Jennifer turun ke dapur sendiri. Ini kesempatan bagus baginya. Ia mengambil gelas lalu membuatkan minuman untuk dirinya sendiri, Mattew dan juga Freddy. Ketika ia memasukkan sesuatu ke dalam satu gelas, Dev datang ke dapur. "Hei, kau disini? Maaf tadi aku tiba-tiba ada—hei, apa yang kau masukkan ke dalam gelas itu, Jennifer?" tanya Dev seketika melebarkan mata. "Ssttt ... Jangan berisik! Lebih baik kau tutup mulutmu itu, atau kau," Jennifer maju dan menempelkan dadanya yang setengah terbuka pada Dev. "Kau akan tahu akibatnya." Kemudian Jennifer pergi dari dapur membawa nampan berisi tiga cangkir minuman. Dengan langkah lebar dan senyum yang licik, Jennifer kembali masuk ke dalam ruang rapat. "Silakan minumannya, Tuan Ashton," kata Jennifer. "Kuharap kau habiskan minuman itu," lanjut Jennifer berbisik dengan nada menggoda. Freddy berdecak pelan, menyembunyikan senyuman miring. "Terima kasih," balas Freddy seadanya. "Ini minumanmu, Tuan," kata Jennifer pada Mattew. "Terima kas
"Dia benar-benar membuatku tidak sabar. Apa dia tidak punya ponsel untuk menelpon jika dia tidak bisa datang? Sungguh, aku tidak bisa memahami perempuan," gerutu Dixon sangat merasa kesal. Sudah lima jam lebih Dixon berada di sana, menunggu kedatangan Ainsley, bahkan ia sampai rela melewatkan makan siangnya hanya demi menunggu kedatangan Ainsley. Tapi ternyata Ainsley tidak datang. Ya, katakan saja Dixon ini bodoh. Kenapa juga dia tidak mengunjungi kantornya saja? Mereka adalah klien, bukan? Tak akan jadi masalah jika Dixon datang ke Emperor. Namun semuanya sudah terlambat. Dia sudah menghabiskan waktunya untuk menunggu. Kejam. Mungkin bisa dikatakan Ainsley seperti itu. Karena dia sama sekali tidak memberi kabar dan juga ponselnya tidak aktif. Ainsley sangat membuat Dixon tidak sabar. Dixon membawa tasnya pergi. Masuk ke dalam mobil, Dixon melajukan mobilnya dengan kencang. Ia masih marah, emosinya memuncak. "Kau mempermainkan aku? Maka tunggu saja pembalasanku, Ainsley." ***
"Apa yang kau pikirkan? Kau pikir ini lelucon? Jika kau ingin bermain-main tolong jangan bermain-main dengan urusan pekerjaan. Apa kau tidak mengerti itu? Apa ayahmu tidak mengajarimu bagaimana berharganya waktu—" Brak! Ainsley langsung berdiri dengan menggebrak meja pelan. "Cukup! Jangan pernah bawa-bawa ayahku dalam perdebatan kita!" kata Ainsley tajam, memotong kalimat Dixon. "Dengar, aku tidak sengaja melakukannya jadi tolong maafkan aku," lanjut Ainsley lagi. "Apa kau tidak ingat kau semalam menggangguku? Kau menelponku, kau mengatakan semua omong kosong itu dan karena itulah aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan semua omong kosongmu itu. Itulah mengapa aku sangat mengantuk pagi tadi, karena semalam aku tidak bisa tidur. Aku mematikan ponselku agar kau tidak menelponku lagi tapi tetap saja aku tidak bisa tidur." Ainsley mulai menjelaskan. Terserah Dixon akan percaya atau tidak. "Aku tidur sejak pagi hingga hampir waktu makan siang. Aku lupa kalau ponselku masih mati, ak
Ainsley menatap seorang yang menarik tangannya itu dengan tatapan benci. "Aku tidak akan pergi ke mana pun! Lepaskan tanganku sekarang juga!" sentak Ainsley. "Tidak! Kau harus ikut denganku!" kata seorang itu. Dia adalah Dixon. Ya, Siapa lagi yang bisa membuat Ainsley langsung marah jika bukan dia? Dixon tetap membawa Ainsley pergi tanpa peduli penolakan yang dilakukan gadis itu. "Emily, maaf, aku harus membawa Ainsley. Maaf jika aku merusak pertemanan kalian," kata Dixon. "Tidak, tidak. Kalian Pergilah. Kami masih bisa bertemu lain kali," kata Emily mendukung Dixon membawa pergi Ainsley. "Terima kasih atas pengertianmu," kata Dixon yang langsung membawa Ainsley pergi. "Emily!" sentak Ainsley. "Daaah, Ainsley sayang," kata Emily dengan senyum puas. Ainsley mengepalkan tangannya kuat menahan emosi. 'Emily, sahabat macam apa kau? Awas kau ya!' Ainsley menghentakkan kakinya dengan kuat, menunjukkan kekesalannya. "Dixon, mengapa kau menyeretku seperti kau menyeret seekor kambin
Sebuah mobil menabrak pohon besar dengan keras. Sedangkan satu mobil yang lain menghindari tabrakan dengan membanting setir ke arah bahu jalan. Seketika itu juga banyak orang yang datang menghampiri dua mobil yang hampir bertabrakan itu. Tok tok tok. Seseorang mengetuk jendela mobil yang menabrak bahu jalam dibarengi beberapa orang lagi di belakangnya. Dixon tersadar, Ia sedikit mengalami syok namun beruntung Ia berhasil mengatasinya. Dixon menurunkan jendela mobilnya dan melihat ada banyak sekali orang di sekitarnya. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" Tanya salah seorang. Dixon menggeleng. "Kami baik-baik saja, terima kasih," balas Dixon. "Syukurlah. Tapi, Tuan, Apakah kalian benar baik-baik saja? Maksudku, coba lihat keadaan nona itu," tanya seseorang itu lagi. Dixon langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ainsley dan matanya seketika melebar sempurna. "A-Ainsley, apa kau baik-baik saja?" tanya Dixon pelan. Namun Ainsley tidak bereaksi apa pun. Ainsley menaruh kepalanya pada dash
Freddy menangkap tubuh istrinya yang limbung. "Paman, apa yang terjadi? Bibi kenapa?" tanya Dixon ikut panik. "Dixon, kirimkan alamat rumah sakitnya, aku akan segera ke sana. Aku tutup dulu teleponnya," kata Freddy cepat. "Baiklah, Paman." Freddy lalu melempar ponselnya ke sembarang arah. Dia mengangkat Brianna ke sofa. "Brianna, sadarlah," Freddy mengguncang tubuh Brianna pelan namun Brianna tidak kunjung bangun. Freddy mencari minyak angin untuk dihirup oleh Brianna, berharap itu bisa membantu. Freddy melakukan itu cukup lama, dan beruntung Brianna terbangun. "Brianna, kau baik-baik saja?" Freddy membantu Brianna bangun. "Freddy, katakan padaku apa yang terjadi pada putri kita? Dia kenapa? Dia kecelakaan, apa dia baik-baik saja, Freddy? Ayo beritahu padaku, Freddy." "Brianna, tenanglah sedikit. Aku juga mengkhawatirkan keadaan putri kita, sama sepertimu. Tapi tenanglah. Aku juga belum tahu keadaannya, Dixon belum sempat mengatakan apa pun karena tadi kau tiba-tiba pingsan
"Paman, Bibi." Sudah beberapa hari Dixon tak datang menjenguk Ainsley, malam ini ia datang karena tak kunjung mendapatkan kabar baik mengenai kondisi gadis itu. "Dixon, kau datang?" "Ya, Bibi, Bagaimana keadaan Ainsley? Apakah ada kemajuan?" tanya Dixon to the point. Brianna menggeleng. "Dokter tidak mengatakan apa pun, Dixon. dokter mengatakan keadaannya masih sama, stabil tapi tidak tahu kapan dia akan bangun," jelas Brianna. "Paman, Bibi, kalian istirahatlah. Aku yakin kalian tidak istirahat seharian, kan? Biar aku gantikan sebentar, aku yang akan menjaga Ainsley malam ini," jelas Dixon. "Dixon, kau sangat baik. Aku sangat berterima kasih padamu. Tapi aku tidak akan bisa istirahat, aku akan menunggu putriku bangun," kata Brianna. "Bibi, tolong kau jangan memaksakan diri. Lihatlah, kau terlihat sangat kelelahan jadi istirahat lah sebentar. Jika Ainsley bangun aku akan membangunkanmu, Bibi," kata Dixon. "Paman, tolong bujuk bibi untuk pergi istirahat," lanjut Dixon. "Dixon be
"Kau dengar kan, Paman? Dia sudah berteriak-teriak. Putrimu sudah sangat sehat," kata Dixon lagi. "Baiklah, Dixon. Terima kasih. Aku dan Brianna akan segera ke sana." "Baiklah, Paman." "Aku tutup teleponnya," kata Freddy. "Ya, Paman." "Dasar tukang mengadu!" umpat Ainsley. "Siapa yang mengadu. Aku hanya mengatakan apa adanya," balas Dixon sambil mengedikkan bahu. "Tapi aku yakin kau sengaja melakukan itu untuk mengejekku!" seru Ainsley. "Ssttt ... Ini rumah sakit. Kenapa kau berteriak-teriak? Kau seperti orang tidak tau aturan," celetuk Dixon. Ainsley memutar bola matanya malas, lalu ia turun dari tempat tidurnya. "Kau mau ke mana?" tanya Dixon. "Apa aku harus memberitahumu setiap aktivitasku? Aku sedang apa, aku mau ke mana, begitu?" balas Ainsley tak suka. "Apa salahnya aku bertanya. Kau masih seorang pasien, jika kau kenapa-napa aku yang akan disalahkan." "Aku hanya inhin pergi ke toilet. Sudah dengar? Sekarang minggir!" Ainsley mendorong Dixon agak kasar, agar Dixon me
Seorang gadis termenung sendiri di depan cermin. Wajah ayunya dihiasi air mata yang membasahi pipinya. Paras yang berseri itu tampak tersirat kesedihan, atau entah itu perasaan haru. Dia tengah mengingat masa-masa yang telah berlalu. Dia sama sekali tidak menyangka hari ini akan tiba, hari yang akan menjadi hari berbahagianya. Ia tidak percaya bahwa orang yang ia pikir sangat ia benci ternyata hari ini akan menikahinya. Hari ini ia akan melepas masa lajangnya dan setelah hari ini statusnya akan berubah. Gadis itu mengangkat tangannya dan menggerakkan jemarinya untuk menghapus air matanya yang jatuh semakin deras. Puk! Sepasang tangan menepuk bahu gadis itu pelan sambil menatap gambaran diri yang terpantul pada cermin. "Aku tidak percaya aku sudah dewasa, Mom, aku masih ingat saat aku menangis meminta dibelikan permen kapas tapi daddy melarang," ujar gadis itu yang tak lain adalah Ainsley. Seorang yang dipanggil mommy itu tersenyum hangat. "Putri mommy memang sudah dewasa, dan dia
Dua minggu telah berlalu dengan begitu cepatnya. Tanpa disadari waktu terus berputar. Tanpa disadari hari demi hari telah terlewati. Hari ini, hari yang ditunggu-tunggu. DE BRIGHTENING akhirnya akan launching produk barunya. Di ballroom sudah dipadati para tamu undangan yang begitu banyak. Kali ini dua perusahaan Emperor dan Dynamit menggelar acara dengan sangat meriah. Lebih meriah berkali-kali lipat dibandingkan saat launcing produk mereka pertama kalinya. Pelaksaan acara hari ini berbeda dengan saat itu. Selain acaranya yang lebih meriah, kali ini juga tersedia banyak hadiah berisi paket DE BRIGHTENING yang lengkap untuk para tamu yang beruntung dan tentunya para tamu yang ikut berpartisipasi memeriahkan acara. "Kita semua bisa lihat penampilan facial wash yang resmi keluar hari ini, sangat cantik, bukan?" seorang narator tengah memandu acara saat ini, yang akan menjelaskan tentang produk-produk yang baru saja mereka luncurkan. "Hanya ada satu varian facial wash?" tanya salah s
Jalanan yang mulai lengang membuat Ainsley berani menaikkan kecepetan berkendaranya. Namun tiba-tiba ia terpaksa harus menghentikan laju mobilnya karena sebuah mobil berhenti di tengah jalan, menghalangi jalan yang akan Ainsley lewati. Ainsley membunyikan klakson berkali-kali namun beberapa orang di sana tak ada yang bereaksi.. "Sial! Apa mereka semua tuli? Apa yang mereka lakukan di sana? Jika mobil mereka mogok kenapa tidak memanggil montir saja? Haih ... aku tidak boleh tertahan di sini," gerutu Ainsley pelan. Ainsley memutuskan untuk turun dari mobilnya dan segera menghampiri mereka. "Maaf, apa yang terjadi pada mobil kalian? Kenapa berhenti sembarangan dan menghalangi jalan?" tanya Ainsley berusaha untuk sopan. Empat orang laki-laki itu berbalik badan dan menatap nyalang ke arah Ainsley bersamaan. "Maaf, jika mobil kalian mogok dan butuh montir aku bisa panggilkan montir untuk kalian, tapi bisakah kalian menepikan mobilnya dulu, aku harus pergi sekarang," lanjut Ainsley. "K
"Secara keseluruhan kau sudah menguasai semuanya, Ainsley. Apalagi dalam menembak kau sangat jago. Sebentar lagi aku akan memberikan ujian padamu dan jika kau mampu bertahan maka kau bisa dinyatakan lulus," ujar Alex. "Sebenarnya lulus atau tidak itu hanya formalitas saja, yang terpenting kau sudah menguasai tekniknya. Kau hanya harus berani menerapkannya di medan pertarungan," sambung Brandon. "Aku sangat senang bisa berlatih disini, bisa dilatih oleh kalian. Tetima kasih atas segala hal yang sudah kalian ajarkan padaku. Aku akan siap menjalani ujiannya, kapan pun itu. Aku juga akan berusaha untuk tidak mengecewakan kalian. Kalian sudah bekerja keras jadi aku juga harus bekerja keras," ujar Ainsley serius. "Kau siap untuk ujian?" tanya Alex mengulang pertanyaan. "Aku siap!" balas Ainsley mantap. "Meskipun itu mendadak?" tanya Alex lagi. "Ya, itu tidak masalah." "Bagus. Aku suka semangatmu, Ainsley," puji Brandon. "Oh ya, hari ini kebetulan aku ada acara, jadi kau bisa pulang l
Iklan untuk promosi sudah disebarluaskan di internet. Banyak sekali warganet yang berkomentar positif. Mereka sangat penasaran pada produk baru DE BRIGHTENING setelah keluarnya body wash dan body lotion yang sangat fantastis itu. "Aku senang mereka memberikan respon positif. Ini membuat kita bisa semakin semangat dan maju, benar?" kata Ainsley sebagai pembuka percakapan. Tadinya Ainsley ingin berkumpul dengan rekan-rekannya sebentar saja, tapi karena mendapati komentar-komentar warganet yang menunjukkan ketidak sabarannya terhadap produk baru mereka, Ainsley jadi lupa pada rasa lelahnya. "Benar, aku jadi semakin tidak sabar ingin segera meluncurkan produk kita secepatnya," sambung Emily bersemangat. "Sepertinya kita perlu mengadakan perayaan untuk pencapaian kita," imbuh Luke. "Tidak, janga dulu. Kita belum mencapai apa-apa. Kita bahkan belum meluncurkan produknya," lanjut Dixon. "Hanya makan-makan saja, Dixon. Lagipula mumpung Ainsley ada di sini, kan? Jarang-jarang Ainsley bisa
"Selamat pagi," sapa Ainsley datang ke meja makan. "Pagi, Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?" balas Freddy bertanya. "Aku baik, Dad." "Kau sepertinya semakin kurus, Ainsley, ayo makanlah yang banyak," sambung Brianna. "Oh ya? Aku sama sekali tidak kurus, Mom, itu pasti hanya perasaanmu saja," jawab Ainsley. "Pokoknya kau harus makan yang banyak. Ini, mommy ambilkan. Kau butuh banyak nutrisi untuk latihan, jadi kau juga harus makan yang banyak, jangan pikirkan tentang diet," kata Brianna menasehati. "Iya, Mommy sayang. Memangnya siapa pula yang diet? Dan kapan aku pernah diet?" "Tapi kau selalu makan sedikit. Sekarang kau tidak boleh makan sedikit, apalagi hanya makan buah saja." "Kau sedang menasehati dirimu sendiri, Brianna?" sela Freddy menggoda. "Apa?" "Hahaha ... ya begitulah saat kau muda. Kau bisa lihat dirimu dalam diri putri kita," celetuk Freddy. "Tapi mommy benar, kau memang harus makan yang banyak, Ainsley," lanjut Freddy lagi. "Iya iya, Dad. Aku akan habiskan i
"Kenapa? Memangnya aku tidak boleh merindukan kekasihku sendiri?" kata Dixon menggoda. Ainsley tersipu malu. "Tentu saja boleh, aku pun merindukanmu," balas Ainsley. "Sial! Kenapa kalian bermesraan di depan kami?" Brandon menggerutu kesal. "Kau masih belum memiliki kekasih? Aku pikir kau mengejar Rose teman satu tim camp-mu," celetuk Dixon. "Jangan bahas itu lagi. Kau seperti tidak tahu bagaimana dan siapa Rose saja. Akan aku hadiahi villa mewah untuk siapa pun yang berhasil memiliki Rose," kata Brandon sedikit sinis. Pasalnya Rose orang yang sangat cuek dan sangat sulit didekati. Selama lima tahun berada di satu tim yang sama, belum pernah sskali pun Brandon mendapatkan perhatian dari Rose. Tidak Brandon, tidak siapa pun. Karena memang begitulah Rose. Dixon tertawa. "Bagaimana kalau aku yang berhasil mendapatkan Rose? Aku tidak ingin hanya mendapatkan villa, aku ingin dihadiahi pulau yang kau miliki itu," celetuk Dixon. "Kau mau itu? Ambil saja. Khusus untukmu aku akan berikan a
"Aku ingin mengusulkan sesuatu untuk produk kita, boleh?" tanya Emily. "Hm, apa?" tanya Dixon tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Bagaimana kalau kita sekaligus mengeluarkan shampoo?" kata Emily. Dixon seketika menghentikan aktivitasnya lalu mengalihkan perhatiannya pada Emily. Begitu pula dengan Luke yang juga mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang tengah ia garap. "Shampoo?" "Iya. Produk yang keluar lebih dulu sudah ada body scrub, untuk melengkapi kebutuhan toiletries kita juga harus meluncurkan shampoo, bukan? Untuk kebutuhan wajah kita meluncurkan facial wash, jadi aku rasa tidak ada salahnya kita luncurkan shampoo juga," tutur Emily. "Bagaimana menurutmu, Dixon? Akan kita luncurkan bersamaan dengan ini atau mungkin kau punya rencana lain?" tanya Luke meminta pendapat Dixon, yang sejatinya adalah orang yang mengepalai proyek tersebut. "Hmm, kalau aku sih setuju-setuju saja. Menurutku bagus juga jika kita mengeluarkan produk shampoo juga. Karena aku sudah memilik
Ainsley sudah selesai mandi sejak belasan menit yang lalu. Kini ia duduk di sofa ruang tamu untuk menunggu kedatangan Dixon sambil memainkan ponselnya. Ainsley menelpon seseorang yang akan ia ajak kerjasama dalam beberapa waktu ini. "Hallo, Jeremy, maafkan aku mengganggumu malam-malam begini. Aku tahu seharusnya tidak membicarakan soal pekerjaan di luar jam kerja," ujar Ainalsley sudah menyampaikan permintaan maafnya sebelumnya. "It's okay, Ainsley. Aku mengerti kesibukanmu. Tidak perlu sungkan," balas orang bernama Jeremy itu, yang adalah orang dari jasa periklanan. Mereka sudah cukup akrab setelah beberapa kali pertemuan dan juga sering mengobrol via telepon, tentu saja untuk membicarakan pekerjaan. "Jadi, apa yang kau perlukan, Ainsley?" tanya Jeremy. "Hmmm ... begini, Jeremy. Aku ingin kau buatkan iklan yang berisi beberapa clue untuk menarik perhatian calon pelanggan. Buat iklan itu agar ramah di internet dan juga aku ingin kau pasang iklan itu di gedung Emperor," pinta Ainsl