Virgolin kembali ketakutan. Melihat ke sekeliling. "Dunia macam apa ini? Kenapa menghilangkan nyawa orang begitu sangat mudahnya di sini?!""Tabib, cepatlah naik!" Pisceso akhirnya menarik tangan Virgolin agar mendekati kuda putih yang berdiri dengan gagahnya. "Eh, eh, aku tidak mau! Aku takut!" tolak Virgolin sembunyi di belakang tubuh Pisceso. Pisceso kembali menarik tangan Virgolin agar ke luar dari belakang tubuhnya. "Jangan takut. Ada aku yang akan menjagamu!""Tapi,,, tapi ,,,," "Cepatlah!"seru Pisceso. "Apa harus aku menggendong mu agar mau naik ke punggung kuda?!" ancamnya.Akhirnya Virgolin menyerah. "Ok! Ok! Aku mau naik, tapi tunggu! Aku ambil napas dulu." Dengan konyolnya, Virgolin menarik napas panjang dan menghembuskan secara perlahan."Ayo, cepatlah!" "Kenapa kuda ini begitu tinggi? Apa tidak ada kuda yang lebih pendek?!" Virgolin malah tawar menawar tentang kuda.Pisceso habis kesabaran. Ditariknya pergelangan tangan Virgolin agar lebih mendekat ke kuda. "Cepatlah,
Virgolin berada di pondok herbal. Berbaring di atas tempat tidur sederhana sedang merasakan sekujur tubuhnya yang sakit apalagi di bagian pinggang."Ya ampun, tubuhku sakit semua," rengek Virgolin. "Ibu, aku ingin pulang."Berpikir dan berpikir mencari cara agar bisa pulang ke dunia modernnya, Virgolin akhirnya tertidur karena kelelahan. Tok!Tok!Tok!Pintu pondoknya diketuk beberapa kali dari luar, tapi Virgolin telah pergi ke alam mimpi. "Tabib agung tidak menjawab," bisik dayang bertubuh gempal."Kita kembali lagi nanti. Mungkin tabib agung sedang istirahat," jawab dayang satunya lagi. "Lalu bagaimana dengan makanan ini?!" Keduanya melihat nampan yang dipegang masing-masing. Ada beberapa macam kue di atas nampan. "Nanti kita kembali lagi."Setelah itu, kedua dayang tersebut pergi meninggalkan pondok herbal.Tidak jauh dari pondok, seulas senyum licik terlukis di bibir seorang wanita. Emi sengaja masuk ke dalam istana untuk memantau setiap pergerakkan Virgolin yang sekarang te
Sayangnya, kata maaf yang ke luar dari bibir Pangeran Pisceso tidak terdengar oleh Virgolin. Dengan membawa hati yang penuh penyesalan, Pisceso pergi meninggalkan pondok herbal.Dari balik rimbunnya pohon, Tabib Cole tanpa sengaja melihat apa yang terjadi antara putra mahkota dan tabib Virgolin. "Putra mahkota pasti sangat sedih."Setelah menghela napas, Tabib Cole mendekati pondok herbal. Diam beberapa saat depan pintu masuk, Tabib Cole memberanikan diri mengetuk pintu.Virgolin segera menghapus air matanya. "Siapa lagi yang datang?!" Mata merah sembabnya melihat ke arah pintu. "Tabib agung," Tabib Cole memberi salam begitu pintu dibuka."Ada apa?!" tanya Virgolin dengan suara serak dan mata sembab. "Boleh saya masuk?!" tanya Tabib Cole. "Ada yang ingin saya bicarakan."Virgolin melebarkan pintu sebagai tanda mempersilahkan Tabib Cole masuk."Terima kasih." Virgolin duduk di kursi kayu yang sederhana. Tatapannya melihat ke arah luar jendela."Apa tabib agung nyaman tinggal dipon
Pangeran Pisceso mengerti dengan kegundahan hati ibunda ratu, tapi mau bagaimana lagi?!"Putraku," panggil Raja Theodore. "Kemarilah!"Pisceso segera berpindah tempat, duduk di samping Raja Theodore. "Ada apa ayahanda?!" "Apa benar Jendral Axel pergi ke wilayah Utara?!" tanya raja. "Benar ayahanda."Raja menghela napas. "Ayah khawatir dengan rakyat di sana.""Jangan risau ayahanda. Jendral Axel pasti bisa mengatasi masalah yang sedang terjadi di sana.""Apa Jaden juga ikut?!" tanya raja."Jaden hanya ikut sampai perbatasan saja. Aku memberi perintah untuk melihat keadaan rakyat di sana tanpa menimbulkan kecurigaan."Raja tersenyum puas. Tangan besarnya menepuk pundak putranya. "Kamu memang putraku yang bisa diandalkan. Ayah bangga padamu."Ratu Eleanor tersenyum senang. "Suamiku, jika nanti kita sudah tua dan tidak bisa mengurus kerajaan lagi. Aku yakin, putra kita pasti bisa menggantikan dirimu menjadi raja yang adil dan bijaksana.""Kata siapa kalian akan tua?!" tanya Pisceso ters
Si Bul kembali terbahak mendapat pujian dari temannya. "Ha-ha-ha. Kalau urusan wanita, Bul nomor satu. Ha-ha-ha."Wanita yang diculik hanya bisa pasrah, berdiri ketakutan dengan tubuh gemetar serta berurai air mata."Tak lama terdengar seruan dari salah satu teman mereka. "Pemimpin datang, tuan kita Roxy pulang!"Semua orang melihat ke arah di mana terdengar suara derap kaki kuda dan debu yang terlihat berterbangan. Pria berpostur tubuh tinggi besar memacu kudanya di barisan paling depan. Berhenti tepat di depan rumah sederhana yang terbuat dari papan kayu. Setelah turun dari atas kuda dan melempar tali kekang ke anak buahnya segera datang mendekati si Bul. "Tidak mendapatkan hasil tuan?!" tanya si Bul melihat pemimpinnya pulang dengan tangan kosong. Roxy tidak menjawab pertanyaan si Bul. Mata merah dibalik topeng perak yang menutupi sebagian wajahnya menatap tajam wanita muda yang sedang ketakutan. Bul seakan tahu apa yang sedang dipikirkan pimpinannya. "Tuan boleh mencicipinya
"Ayo, bangunlah!" Roxy meraih tangan Lastri membantunya berdiri.Lastri terdiam, bingung dengan sikap lembut pimpinan topeng perak tersebut. "Duduklah." Roxy mengambil kursi tua yang ada di sudut ruangan . "Jangan takut, aku tidak pernah berbuat kasar pada wanita. Apalagi pada wanita cantik sepertimu."Dalam kebingungan Lastri mengikuti saja kemauan Roxy sampai perasaan takut yang melingkupi hatinya perlahan mulai memudar."Kamu mau ini?!" Roxy menawarkan buah apel yang ada di atas meja. Lastri menggeleng lemah. "Siapa namamu?!" tanya Roxy."La-lastri.""Nama yang bagus. Apa benar kamu dari Desa Oryza?!" tanya Roxy.Lastri mengangguk. Roxy sengaja mengajak Lastri bicara agar tidak tegang. Melihat pimpinan topeng perak terlihat tenang, Lastri memberanikan diri bicara. "Tu-tuan, a-a-aku ingin pu-pulang."Roxy tersenyum. "Pulang?!"Lastri mengangguk beberapa kali. "I-iya."Roxy datang mendekat. "Kenapa ingin pulang?!"Lastri menelan saliva sebelum bicara. "Ibu, kasihan ibu.""Kau ti
Sepi dan hening, Axel menajamkan penglihatan dan pendengaran melihat sekelilingnya yang gelap. Sreek!Axel erat memegang pedang. Memasang kewaspadaan penuh melihat ke arah sumber suara berasal. Seekor tupai kecil ke luar dari semak-semak. Sejenak melihat Axel kemudian lari ke atas pohon. Pandangan Axel jatuh pada tanah di bawah kaki. "Darah," gumamnya.Tetes demi tetes darah menjadi petunjuk bagi Axel dalam mencari keberadaan pemimpin topeng perak. Sementara itu, Roxy yang dicari Axel sedang berusaha berlari sekuat tenaga di setiap sisa tenaganya. Darah segar yang ke luar dari luka di pergelangan tangannya bagai tetesan air hujan yang jatuh membasahi bumi.Roxy berhenti sejenak, melihat tangannya yang telah berlumur darah. "Sialan!" umpatnya di antara ringisan sakit dan geram kesal. "Akan ku balas kau jenderal sialan."Berhenti sejenak, Roxy kembali melanjutkan pelariannya tanpa menyadari setiap tetes darah yang ke luar dari tangannya memberi petunjuk bagi Axel yang sekarang tak j
"Ini ,,, anu," jawab Rose kaget bercampur gugup. Dua prajurit sedang berpatroli menatap tajam pada Rose dan Emi penuh kecurigaan.Rose menyenggol lengan Emi agar bicara."Aku dan Rose hanya sedang melihat bunga-bunga di sini," jawab Emi. "Bunga di sini terlihat begitu cantik.""Pergi kalian dari sini!" seru salah satu prajurit. "Jangan berkeliaran di tempat yang tidak boleh kalian injak!"Tanpa banyak bicara, Rose dan Emi langsung pergi."Ada apa di sana?!" tanya Virgolin melihat dari kejauhan dengan apa yang terjadi pada Rose dan Emi bersama dua prajurit berpatroli.Pisceso melihat punggung Emi dan Rose yang semakin menjauh. "Entahlah.""Sepertinya aku sering melihat wanita itu," ucap Virgolin. "Apa mereka berdua juga dayang istana?!""Mereka punya tugas dibagian belakang istana," jawab Pisceso."Oh. Ada berapa orang yang bekerja di istana mu?!" tanya Virgolin. "Entahlah, aku tidak pernah menghitungnya.""Pasti sangat banyak. Istana mu ini besar dan sangat luas. Perlu ratusan orang