Mendapat kelengahan dari Putra Mahkota Pisceso karena terbuai dengan senyum manis Tabib Virgolin, Roxy tak membuang kesempatan. Secepat kilat tubuhnya meloncat ke rimbunnya ilalang dan menghilang raib dalam sekejap.Bul dan Jul melakukan hal yang sama. Berlari pontang panting masuk ke dalam rimbunnya ilalang mengikuti pemimpinnya."Mereka kabur!" teriak Virgolin kencang. "Cepat! Cepat kejar!"Tatapan Pisceso begitu tajam melihat ke arah rimbunnya ilalang, tapi ketiga orang tersebut sudah tidak terlihat lagi. "Mereka sudah pergi jauh!" Airin ikut bersuara. "Percuma dikejar juga. Mereka takkan terkejar."Apa yang dikatakan Airin benar, Pisceso juga tidak mungkin meninggalkan Virgolin demi mengejar Roxy dan kedua anak buahnya itu. Virgolin merasa lega, nyawanya tidak terancam lagi. Bergegas mendekati Pisceso untuk melihat tangannya yang terluka.Pisceso meringis, tangannya terasa perih bahkan pedang yang sedang dipegangnya jatuh."Tanganmu harus segera diobati!" Virgolin meraih tangan
"Takdir yang membawaku ke tempatmu," jawab Pisceso. "Aku sudah lupa.""Bagaimana mungkin kau bisa lupa!" Virgolin tak percaya."Lebih baik hanya aku saja yang mengetahui tentang duniamu," ucap Pisceso pelan, semakin sedikit orang yang tahu, semakin aman kamu tinggal di dunia ini."Virgolin menghela napas, mengerti dengan apa maksud ucapan Pisceso. "Ok, baiklah!"Pisceso bangun dari duduk. "Lebih baik kita segera pulang ke istana sebelum hari berganti gelap.""Aku tidak mau pulang ke istana! Aku akan melanjutkan lagi perjalanan ku ke pintu cahaya langit bersama Airin!""Pergi ke sana sangat berbahaya jika kita hanya bertiga saja. Apa kamu lupa dengan kejadian barusan?" tanya Pisceso mencoba untuk memberi pengertian. "Iya betul tabib, saya setuju dengan pendapat Putra Mahkota Pisceso. Jika kita hanya bertiga saja pergi ke sana, itu akan sangat berbahaya. Apalagi putra mahkota tangannya terluka. Siapa yang akan melindungi kita kalau terjadi sesuatu seperti tadi?! Bertemu dengan orang-
Putra Mahkota Pisceso berhenti dari langkahnya ketika melihat rombongan prajurit melintas tak jauh darinya."Pisceso, lihat!" tunjuk Virgolin. "Bukankah itu prajurit Voresham?""Mereka mau ke mana?!" tanya Airin. "Apa ada masalah di istana?!" duga Virgolin. Pisceso nampak berpikir lalu melihat pada Virgolin. "Kita harus segera sampai di istana! Sepertinya istana sedang ada masalah.""Masalah? Masalah apa?!" tanya Virgolin. "Entahlah!" Pisceso kemudian naik ke atas punggung kudanya, si Pigo. "Airin, lindungi tabib agung!" Setelah itu Pisceso memacu kudanya menuju ke arah rombongan prajurit yang telah pergi jauh.Hiaaat! Hiaat!Virgolin dan Airin hanya bisa berdiri menatap Pisceso yang semakin pergi menjauh tanpa sempat bertanya."Kita duduk di sana!" tunjuk Airin pada pohon rindang. Keduanya berteduh di bawah rindang pohon, duduk meluruskan kaki di atas rumput menunggu Putra Mahkota kembali lagi. "Virgolin. Dugaanku ternyata benar," ucap Airin mengawali percakapan."Dugaan apa?!"
Ratu Eleanor menyambut Virgolin dengan ramah begitu juga dengan Raja Theodore."Bagaimana kabarmu?!" tanya Ratu Eleanor setelah duduk menghadap meja makan yang terbuat dari ukiran kayu. "Kabarku sangat baik nyonya," jawab Virgolin. "Kami semua cemas memikirkan tabib," ucap Ratu Eleanor. "Semua prajurit dikerahkan untuk mencarimu ke setiap pelosok tempat, tapi tetap tabib tidak ditemukan. Untung saja putra mahkota bisa menemukan mu."Virgolin melihat Pisceso yang duduk di sampingnya. "Putra Mahkota dan aku bertemu tanpa sengaja." "Putraku sudah menceritakan semuanya. Lain kali tabib harus memikirkan baik-baik jika ingin ke luar dari istana. Di luar sana banyak orang jahat," ucap Ratu Eleanor. "Kami sangat cemas akan hal itu.""Iya nyonya," jawab Virgolin jadi merasa bersalah karena Ratu Eleanor begitu sangat mencemaskan dirinya.Acara makan malam pun dimulai, tidak ada yang bicara lagi. Para dayang yang bertugas menyiapkan dan menyajikan makanan dengan telaten melayani ke empat oran
Pagi-pagi, Airin sudah rapi. Langkah kakinya begitu terburu-buru menuju ke pondok di mana Tabib Agung Virgolin berada. "Aduh!" "Eh, maaf," Airin melihat seorang wanita hampir saja terjatuh karena bertabrakan dengan dirinya. "Kamu jalan tidak pakai mata!" semprotnya pada Airin. "Aku jalan pakai kaki," jawab Airin santai. "Mataku untuk melihat."Mendapat jawaban seperti itu, wanita tersebut tidak terima. "Kurang ajar kau! Bukannya minta maaf, malah mencari masalah denganku!""Aku tadi sudah minta maaf," jawab Airin tak mau kalah. Wanita tersebut melihat Airin dari atas sampai bawah. "Kau dayang baru di sini, berani sekali kau bicara seperti itu padaku!"Airin menatap kesal pada wanita tersebut, "aku tadi sudah minta maaf. Memangnya kau tak mendengar.""Kurang ajar!" gertak wanita tersebut. "Kau tidak tahu bicara dengan siapa, hah?!" Airin heran melihat wanita tersebut. "Seperti yang kau katakan tadi, aku dayang baru di sini, jadi aku tidak tahu siapa kau. Memangnya kau siapa?!" M
Tak lama kemudian masuk Emi membawa nampan yang berisi beberapa buah cangkir yang terbuat dari tanah liat. Rose yang pertama melihat kedatangan Emi langsung datang mendekat. "Cangkir darimana itu?!""Dari tempat latihan prajurit. Masih banyak cangkir kotor di sana, tapi hanya ini yang bisa aku bawa," jawab Emi."Biar nanti aku bantu ambil cangkir kotor dari sana," ucap Rose.Deegh!Kedua bola mata Emi bertabrakan dengan kedua bola mata Airin yang berdiri tak jauh darinya. Rose yang menyadari akan ada situasi panas antara Airin dan Emi segera mendekati Airin. "Bukankah kamu akan mengambil sarapan untuk tabib agung? Cepatlah ambil, nanti makanannya dingin tidak enak untuk disantap!""Iya," jawab Airin."Di sana tempat peralatan makan yang bisa kau pakai," tunjuk Rose ke dalam salah satu lemari kayu yang ada di sudut ruangan. Airin langsung mengambil peralatan makan. Dengan lincah tangannya mengambil satu-satu makanan dan dimasukkan ke dalam wadah-wadah kecil yang juga terbuat dari ta
Emi sangat senang dengan kedatangan Flor. Teman masa kecilnya yang telah pindah ke luar desa karena orangtuanya harus mengurus ternak yang diwariskan dari kakek Flor yang telah meninggal karena sakit. "Jadi kamu mau tinggal lagi di desa itu?!" tanya Emi. "Iya. Orangtuaku tidak tahu harus berbuat apa untuk mencari makan karena semua ternak mendadak mati semua. Jadi orangtuaku memutuskan untuk pulang lagi ke desa itu. Untunglah, rumah yang dulu kami tinggalkan tidak kami jual jadi kami bisa tinggal lagi di rumah itu.""Aku senang sekali mendengarnya. Sekarang aku punya teman untuk bercerita lagi," ucap Emi berbinar. "Memangnya kau tidak punya teman?!" tanya Flor."Temanku hanya beberapa orang saja di istana ini. Kamu tahu sendiri bukan, bagaimana persaingan antar dayang di istana ini," jelas Emi."Kalau kau tidak nyaman berada di istana ini, kenapa tidak ke luar dari dayang? Kau bisa mencari pekerjaan lain di luar istana ini. Misal kau bekerja di tempat makan atau kau berkebun," sara
Wajah Putra Mahkota Pisceso terlihat menyiratkan kebingungan."Kalau kau ingin pergi, pergilah. Aku tidak punya hak melarang seorang putra mahkota yang mencemaskan rakyatnya untuk tidak pergi," ujar Virgolin. "Kalau kamu ingin ikut, kamu boleh ikut," ucap Pisceso. "Tadinya aku berpikir, istana ini lebih aman melindungi dirimu daripada di luar sana. Tapi jika kamu ingin ikut, kamu boleh ikut. Kita bisa menunggu sampai pintu cahaya langit terbuka kembali.""Aku boleh ikut?!" tanya Virgolin kaget langsung menatap iris mata Pisceso.Seeerrr ,,,Jantung Pisceso berdesir ketika iris matanya ditatap Vitgolin. Berjuta gemuruh langsung mengisi seluruh dadanya disertai perasaan hangat menyelinap ke dalam hatinya."Hai!" tegur Virgolin mendapati Pisceso hanya diam saja menatapnya. "Kok malah diam?!"Pisceso langsung mengalihkan pandangan, wajahnya bersemu merah. "Kamu boleh ikut, tapi ,,,,""Tapi apa?!""Kamu harus belajar naik kuda," jawab Pisceso. "Tidak mungkin kita menunggangi kuda bersama.
Pisceso semakin memeluk erat tubuh Virgolin. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."Kedua tangan Virgolin memeluk erat pinggang Pisceso. "Benarkah semua akan baik-baik saja?!" tanyanya bersuara serak di antara isak tangis. "Semua akan baik-baik saja," bisik Pisceso. Walau sejujurnya, dirinya juga tidak tahu, apa mungkin akan baik-baik saja setelah hatinya mulai jatuh cinta pada Virgolin. "Bagaimana, kalau tidak baik-baik saja?!" tanya Virgolin lirih. Pisceso tak menjawab. Kedua tangannya semakin erat memeluk tubuh Virgolin. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatinya. "Pisceso," Virgolin merenggangkan pelukannya. Menghapus air mata yang telah membasahi pipi. Pisceso menatap dalam iris mata Virgolin yang masih tergenang air mata. "Jika nanti, aku sudah pulang ke duniaku, jangan pernah lupakan aku," bisik Virgolin, diakhiri bulir-bulir air bening yang jatuh dari kelopak mata.Hati Pisceso terenyuh. Aliran darah di seluruh nadinya seakan berhenti. "Aku tidak mungkin bisa melu
Tatapan Pisceso beralih pada plastik kotor yang dipegang Virgolin. "Benda apa yang kau pegang?!" "Bukan apa-apa," jawab Virgolin. "Hanya sampah."Pisceso tak percaya begitu saja. Plastik kotor yang ada di tangan Virgolin diambilnya. "Itu plastik obat," ucap Virgolin pelan, bahkan suaranya nyaris tak terdengar. Pisceso diam, menunggu kelanjutan bicara Virgolin. "Tempat ini ,,," Virgolin menjeda ucapan, menelan saliva. Entah kenapa, tenggorokannya terasa kering. Pisceso mengangkat kedua alisnya, menunggu kelanjutan kalimat Virgolin."Dari tempat ini, aku tahu kemana arah jalan menuju ke pintu langit," sambung Virgolin.Deg!Pisceso tertegun. "Aku bahkan sangat hapal, kemana jalan menuju pintu langit," lanjut Virgolin. Membalikan badan, melihat ke sekeliling, kemudian tatapannya berhenti pada satu arah. "Kesana," tunjuknya.Pisceso mengikuti arah tangan Virgolin. Memang benar, jalan itu adalah jalan arah di mana pintu cahaya langit berada, tapi apa mungkin pintu langit itu akan ter
Pisceso mengajak Virgolin menikmati keindahan air terjun yang ada di Desa Padi. Suara gemuruh dan percikan air yang menimpa batu membuat takjub Virgolin. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. "Lihat! Banyak ikan kecil di sini!" tunjuk Virgolin pada aliran sungai yang berada di bawah kakinya. "Cepat kemari, Pisceso!" Suaranya kencang menyatu bersama suara gemuruh air terjun. Pisceso datang mendekat. "Kita tangkap ikannya!" pinta Virgolin. "Lebih baik biarkan ikannya besar terlebih dahulu, ikan itu masih terlalu kecil," larang Pisceso. "Iya sih, masih sangat kecil." Virgolin setuju. "Ayo, kita ke sana!" ajaknya. "Kita duduk di batu besar itu." Pisceso dengan senang hati mengikuti kemauan Virgolin. Diraihnya tangan Virgolin agar tidak terjatuh disaat berjalan di antara batu-batu kecil yang terhampar di tepian sungai. Batu cukup besar menjadi tempat duduk mereka berdua. Suara gemuruh air terjun begitu kontras, seirama menyatu bersama angin.Virgolin tak berkedip menatap jatuhn
Perih dipunggung semakin menjalar. Darah yang keluar dari luka semakin banyak. Roxy bahkan merasakan penglihatannya mulai tidak jelas. Keseimbangan tubuhnya pun tidak stabil.Melihat Roxy terlihat limbung, Pisceso memberi isyarat pada prajuritnya agar menangkap Roxy. "Gawat. Mataku, kenapa dengan mataku ini?" hati kecil Roxy bertanya-tanya sendiri. Pedang yang dipegangnya pun mulai terlihat buram.Prajurit dengan sigap mengepung Roxy, tapi jiwa pemberontak Roxy tak membiarkan dirinya ditangkap begitu saja. Walau penglihatan sudah tak begitu jelas, Roxy masih tetap melawan bahkan dengan membabi buta mengayunkan pedangnya ke segala arah. Trang! Clang! Clang!Suara pedang yang beradu mengisi udara di ruangan yang temaram. Roxy masih lincah menangkis mata pedang dari para prajurit yang mengepungnya bahkan dua orang prajurit berhasil terkena sabetan pedangnya. Pisceso memberi perintah agar prajuritnya mundur. Senyum kemenangan terukir di bibir Roxy. "Kalian pikir karena tubuhku terluka
Krieeet,,,Pintu kembali didorong dari luar. Roxy secepat kilat bersembunyi di kolong tempat tidur.Airin kembali masuk membawa wadah yang berisi makanan. Diletakkan di atas meja kecil samping teko air. Sejenak melihat Virgolin kemudian pergi lagi keluar dari kamar. Roxy mengelus dada lega. "Untung tidak ketahuan. Sialan si dayang itu, bolak balik masuk ke kamar. Lama-lama, aku bunuh juga si dayang itu!"Setelah melihat keadaan aman, Roxy keluar dari tempat persembunyiannya. Virgolin masih terlelap tidur dibuai mimpi, tidak tahu kalau dirinya dalam keadaan terancam. Dengkuran halusnya terdengar berirama keluar dari bibirnya."Baguslah, tidurnya sangat nyenyak. Ini akan memudahkan aku untuk membawanya pergi," gumam Roxy bersiap akan membuat Virgolin pingsan dengan memukul bagian tengkuknya. Bruuugh!Pintu kamar tiba-tiba dibuka kasar dari luar. Putra Mahkota Pisceso melesat masuk ke dalam kamar. Duugh!Tendangan kaki Pisceso mendarat sempurna dipunggung Roxy sampai tubuhnya tersun
Duarr!Petir menggelegar seakan ingin membelah langit setelah cahaya kilat muncul menyilaukan setiap mata."Untung kita sudah sampai. Hujannya deras sekali!" tutur Virgolin melihat turun hujan dari jendela kamar yang terbuka. "Iya. Pantas saja, cuaca sangat terik, ternyata mau turun hujan," ujar Airin. Virgolin merenggangkan otot. "Tulang pinggangku pegal. Aku ingin berbaring.""Istirahat saja. Aku juga akan istirahat di kamarku," ucap Airin. "Kalau tabib perlu sesuatu, panggil saja aku."Pintu kamar ditutup rapat oleh Airin dari luar. Virgolin segera naik ke atas tempat tidur yang sangat sederhana. Tubuh lelahnya telentang. Sejenak menatap langit-langit, tak lama kemudian dengkuran halus keluar dari bibirnya sebagai tanda Virgolin telah pergi ke alam mimpi. Sementara itu, Pisceso masih bersama Jidan dan sesepuh dari Desa Padi. Semuanya berkumpul di ruang tengah ditemani teh hangat dan beberapa potong singkong serta ubi rebus yang masih mengeluarkan uap panas. "Tabib dari langit m
Walau menggunakan peralatan seadanya dan membuat obat pembasmi hama hanya berdasarkan kemampuan yang Virgolin miliki karena dasarnya memang bukan dari bidang pertanian, tapi Virgolin melakukan semuanya dengan penuh keseriusan demi membantu rakyat yang sudah lama dilanda kelaparan karena serangan hama wereng.Beberapa orang diminta Virgolin mencari daun sirsak, karena daun sirsak mempunyai bau yang sangat menyengat. Hama wereng tidak menyukai bau dari daun sirsak. Tak lupa pula Virgolin minta dicarikan biji mahoni karena di dalam kedua bahan tesebut terdapat kandungan zat yang tidak disukai hama wereng tersebut yaitu repellent (penolak serangga) dan antifeedant (penghambat nafsu makan). Selain kedua bahan tesebut, ada dua bahan lain yang Virgolin tambahkan yaitu rimpang jeringau dan bawang putih. "Tabib, ini semua bahannya sudah tersedia. Lantas, kita melakukan apa lagi?!" tanya Airin."Semua bahan itu ditumbuk sampai halus," pinta Virgolin. "Biar mereka yang melakukannya!" seru Pisc
"Biasanya hama wereng datang disaat musim hujan dan juga hama ini tidak bertahan lama.""Awal-awalnya seperti itu. Hama wereng coklat ini datang disaat musim hujan, tapi semakin lama malah semakin tidak terkendali," jelas pak tua tersebut. "Desa kami seperti sedang mendapat kutukan.""Tidak mungkin desa kalian mendapat kutukan seperti itu. Aku tidak percaya hal seperti itu," jelas Virgolin menenangkan. "Ini hanya masalah hama wereng saja, tidak ada hubungannya dengan kutukkan. Ditempatku juga ada hal seperti ini."Pria tua tersebut menghela napas. "Sebelum hama wereng melanda, banyak kejadian aneh di desa ini. Ribuan tikus menyerang tanaman padi kami yang siap dipanen.""Tikus?!" "Iya. Semua warga bergotong royong membasmi tikus-tikus tersebut. Tapi untungnya, padi kami masih bisa diselamatkan, walau sebagian sudah ada yang rusak. Tikus juga membawa penyakit, anak-anak kami banyak yang sakit tertular penyakit yang dibawa tikus," keluh pak tua."Menderita banget hidup kalian," tutur V
Pujian yang diberikan Pisceso membuat hati Virgolin berbunga-bunga padahal kata pujian cantik sering didapat ketika masih berada di dunianya, tapi entah kenapa saat sekarang Pisceso memujinya dirinya cantik, hatinya sangat senang sekali. Tak lama Airin datang dengan satu orang wanita yang lebih tua. Keduanya langsung mengatur makanan di atas meja. "Wangi sekali," hidung Virgolin kembang kempis mencium aroma wangi dari makanan yang ada di depannya. Selesai semua makanan dihidangkan, Airin dan wanita tersebut pergi lagi, meninggalkan Putra Mahkota Pisceso bersama Virgolin untuk menikmati sarapan pagi berdua. "Sepertinya ini lezat," tunjuk Virgolin pada roti yang ditumpuk mirip pancake. "Di sini juga ada makanan seperti ini. Di duniaku, hampir setiap hari aku sarapan roti seperti ini. Walau rotinya berbeda, tapi ini sepertinya lezat.""Kalau begitu makanlah," Pisceso mengambilkan sepotong roti dan menaruhnya di atas piring Virgolin. "Kamu harus makan banyak, karena setelah ini kita a