“Antonio Baldev Sing.”
Tendero melemparkan tubuh tidak berdaya Antonio yang sudah babak belur di tangannya itu ke lantai dingin di mana darah yang keluar dari pria itu tampak mengotori lantai ruangan tersebut. Ruangan yang selalu dijadikan Tendero sebagai tempat eksekusi untuk musuh-musuh atau para penghianat yang tertangkap olehnya.
Sudah banyak nyawa melayang di tempat itu dan hari ini adalah giliran Antonio untuk menyerahkan nyawanya pada sang iblis kejam dan tidak berperasaan dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan Tendero.
Raut wajah Tendero saat ini terlihat tanpa ekspresi sama sekali. Sorot matanya tajam dan bengis dengan bibir menipis, belum lagi dengan aura membunuh yang keluar dari pria itu semakin mengintimidasi sosok Antonio yang sudah tidak berdaya di bawah Tendero.
“Maaf... Maafkan saya tuan... Mo... Mohon ampuni saya,” ucap Antonio memoh
Kanisa membuka kedua matanya, menatap kosong langit-langit kamarnya. Perasaanya saat ini tengah campur aduk, dia lalu melirik Tendero yang terbaring tidur di sebelahnya dengan tatapan kosong.Kejadian semalam yang menimpahnya pun kembali terulang di benaknya. Kanisa memejamkan matanya berusaha mengusir setiap bayangan kejadian yang sudah dilaluinya bersama pria kejam di sebelahnya itu. Pria itu, Tendero kembali menjamah tubuhnya tanpa ampun. Kemarahan dan kebencian di dalam diri Kanisa terhadap Tendero pun semakin meningkat namun dia berusaha menekan semua itu.Menyesal atau pun menangisi dirinya yang selalu berakhir dilecehkan oleh pria di sebelahnya itu pun sudah tidak ada gunanya lagi. Kanisa benar-benar tidak tahu harus seperti apa lagi untuk menghadapi sosok di sebelahnya itu.Kanisa bangun dari posisi tidurnya dan pergi ke kamar mandi. Memutuskan
Tubuh Tendero menegang saat dia merasakan sensasi dingin dan tajam itu akhirnya menusuk perutnya. Bau anyir bercampur besi pun menyeruak tercium oleh hidungnya. Tangan Tendero bergerak menangkup perut bagian kananya yang mengeluarkan banyak sekali darah. Mata Tendero terlihat memerah dan berkaca-kaca meski begitu dia tetap menampilkan seulas senyum tulusnya kepada Kanisa yang berdiri mematung beberapa meter dihadapannya. Wanita itu terlihat membelalak lebar, air matanya terlihat jatuh dari matanya. Kejadian tidak terduga dan sangat cepat itu membuat Kanisa diserang syok dan juga panik hebat. Orang bertopeng yang berdiri di belakang Tendero itu pun semakin dalam menusukan belatinya ke pinggang Tendero sebelum akhirnya dia menarik kasar belati itu, Tendero pun seketika langsung ambruk. Kanisa terlihat berlari menghampiri Tendero dan menyanggah tubuh pria itu yang semakin lemas tidak berdaya. Tangis Kanisa semakin tidak terkendali, dengan t
“Hah.”Seketika Kanisa terbangun dari tidurnya, nafanya memburu dengan dada yang naik turun. Dia lantas bangkit duduk. Mengusap wajahnya yang berkeringat dan kedua sudut matanya yang basah seolah dia baru saja menangis. Kanisa menatap jam di dekatnya yang ternyata baru saja menunjukan pukul sepuluh malam. Setelah itu Kanisa terdiam melamun, memikirkan mimpi yang baru saja dia dapatkan.“Apa maksudnya coba aku mimpi seperti itu?” batin Kanisa, kepalanya pun terasa pening seketika. Kanisa pun memijit pelan keningnya untuk meredakan rasa pening yang dia rasakan itu.Beberapa kali Kanisa menarik nafas panjang berusaha menenangkan dirinya dan juga debaran di jantungnya yang meningkat tidak normal.Tendero, mendadak nama itu pun terlintas dibenak Kanisa. Menelan kasar salivannya Kanisa merasakan jantungnya kembali berdetak semakin cepat. Mendadak pula dirinya merasa resah dan bingun
Kanisa terlihat merenung memikirkan kata-kata nyonya Elsa dulu dan juga Netra. Dia berdiri di dekat jendela, di mana jendelanya sengaja Kanisa buka sehingga angin malam masuk ke dalam kamarnya.Kanisa menatap langit gelap di atas sana, helaan nafas panjang beberapa kali keluar darinya.“Haruskah aku memaafkan dia, memaafkan semua kesalahannya?”“Aku juga tidak ingin terus-terusan berada di dalam situasi seperti saat ini. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan tuhan.”Kanisa bersidekap, menyenderkan kepalanya ke kusen jendela di sampingnya tanpa melepaskan pandangannya dari langit.“Aku sudah memutuskan, aku akan berusaha berdamai dengan masa lalu dan berusaha memperbaiki hubunganku dengannya. Meski ini mungkin akan sulit tapi aku akan mencoba,” putus Kanisa pada akhirnya.***
“Apa tuan yakin akan melancarkan aksi sekarang?” tanya Kahan.Tendero yang sedang melihat-lihat pistol dan senjatanya itu melirik ke arah Kahan.“Tentu saja. Aku sudah menunggu saat-saat ini dengan begitu lama dan sekarang mana mungkin aku akan menyia-nyiakan waktu pembalasanku begitu saja,” balas Tendero lantas meraih salah satu pistol dan menatap intens pistol digenggamannya.“Tapi tuan. Ini terlalu terburu-buru, kita perlu rencana yang mata jika ingin mengalahkan tuan Lexan.”Terlihat jelas Kahan saat ini tengah khawatir. Dia tak henti-hentinya memperingati Tendero untuk membatalkan niatnya yang terburu-buru dan menyuruhnya untuk berpikir ulang, menyusun taktik dengan sempurna sebelum melancarkan aksinya yang akan membalas dendam kepada Lexan. Tian mungkin masih bisa mereka tangani dengan mudah tapi Lexan. Tidak, kekuatan yang dimiliki pria i
Hujan turun dengan deras disertai dengan kilatan petir yang menyambar-nyambar, silih bersahutan di langit malam gelap. Angin pun bertiup semakin kencang membuat pepohonan yang ada meliuk-liuk akibat terpaan angin.Sementara itu di sebuah rumah mewah bergaya klasik, terlihat beberapa orang berpakaian serba hitam dan memakai topeng menyeramkan— menyelinap masuk ke dalam rumah tersebut. Tak lain dan tak bukan mereka adalah Tendero dan juga anak buahnya.Keadaan rumah saat itu terlihat gelap. Semua penghuni rumah itu tampaknya tengah tertidur pulas di kamar mereka masing-masing. Gelapnya rumah membuat mereka semakin mudah untuk menyelinap masuk ke dalam tanpa terlihat.Tendero yang berjalan paling depan memberi isyarat kepada anak buahnya yang berada di belakang untuk berpencar yang mana perintahnya itu pun langsung dilaksanakan oleh anak buahnya tersebut. Mereka pun mulai berpencar ke setiap penjuru ruangan yang ada d
“Kanisa, aku... Aku minta maaf,” ucap Tendero yang tengah sekarat dipangkuan Kanisa, pria itu menatap Kanisa dengan sendu, dia tersenyum kacil. Tangannya yang berlumur darah bergerak menyentuh pipi Kanisa lalu setelah itu Tendero pun menghembuskan nafas terakhirnya, seketika itu pula Kanisa langsung terbangun dari tidurnya dengan panik dan gelisah serta merasa takut akan mimpi yang baru saja dia alami.Mimpi itu benar-benar berhasil menghantui Kanisa membuatnya jadi tidak bisa tenang.“Itu hanya mimpi, tisak akan menjadi kenyataan,” sangkal Kanisa sembaring mengelap keringat di keningnya.Meski berkali-kali Kanisa berusaha keras menyangkal mimpi itu tapi hatinya tetap merasa tidak tenang, gelisah dan takut bercampur menjadi satu.“Apa yang harus aku lakukan untuk menghilangkan perasaan ini,” gerutu Kanisa menggigit jari kukunya. Dia terdiam berpikir untuk beberapa
“Berani sekali kau menyerangku dari belakang,” teriak pria bule, tinggi dan berkulit putih itu. Lexan, pria itu memandang marah kepada Tendero yang berdiri dihadapannya, pria itu baru saja meninjunya secara tiba-tiba di saat Lexan tengah lengah membuat Lexan jadi tidak sempat mengantisipasi serangan Tendero.Tendero mendecih, tatapan dendam terlihat berkobar di kedua mata pria itu, tanpa menunggu lagi Tendero kembali menyerang Lexan, kali ini Lexan pun tidak tinggal diam. Dia balas menyerang Tendero dan berusaha mengimbanginya.Kedua pria itu pun terlibat perkelahian yang sangat sengit di tengah-tengah pesta yang tengah berlangsung disebuah club malam. Semua pengunjung yang hadir terlihat ketakutan, mereka saling menjerit, berlarian keluar dari club untuk menghindari perkelahian yang tengah berlangsung.Tidak hanya Lexan dan Tendero saja yang bertarung secara sengit dengan menggunakan kekuatan mereka. Para an