Pelayan wanita yang bertugas dibagian dapur segera mendekati Axel begitu melihat jenderal tersebut datang."Siapkan makanan!" perintah Axel dengan suara beratnya."Baik jenderal."Tak membutuhkan waktu lama, Axel sudah kembali ke pondok di mana Dokter Virgolin tinggal. Pintu dibuka perlahan dari dalam. "Ada apa lagi?!" tanya Virgolin heran. "Bolak balik, kau sangat menggangguku!" Axel memberikan nampan yang terbuat dari kayu. "Makanlah ini! Jangan sampai kau sakit karena tidak makan.""Eh,,, eh,,," Virgolin mau tak mau menerima nampan yang diberikan dengan paksa bahkan hampir saja jatuh karena tak siap menerima nampan yang cukup berat.Setelah itu, Jenderal Axel pergi tanpa bicara sedikitpun. "Astaga!" Virgolin geleng-geleng kepala dengan tingkah Jenderal Axel. "Benar-benar aneh ini orang!"Nampan ditaruh di atas meja. Virgolin melihat satu per satu makanan yang ada di atas piring kecil-kecil yang terbuat dari tanah liat. "Apa ini?!" gumamnya memperhatikan dengan seksama salah sat
Suara ketukan di pintu depan pondok menyadarkan Virgolin dari kebingungan harus memakai baju apa sebagai ganti baju yang dipakai."Tunggu sebentar," jawab Virgolin bangun dari tempat tidurnya.Dua dayang istana berdiri depan pintu langsung memberikan salam hormat begitu Virgolin ke luar. "Ada apa?!" tanya Virgolin membuka pintu lebar-lebar.Salah satu dayang bertubuh pendek memperlihatkan wadah panjang mirip nampan ditutup kain putih berenda."Apa ini?!" tanya Virgolin melihat wadah yang ditutup kain putih berenda.Kedua dayang tersebut masuk ke dalam pondok kemudian menaruh wadah yang ditutup kain putih berenda tersebut di atas meja. "Apa ini?!" Virgolin mengulang pertanyaannya. "Ini hadiah dari Yang Mulia Ratu Eleanor," jawab salah satu dayang."Hadiah?!" Virgolin langsung membuka kain putih berenda tersebut. "OMG! Apa ini?!"Di atas wadah yang beralas kain putih, beberapa setel pakaian dan perlengkapan untuk wanita tersusun rapi lengkap dengan perhiasan. "Apa ini untukku?!" tan
Satu dayang dan dua prajurit berdiri depan pintu masuk pondok begitu Virgolin membuka pintu. "Tabib agung. Silahkan ikut denganku," pinta dayang tersebut."Ikut ke mana?!" "Yang Mulia Ratu Eleanor dan Baginda Raja Theodore mengundang tabib agung ke kediamannya," jawab dayang."Ok baiklah, siapa takut!" ucap Virgolin. "Tapi tunggu sebentar, aku harus menutup pintu kamarku dulu."Lorong demi lorong yang Virgolin lewati bagai berada di dalam dunia mimpi. Kedua bola matanya berbinar jika melihat sesuatu yang indah dan baru pertama kali dilihatnya, tapi jika berpapasan dengan prajurit tinggi besar berpakaian lengkap perang, Virgolin akan merapatkan tubuhnya pada dayang karena takut."Wah, indah sekali ruangan ini," puji Virgolin berdecak kagum melihat ke sekeliling begitu memasuki salah satu ruangan yang dijaga ketat dua prajurit depan pintu.Ratu Eleanor dan Raja Theodore serta Pangeran Pisceso sedang duduk menghadap meja berukir.Setelah memberi salam dan menghantarkan Virgolin, dayang
Virgolin memang tidak peka. Tanpa berpikir panjang yang sedang berada di depannya adalah Putra Mahkota yang begitu disegani rakyatnya, Virgolin membuka pakaian bagian atas Pangeran Pisceso begitu saja.Pisceso menolak secara halus. "Lukaku sudah sembuh.""Diamlah! Kamu bukan bocah cilik yang harus dipaksa untuk diobati bukan?!" Virgolin malah menepiskan tangan Pisceso supaya tidak menghalangi niatnya. "Turuti saja apa kataku. Kamu cukup diam saja!"Pisceso melihat dari sudut mata, prajurit dan para dayang menyembunyikan senyumnya ketika Virgolin mengomel."Lukamu memang terlihat sudah membaik, tapi itu bukan berarti lukamu ini sudah sembuh," sambung Virgolin lagi. "Aku akan mengganti perbannya."Pakaian bagian depan Pisceso ditutup dan dirapikan kembali kemudian melihat ke arah para dayang yang sedang melihat ke arah lain karena takut Pangeran Pisceso marah."Apa aku boleh minta tolong mereka untuk mencarikan Tabib Cole?!" bisik Virgolin ke depan telinga Pisceso.SEER!Hembusan napas
Virgolin melihat pria tersebut umurnya mungkin tidak jauh berbeda dengan dirinya, hanya saja memilik postur tubuh lebih tinggi dan tegap."Ada apa?!" Pangeran Pisceso sudah berdiri di belakang mereka berdua bersama pria berjenggot putih tadi."Ha-hamba tidak sengaja," wajah ketakutan tergambar di wajah pria tersebut begitu melihat siapa orang yang bertanya."Kamu tidak apa-apa?!" tanya Pisceso pada Virgolin. "Hanya sakit sedikit," jawab Virgolin kemudian melihat pria yang telah menyenggolnya nampak bersalah dan ketakutan. "Ini salahku, bukan salahnya.""Pergilah!" perintah pria tua berjenggot putih pada pria tersebut."I-iya guru." Dengan cepat pria tersebut mengambil papan-papan kecil yang ada di lantai kemudian bergegas pergi setelah memberi hormat terlebih dahulu pada Pangeran Pisceso. "Maaf atas kelalaian anak didik hamba," ucap pria berjenggot putih tersebut."Tidak apa-apa. Ini hanya masalah sepele," jawab Virgolin jadi tak enak hati karena pria tua tersebut malah meminta maaf
Kedua bola mata Virgolin Asteria terbelalak ketika salah satu ayam yang sedang saling cakar, tiba-tiba terbang melayang mengepakkan sayap ke arah wajahnya. Tak ada yang bisa dilakukannya selain diam tertegun.PLUUKH!Ayam jatuh ke lantai dengan kepala nyaris putus. Suasana langsung sunyi senyap, tak ada suara sorak sorai seperti tadi. Semua mata memandang ayam yang telah bersimbah darah jatuh terkapar di atas tanah. Ya, Pangeran Pisceso dengan cepat segera mengeluarkan belati emas yang selalu dibawanya. Melihat tabib cantik hampir saja celaka karena wajahnya akan menjadi sasaran cakaran ayam, tentu saja Pangeran Pisceso tidak tinggal diam. Hanya tinggal hitungan beberapa senti saja, cakar ayam siap mendarat di wajah Virgolin, Pisceso langsung menebas leher ayam yang salah alamat telah berurusan dengan tabib cantik."Hai! Apa yang kau lakukan?!" teriak pemilik ayam memecah keheningan, tak terima ayamnya telah mati bersimbah darah di tanah.Pisceso menatap tajam pria bertubuh tambun ya
Virgolin kembali ketakutan. Melihat ke sekeliling. "Dunia macam apa ini? Kenapa menghilangkan nyawa orang begitu sangat mudahnya di sini?!""Tabib, cepatlah naik!" Pisceso akhirnya menarik tangan Virgolin agar mendekati kuda putih yang berdiri dengan gagahnya. "Eh, eh, aku tidak mau! Aku takut!" tolak Virgolin sembunyi di belakang tubuh Pisceso. Pisceso kembali menarik tangan Virgolin agar ke luar dari belakang tubuhnya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menjagamu!""Tapi,,, tapi ,,,," "Cepatlah!"seru Pisceso. "Apa harus aku menggendong mu agar mau naik ke punggung kuda?!" ancamnya.Akhirnya Virgolin menyerah. "Ok! Ok! Aku mau naik, tapi tunggu! Aku ambil napas dulu." Dengan konyolnya, Virgolin menarik napas panjang dan menghembuskan secara perlahan."Ayo, cepatlah!" "Kenapa kuda ini begitu tinggi? Apa tidak ada kuda yang lebih pendek?!" Virgolin malah tawar menawar tentang kuda.Pisceso habis kesabaran. Ditariknya pergelangan tangan Virgolin agar lebih mendekat ke kuda. "Cepatlah,
Virgolin berada di pondok herbal. Berbaring di atas tempat tidur sederhana sedang merasakan sekujur tubuhnya yang sakit apalagi di bagian pinggang."Ya ampun, tubuhku sakit semua," rengek Virgolin. "Ibu, aku ingin pulang."Berpikir dan berpikir mencari cara agar bisa pulang ke dunia modernnya, Virgolin akhirnya tertidur karena kelelahan. Tok!Tok!Tok!Pintu pondoknya diketuk beberapa kali dari luar, tapi Virgolin telah pergi ke alam mimpi. "Tabib agung tidak menjawab," bisik dayang bertubuh gempal."Kita kembali lagi nanti. Mungkin tabib agung sedang istirahat," jawab dayang satunya lagi. "Lalu bagaimana dengan makanan ini?!" Keduanya melihat nampan yang dipegang masing-masing. Ada beberapa macam kue di atas nampan. "Nanti kita kembali lagi."Setelah itu, kedua dayang tersebut pergi meninggalkan pondok herbal.Tidak jauh dari pondok, seulas senyum licik terlukis di bibir seorang wanita. Emi sengaja masuk ke dalam istana untuk memantau setiap pergerakkan Virgolin yang sekarang te
Pisceso semakin memeluk erat tubuh Virgolin. "Tenanglah, semua akan baik-baik saja."Kedua tangan Virgolin memeluk erat pinggang Pisceso. "Benarkah semua akan baik-baik saja?!" tanyanya bersuara serak di antara isak tangis. "Semua akan baik-baik saja," bisik Pisceso. Walau sejujurnya, dirinya juga tidak tahu, apa mungkin akan baik-baik saja setelah hatinya mulai jatuh cinta pada Virgolin. "Bagaimana, kalau tidak baik-baik saja?!" tanya Virgolin lirih. Pisceso tak menjawab. Kedua tangannya semakin erat memeluk tubuh Virgolin. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatinya. "Pisceso," Virgolin merenggangkan pelukannya. Menghapus air mata yang telah membasahi pipi. Pisceso menatap dalam iris mata Virgolin yang masih tergenang air mata. "Jika nanti, aku sudah pulang ke duniaku, jangan pernah lupakan aku," bisik Virgolin, diakhiri bulir-bulir air bening yang jatuh dari kelopak mata.Hati Pisceso terenyuh. Aliran darah di seluruh nadinya seakan berhenti. "Aku tidak mungkin bisa melu
Tatapan Pisceso beralih pada plastik kotor yang dipegang Virgolin. "Benda apa yang kau pegang?!" "Bukan apa-apa," jawab Virgolin. "Hanya sampah."Pisceso tak percaya begitu saja. Plastik kotor yang ada di tangan Virgolin diambilnya. "Itu plastik obat," ucap Virgolin pelan, bahkan suaranya nyaris tak terdengar. Pisceso diam, menunggu kelanjutan bicara Virgolin. "Tempat ini ,,," Virgolin menjeda ucapan, menelan saliva. Entah kenapa, tenggorokannya terasa kering. Pisceso mengangkat kedua alisnya, menunggu kelanjutan kalimat Virgolin."Dari tempat ini, aku tahu kemana arah jalan menuju ke pintu langit," sambung Virgolin.Deg!Pisceso tertegun. "Aku bahkan sangat hapal, kemana jalan menuju pintu langit," lanjut Virgolin. Membalikan badan, melihat ke sekeliling, kemudian tatapannya berhenti pada satu arah. "Kesana," tunjuknya.Pisceso mengikuti arah tangan Virgolin. Memang benar, jalan itu adalah jalan arah di mana pintu cahaya langit berada, tapi apa mungkin pintu langit itu akan ter
Pisceso mengajak Virgolin menikmati keindahan air terjun yang ada di Desa Padi. Suara gemuruh dan percikan air yang menimpa batu membuat takjub Virgolin. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. "Lihat! Banyak ikan kecil di sini!" tunjuk Virgolin pada aliran sungai yang berada di bawah kakinya. "Cepat kemari, Pisceso!" Suaranya kencang menyatu bersama suara gemuruh air terjun. Pisceso datang mendekat. "Kita tangkap ikannya!" pinta Virgolin. "Lebih baik biarkan ikannya besar terlebih dahulu, ikan itu masih terlalu kecil," larang Pisceso. "Iya sih, masih sangat kecil." Virgolin setuju. "Ayo, kita ke sana!" ajaknya. "Kita duduk di batu besar itu." Pisceso dengan senang hati mengikuti kemauan Virgolin. Diraihnya tangan Virgolin agar tidak terjatuh disaat berjalan di antara batu-batu kecil yang terhampar di tepian sungai. Batu cukup besar menjadi tempat duduk mereka berdua. Suara gemuruh air terjun begitu kontras, seirama menyatu bersama angin.Virgolin tak berkedip menatap jatuhn
Perih dipunggung semakin menjalar. Darah yang keluar dari luka semakin banyak. Roxy bahkan merasakan penglihatannya mulai tidak jelas. Keseimbangan tubuhnya pun tidak stabil.Melihat Roxy terlihat limbung, Pisceso memberi isyarat pada prajuritnya agar menangkap Roxy. "Gawat. Mataku, kenapa dengan mataku ini?" hati kecil Roxy bertanya-tanya sendiri. Pedang yang dipegangnya pun mulai terlihat buram.Prajurit dengan sigap mengepung Roxy, tapi jiwa pemberontak Roxy tak membiarkan dirinya ditangkap begitu saja. Walau penglihatan sudah tak begitu jelas, Roxy masih tetap melawan bahkan dengan membabi buta mengayunkan pedangnya ke segala arah. Trang! Clang! Clang!Suara pedang yang beradu mengisi udara di ruangan yang temaram. Roxy masih lincah menangkis mata pedang dari para prajurit yang mengepungnya bahkan dua orang prajurit berhasil terkena sabetan pedangnya. Pisceso memberi perintah agar prajuritnya mundur. Senyum kemenangan terukir di bibir Roxy. "Kalian pikir karena tubuhku terluka
Krieeet,,,Pintu kembali didorong dari luar. Roxy secepat kilat bersembunyi di kolong tempat tidur.Airin kembali masuk membawa wadah yang berisi makanan. Diletakkan di atas meja kecil samping teko air. Sejenak melihat Virgolin kemudian pergi lagi keluar dari kamar. Roxy mengelus dada lega. "Untung tidak ketahuan. Sialan si dayang itu, bolak balik masuk ke kamar. Lama-lama, aku bunuh juga si dayang itu!"Setelah melihat keadaan aman, Roxy keluar dari tempat persembunyiannya. Virgolin masih terlelap tidur dibuai mimpi, tidak tahu kalau dirinya dalam keadaan terancam. Dengkuran halusnya terdengar berirama keluar dari bibirnya."Baguslah, tidurnya sangat nyenyak. Ini akan memudahkan aku untuk membawanya pergi," gumam Roxy bersiap akan membuat Virgolin pingsan dengan memukul bagian tengkuknya. Bruuugh!Pintu kamar tiba-tiba dibuka kasar dari luar. Putra Mahkota Pisceso melesat masuk ke dalam kamar. Duugh!Tendangan kaki Pisceso mendarat sempurna dipunggung Roxy sampai tubuhnya tersun
Duarr!Petir menggelegar seakan ingin membelah langit setelah cahaya kilat muncul menyilaukan setiap mata."Untung kita sudah sampai. Hujannya deras sekali!" tutur Virgolin melihat turun hujan dari jendela kamar yang terbuka. "Iya. Pantas saja, cuaca sangat terik, ternyata mau turun hujan," ujar Airin. Virgolin merenggangkan otot. "Tulang pinggangku pegal. Aku ingin berbaring.""Istirahat saja. Aku juga akan istirahat di kamarku," ucap Airin. "Kalau tabib perlu sesuatu, panggil saja aku."Pintu kamar ditutup rapat oleh Airin dari luar. Virgolin segera naik ke atas tempat tidur yang sangat sederhana. Tubuh lelahnya telentang. Sejenak menatap langit-langit, tak lama kemudian dengkuran halus keluar dari bibirnya sebagai tanda Virgolin telah pergi ke alam mimpi. Sementara itu, Pisceso masih bersama Jidan dan sesepuh dari Desa Padi. Semuanya berkumpul di ruang tengah ditemani teh hangat dan beberapa potong singkong serta ubi rebus yang masih mengeluarkan uap panas. "Tabib dari langit m
Walau menggunakan peralatan seadanya dan membuat obat pembasmi hama hanya berdasarkan kemampuan yang Virgolin miliki karena dasarnya memang bukan dari bidang pertanian, tapi Virgolin melakukan semuanya dengan penuh keseriusan demi membantu rakyat yang sudah lama dilanda kelaparan karena serangan hama wereng.Beberapa orang diminta Virgolin mencari daun sirsak, karena daun sirsak mempunyai bau yang sangat menyengat. Hama wereng tidak menyukai bau dari daun sirsak. Tak lupa pula Virgolin minta dicarikan biji mahoni karena di dalam kedua bahan tesebut terdapat kandungan zat yang tidak disukai hama wereng tersebut yaitu repellent (penolak serangga) dan antifeedant (penghambat nafsu makan). Selain kedua bahan tesebut, ada dua bahan lain yang Virgolin tambahkan yaitu rimpang jeringau dan bawang putih. "Tabib, ini semua bahannya sudah tersedia. Lantas, kita melakukan apa lagi?!" tanya Airin."Semua bahan itu ditumbuk sampai halus," pinta Virgolin. "Biar mereka yang melakukannya!" seru Pisc
"Biasanya hama wereng datang disaat musim hujan dan juga hama ini tidak bertahan lama.""Awal-awalnya seperti itu. Hama wereng coklat ini datang disaat musim hujan, tapi semakin lama malah semakin tidak terkendali," jelas pak tua tersebut. "Desa kami seperti sedang mendapat kutukan.""Tidak mungkin desa kalian mendapat kutukan seperti itu. Aku tidak percaya hal seperti itu," jelas Virgolin menenangkan. "Ini hanya masalah hama wereng saja, tidak ada hubungannya dengan kutukkan. Ditempatku juga ada hal seperti ini."Pria tua tersebut menghela napas. "Sebelum hama wereng melanda, banyak kejadian aneh di desa ini. Ribuan tikus menyerang tanaman padi kami yang siap dipanen.""Tikus?!" "Iya. Semua warga bergotong royong membasmi tikus-tikus tersebut. Tapi untungnya, padi kami masih bisa diselamatkan, walau sebagian sudah ada yang rusak. Tikus juga membawa penyakit, anak-anak kami banyak yang sakit tertular penyakit yang dibawa tikus," keluh pak tua."Menderita banget hidup kalian," tutur V
Pujian yang diberikan Pisceso membuat hati Virgolin berbunga-bunga padahal kata pujian cantik sering didapat ketika masih berada di dunianya, tapi entah kenapa saat sekarang Pisceso memujinya dirinya cantik, hatinya sangat senang sekali. Tak lama Airin datang dengan satu orang wanita yang lebih tua. Keduanya langsung mengatur makanan di atas meja. "Wangi sekali," hidung Virgolin kembang kempis mencium aroma wangi dari makanan yang ada di depannya. Selesai semua makanan dihidangkan, Airin dan wanita tersebut pergi lagi, meninggalkan Putra Mahkota Pisceso bersama Virgolin untuk menikmati sarapan pagi berdua. "Sepertinya ini lezat," tunjuk Virgolin pada roti yang ditumpuk mirip pancake. "Di sini juga ada makanan seperti ini. Di duniaku, hampir setiap hari aku sarapan roti seperti ini. Walau rotinya berbeda, tapi ini sepertinya lezat.""Kalau begitu makanlah," Pisceso mengambilkan sepotong roti dan menaruhnya di atas piring Virgolin. "Kamu harus makan banyak, karena setelah ini kita a