dengan kata-kata kasar. Sayangnya, Alberto malah pergi dan memerintahkan orang yang ada di ruangan ini untuk keluar. Callista kebingungan den
Callista membuka matanya secara perlahan. Mata kirinya yang terasa sakit membuat dia meringis kesakitan, dirinya hanya bisa membukanya sedikit. Sementara mata kanannya baik-baik saja. Wajah Callista sudah sangat babak belur, ada lebam serta luka di mana-mana. Pelipisnya berdarah, mata kiri bengkak, dan darah yang keluar dari hidung atau mulutnya. Anggota The Crow Hunters tampaknya tidak main-main, mereka benar-benar memukul Callista tanpa hati. Padahal dia seorang wanita, tapi tetap saja dipukul hingga babak belur seperti ini. Bahkan tubuh dia juga dibuat kesakitan.Callista dapat merasakan kalau darah yang ada di hidungnya terus mengalir, serta rasa sakit yang luar biasa. Ditambah kepalanya terasa sakit akibat pukulan. Wanita ini pun membuang darah yang ada di mulutnya. Dia mencoba untuk melepaskan ikatan itu yang membelenggu pergelangan tangan dan kaki, tapi tidak bisa karena saking kuatnya mereka mengikat dia.“Kau sudah bangun, Zouch?” Tiba-tiba saja te
Callista menundukkan kepalanya seusai berkata begitu. Dia sudah memutuskannya walau hatinya belum yakin, tapi semua keputusan itu demi orang tuanya agar tidak dibunuh oleh The Crow Hunters. Dia sudah mengambil keputusan ketika melihat bagaimana raut wajah ayah dan ibunya ketika mereka berbicara, dia tidak mau melihat keduanya dibunuh tepat di depannya. Jika hal tersebut terjadi, mungkin Callista akan mengamuk dan tidak terkendali. Bisa saja dia membalaskan dendamnya kepada Alberto. Sayangnya, dia tidak memilih hal itu.Callista memilih untuk merelakan masa depan yang sudah dia rencanakan. Menikah dengan orang yang tidak terlibat dengan kriminal, menikmati hidup tanpa dikejar polisi, ataupun memiliki keluarga yang bahagia. Semua itu harus dia buang jauh-jauh demi orang tuanya. Tentu saja dia tidak akan melupakan keegoisan Alberto, dia sangat dendam dengan pria itu. Karenanya, Callista harus menikah dengan bos mafia. Entah bagaimana masa depannya nanti, Callista tidak tahu. Bah
“Zouch!” seru seseorang membuat Callista menoleh. Fritz dan anggota tim Chasseurs datang ke ruang bawah tanah setelah mereka melihat pintu ruangan ini terbuka. Mereka segera menghampiri wanita itu dan membantunya berdiri.“Tubuhku tidak bisa digerakkan karena terlalu lama diikat,” kata Callista.“Kami akan membawamu ke ruang medis,” ucap Justin. Callista hanya menganggukkan kepalanya. Dia pun dibawa ke ruang medis untuk mendapatkan perawatan.Setelah diperiksa oleh perawat di sana dan wajahnya bersih dari darah, tim Chasseurs pun masuk ke dalam untuk melihat kondisi Callista. Wanita itu tampak melamun seraya menatap ke langit-langit ruangan. Bahkan tidak sadar kalau rekan timnya masuk ke dalam ruang medis. Fritz memberanikan diri dengan menyentuh lengan Callista hingga dia menolehkan kepalanya.“Aku baik-baik saja, Fritz,” kata Callista. Dia mengerti dengan tatapan khawatir yang ditunjukkan oleh temannya.
Callista mendengkus kesal setelah mendengar nasihat dari Florence. Wanita itu sudah pergi dari kamarnya, Callista pun merebahkan dirinya ke atas kasur. Dia menatap langit-langit ruangan. Sebenarnya dia memikirkan apa yang dikatakan oleh sang ibu angkat, dirinya juga tidak mau seperti ini. Namun dia terpaksa melakukannya agar bisa menenangkan diri. Memang benar dia melarikan diri dari masalah, tapi bukan berarti dia akan berlari terus menerus. Dia hanya ingin membuat hatinya jauh lebih tenang dengan berada di tempat yang sepi, tanpa diganggu siapapun dan tanpa dibuat emosi oleh seseorang.Kedatangannya ke rumah Florence juga bukan semata-mata untuk melarikan diri, dia ingin membuat rencana yang bagus dalam suasana sepi. Apalagi kota yang dia datangi tidak sepadat Kota Napoli. Ditambah tidak ada yang mengenalnya, dengan begitu tempat ini sangat cocok untuknya merancang rencana. Walaupun dia sendiri merasa kalau sia-sia saja melakukan hal tersebut, apalagi musuhnya jauh lebih ku
“Aku tidak peduli dia menyukaiku atau tidak, yang pasti aku yakin kalau dia menginginkan sesuatu dariku. Entah apa itu, aku harus berhati-hati dengannya. Oh iya, ada kemungkinan dia tahu tentang pelaku yang sudah membunuh Fernando.” Perkataan Callista membuat Florence terkejut. Callista tidak pernah memberi tahu hal itu, jelas saja kalau wanita ini kaget dengan perkataannya.“Kalau kau memiliki bukti dia tahu pelakunya, maka kau memang harus berhati-hati, Callista. Aku tidak mau kau salah mengambil langkah, karena sedikit saja kau melakukan kesalahan, nyawamu akan berada di genggamannya,” balas Florence.Callista menghentikan aktivitasnya lalu menoleh, “Maka dari itu jangan mudah percaya dengannya. Kita tidak tahu rencana apa yang sedang dia sembunyikan dariku. Meski muak, aku ingin mendekatinya agar bisa tahu tentang si pelaku.”“Baiklah. Aku percaya denganmu. Tetaplah berhati-hati!” Callista hanya menganggukkan k
“Kau mengancamku? Apakah kau takut dan malu kalau memberi tahu kami? Jujur saja! Kau pasti malu, kan? Hukuman itu pantas kau dapatkan karena kesalahanmu sendiri. Seharusnya bos membuatmu trauma!” geram Vittoria membuat Callista naik pitam.Dengan gerakan cepat, wanita itu langsung menyingkirkan meja lalu menutup mulut Vittoria dengan kencang. Semua orang yang ada di ruangan ini terkejut melihat reaksi Callista. Ditambah mereka kaget karena Callista bergerak begitu cepat. Vittoria juga sama, dirinya sampai mematung ketika Callista berada di depannya.“Tidak bisakah kau diam hah? Kenapa kau senang sekali mengurusi hidup orang lain? Apakah kau ingin mulutmu itu ku jahit agar diam?” tanya Callista dengan nada pelan tetapi penuh penekanan. Vittoria menggelengkan kepalanya. Callista pun menjauhkan diri dan duduk lagi di kursi yang dia duduki tadi.Tampak Callista begitu emosi, hanya saja emosinya tertahan dan tidak meledak. Wajahnya sampai meme
Ancaman yang keluar dari mulut Callista membuat Fritz mendengkus kesal. Sebenarnya dia ingin melakukan sesuatu untuk membantu sang teman, rupanya Callista sudah tahu apa yang dipikirkan Fritz. Ancaman itu hanya agar Fritz tidak melakukan suatu hal yang membahayakan Fritz di belakang Callista. Wanita ini tidak mau temannya mengalami kejadian mengerikan yang sama seperti waktu itu.“Kau sudah kehilangan indera pengecapmu, aku tidak mau kau kehilangan bagian tubuh yang lain,” lanjut Callista. Fritz menyerah, pria itu menganggukkan kepalanya dan membalas kalau dia tidak akan ikut campur. Namun kalau sesuatu terjadi kepada Callista, Fritz ingin Callista meminta bantuannya. Tentu saja wanita tersebut menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Fritz.Setelah pembicaraan itu, mereka saling diam satu sama lain. Fritz memikirkan ucapan Callista yang masih membuatnya bertanya-tanya dan bingung. Dengan gerakan tanya, Fritz mempertanyakan apakah Callista dipaksa oleh Alber