Sebuah mobil menabrak pohon besar dengan keras. Sedangkan satu mobil yang lain menghindari tabrakan dengan membanting setir ke arah bahu jalan. Seketika itu juga banyak orang yang datang menghampiri dua mobil yang hampir bertabrakan itu. Tok tok tok. Seseorang mengetuk jendela mobil yang menabrak bahu jalam dibarengi beberapa orang lagi di belakangnya. Dixon tersadar, Ia sedikit mengalami syok namun beruntung Ia berhasil mengatasinya. Dixon menurunkan jendela mobilnya dan melihat ada banyak sekali orang di sekitarnya. "Tuan, Anda tidak apa-apa?" Tanya salah seorang. Dixon menggeleng. "Kami baik-baik saja, terima kasih," balas Dixon. "Syukurlah. Tapi, Tuan, Apakah kalian benar baik-baik saja? Maksudku, coba lihat keadaan nona itu," tanya seseorang itu lagi. Dixon langsung mengalihkan pandangannya ke arah Ainsley dan matanya seketika melebar sempurna. "A-Ainsley, apa kau baik-baik saja?" tanya Dixon pelan. Namun Ainsley tidak bereaksi apa pun. Ainsley menaruh kepalanya pada dash
Freddy menangkap tubuh istrinya yang limbung. "Paman, apa yang terjadi? Bibi kenapa?" tanya Dixon ikut panik. "Dixon, kirimkan alamat rumah sakitnya, aku akan segera ke sana. Aku tutup dulu teleponnya," kata Freddy cepat. "Baiklah, Paman." Freddy lalu melempar ponselnya ke sembarang arah. Dia mengangkat Brianna ke sofa. "Brianna, sadarlah," Freddy mengguncang tubuh Brianna pelan namun Brianna tidak kunjung bangun. Freddy mencari minyak angin untuk dihirup oleh Brianna, berharap itu bisa membantu. Freddy melakukan itu cukup lama, dan beruntung Brianna terbangun. "Brianna, kau baik-baik saja?" Freddy membantu Brianna bangun. "Freddy, katakan padaku apa yang terjadi pada putri kita? Dia kenapa? Dia kecelakaan, apa dia baik-baik saja, Freddy? Ayo beritahu padaku, Freddy." "Brianna, tenanglah sedikit. Aku juga mengkhawatirkan keadaan putri kita, sama sepertimu. Tapi tenanglah. Aku juga belum tahu keadaannya, Dixon belum sempat mengatakan apa pun karena tadi kau tiba-tiba pingsan
"Paman, Bibi." Sudah beberapa hari Dixon tak datang menjenguk Ainsley, malam ini ia datang karena tak kunjung mendapatkan kabar baik mengenai kondisi gadis itu. "Dixon, kau datang?" "Ya, Bibi, Bagaimana keadaan Ainsley? Apakah ada kemajuan?" tanya Dixon to the point. Brianna menggeleng. "Dokter tidak mengatakan apa pun, Dixon. dokter mengatakan keadaannya masih sama, stabil tapi tidak tahu kapan dia akan bangun," jelas Brianna. "Paman, Bibi, kalian istirahatlah. Aku yakin kalian tidak istirahat seharian, kan? Biar aku gantikan sebentar, aku yang akan menjaga Ainsley malam ini," jelas Dixon. "Dixon, kau sangat baik. Aku sangat berterima kasih padamu. Tapi aku tidak akan bisa istirahat, aku akan menunggu putriku bangun," kata Brianna. "Bibi, tolong kau jangan memaksakan diri. Lihatlah, kau terlihat sangat kelelahan jadi istirahat lah sebentar. Jika Ainsley bangun aku akan membangunkanmu, Bibi," kata Dixon. "Paman, tolong bujuk bibi untuk pergi istirahat," lanjut Dixon. "Dixon be
"Kau dengar kan, Paman? Dia sudah berteriak-teriak. Putrimu sudah sangat sehat," kata Dixon lagi. "Baiklah, Dixon. Terima kasih. Aku dan Brianna akan segera ke sana." "Baiklah, Paman." "Aku tutup teleponnya," kata Freddy. "Ya, Paman." "Dasar tukang mengadu!" umpat Ainsley. "Siapa yang mengadu. Aku hanya mengatakan apa adanya," balas Dixon sambil mengedikkan bahu. "Tapi aku yakin kau sengaja melakukan itu untuk mengejekku!" seru Ainsley. "Ssttt ... Ini rumah sakit. Kenapa kau berteriak-teriak? Kau seperti orang tidak tau aturan," celetuk Dixon. Ainsley memutar bola matanya malas, lalu ia turun dari tempat tidurnya. "Kau mau ke mana?" tanya Dixon. "Apa aku harus memberitahumu setiap aktivitasku? Aku sedang apa, aku mau ke mana, begitu?" balas Ainsley tak suka. "Apa salahnya aku bertanya. Kau masih seorang pasien, jika kau kenapa-napa aku yang akan disalahkan." "Aku hanya inhin pergi ke toilet. Sudah dengar? Sekarang minggir!" Ainsley mendorong Dixon agak kasar, agar Dixon me
"Koin apa ini?" tanya Ainsley mengerutkan kening. "Ini bukan koin, Ainsley. Coba lihat, ini sebuah liontin," sahut Emily. "Liontin?" "Iya, coba saja kau buka," kata Emily lagi. Ainsley melakukan apa yang diminta oleh Emily. Ainsley hendak membuka liontin tersebut namun tidak jadi, karena ayah dan ibunya datang. "Ainsley, Sayang, kau sudah bangun. Terima kasih, Ya Tuhan," kata Brianna mengungkapkan rasa syukurnya. Brianna memeluk putrinya sangat erat. Tangan Ainsley bergerak menyembunyikan liontin tadi di bawah bantalnya kemudian dia membalas pelukan ibunya. "Mom, kau tidak apa-apa?" tanya Ainsley. "Mommy baik-baik saja, Sayang," balas Brianna. "Tapi Dixon bilang kau pingsan tadi. Kau kelelahan karena menjagaku, iya, kan?" "Tidak, Sayang. Semuanya baik-baik saja sekarang. Kau sudah bangun dan mommy sangat senang," balas Brianna. "Iya, Mom." "Dimana Dixon, Ainsley? Kenapa dia tidak ada di sini?" tanya Freddy. "Em, dia pergi setelah menerima telepon, Dad," jelas Ainsley. "Oh
Ainsley tidak yakin apakah dia harus mengangkat telepon dari Dixon atau tidak. Namun karena dia terlalu gugup tanpa sengaja dia menekan tombol merah membuat telepon itu terputus. "Ya ampun, lagi-lagi aku matikan teleponnya," lirih Ainsley. Drttt ... Drrtt .... Ponselnya kembali berdering dan kali ini Ainsley menjawab telepon masuk dari Dixon. "Hallo," sapa Ainsley. "Hei, kau sudah pulang? Aku tadi pergi ke rumah sakit dan ternyata kau sudah tidak ada di sana," kata Dixon. "Iya aku meminta untuk pulang hari ini juga. Aku tidak betah berlama-lama berada di rumah sakit," jelas Ainsley. "Itu berarti kau sudah sehat, kan?" "Ya, aku sudah sehat," balas Ainsley apa adanya. "Syukurlah ...." "Emm, Dixon," panggil Ainsley. "Ya?" "Apa ...." Ainsley tidak melanjutkan kalimatnya lagi. "Apa ... Apa?" tanya Dixon penasaran. "Tidak, aku hanya ingin bertanya apakah kau baik-baik saja?" Tanya Ainsley. "Aku? Memangnya aku kenapa?" tanya Dixon bingung. "Tidak. Maksudku, saat kecelakaan
"Tidak usah terlalu kaku. Ainsley adalah teman kuliahku," kata Dixon, usai meeting. "Ya, baik," balas Luke. "Ainsley, dia adalah temanku sejak kecil. Tiga tahun lalu dia pergi ke luar negeri karena selain perintah orang tuanya dia juga mendapat beasiswa. Dia anak yang cerdas. Dia sama sepertimu yang memiliki keinginan untuk menyelesaikan kuliahnya dalam waktu singkat," jelas Dixon. "Kau tidak perlu meninggikan diriku, Dixon. Aku tidak sebanding dengan dirimu," sahut Luke. "Ya, Luke memang terlihat cerdas. Tidak seperti kau," cibir Ainsley. "Kau? Kau selalu saja ingin bertengkar denganku, huh?" kata Dixon. Ainsley memutar bola matanya malas. "Aku sama sekali tidak mengajakmu bertengkar, aku hanya mengatakan yang menurutku benar saja," balas Ainsley acuh. "Yang menurutmu benar belum tentu itu yang sebenarnya," balas Dixon. "Itu bukan urusanku," Kata Ainsley sambil mengedikkan bahu. "Aku akan memesan makanan," lanjut Ainsley. "Ha? Tumben sekali. Biasanya kau tidak pernah mau mak
"Ayo masuk," ajak Ainsley. "Ha?" Dixon tampak bingung. "Kenapa? Kau tidak mau masuk?" tanya Ainsley. "Ah tidak, bukan gitu. Kua ... sungguh-sungguh ingin mengajakku masuk?" tanya Dixon memastikan. "Bukan aku, tapi mommy. Mommy menyuruhku mengajakmu pulang. Masuklah," jelas Ainsley. Kemudian Ainsley lebih dulu masuk meninggalkan Dixon yang masih mencerna situasi. "Oh, pantas saja dia mau aku antar pulang. Ternyata bibi yang menyuruhnya," gumam Dixon pelan. "Mom," panggil Ainsley. "Sayang, kau sudah pulang? Apa kau bersama dengan Dixon?" tanya Brianna. "Ya, dia—" "Aku di sini, Bibi," sela Dixon. "Hai, Dixon. Syukurlah kau mau datang. Ayo sini duduklah," kata Brianna senang. "Apa kabar, Bibi? Kau sudah sehat?" tanya Dixon. "Aku baik-baik saja, Dixon. Terima kasih atas perhatianmu," balas Brianna. Ainsley memutar bola matanya malas. 'Aku diabaikan, huh!' batin Ainsley kesal. "Mom, aku mau ke kamar, mau mandi dulu," kata Ainsley menyela perbincangan Dixon dan ibunya. "Ya, Say
Seorang gadis termenung sendiri di depan cermin. Wajah ayunya dihiasi air mata yang membasahi pipinya. Paras yang berseri itu tampak tersirat kesedihan, atau entah itu perasaan haru. Dia tengah mengingat masa-masa yang telah berlalu. Dia sama sekali tidak menyangka hari ini akan tiba, hari yang akan menjadi hari berbahagianya. Ia tidak percaya bahwa orang yang ia pikir sangat ia benci ternyata hari ini akan menikahinya. Hari ini ia akan melepas masa lajangnya dan setelah hari ini statusnya akan berubah. Gadis itu mengangkat tangannya dan menggerakkan jemarinya untuk menghapus air matanya yang jatuh semakin deras. Puk! Sepasang tangan menepuk bahu gadis itu pelan sambil menatap gambaran diri yang terpantul pada cermin. "Aku tidak percaya aku sudah dewasa, Mom, aku masih ingat saat aku menangis meminta dibelikan permen kapas tapi daddy melarang," ujar gadis itu yang tak lain adalah Ainsley. Seorang yang dipanggil mommy itu tersenyum hangat. "Putri mommy memang sudah dewasa, dan dia
Dua minggu telah berlalu dengan begitu cepatnya. Tanpa disadari waktu terus berputar. Tanpa disadari hari demi hari telah terlewati. Hari ini, hari yang ditunggu-tunggu. DE BRIGHTENING akhirnya akan launching produk barunya. Di ballroom sudah dipadati para tamu undangan yang begitu banyak. Kali ini dua perusahaan Emperor dan Dynamit menggelar acara dengan sangat meriah. Lebih meriah berkali-kali lipat dibandingkan saat launcing produk mereka pertama kalinya. Pelaksaan acara hari ini berbeda dengan saat itu. Selain acaranya yang lebih meriah, kali ini juga tersedia banyak hadiah berisi paket DE BRIGHTENING yang lengkap untuk para tamu yang beruntung dan tentunya para tamu yang ikut berpartisipasi memeriahkan acara. "Kita semua bisa lihat penampilan facial wash yang resmi keluar hari ini, sangat cantik, bukan?" seorang narator tengah memandu acara saat ini, yang akan menjelaskan tentang produk-produk yang baru saja mereka luncurkan. "Hanya ada satu varian facial wash?" tanya salah s
Jalanan yang mulai lengang membuat Ainsley berani menaikkan kecepetan berkendaranya. Namun tiba-tiba ia terpaksa harus menghentikan laju mobilnya karena sebuah mobil berhenti di tengah jalan, menghalangi jalan yang akan Ainsley lewati. Ainsley membunyikan klakson berkali-kali namun beberapa orang di sana tak ada yang bereaksi.. "Sial! Apa mereka semua tuli? Apa yang mereka lakukan di sana? Jika mobil mereka mogok kenapa tidak memanggil montir saja? Haih ... aku tidak boleh tertahan di sini," gerutu Ainsley pelan. Ainsley memutuskan untuk turun dari mobilnya dan segera menghampiri mereka. "Maaf, apa yang terjadi pada mobil kalian? Kenapa berhenti sembarangan dan menghalangi jalan?" tanya Ainsley berusaha untuk sopan. Empat orang laki-laki itu berbalik badan dan menatap nyalang ke arah Ainsley bersamaan. "Maaf, jika mobil kalian mogok dan butuh montir aku bisa panggilkan montir untuk kalian, tapi bisakah kalian menepikan mobilnya dulu, aku harus pergi sekarang," lanjut Ainsley. "K
"Secara keseluruhan kau sudah menguasai semuanya, Ainsley. Apalagi dalam menembak kau sangat jago. Sebentar lagi aku akan memberikan ujian padamu dan jika kau mampu bertahan maka kau bisa dinyatakan lulus," ujar Alex. "Sebenarnya lulus atau tidak itu hanya formalitas saja, yang terpenting kau sudah menguasai tekniknya. Kau hanya harus berani menerapkannya di medan pertarungan," sambung Brandon. "Aku sangat senang bisa berlatih disini, bisa dilatih oleh kalian. Tetima kasih atas segala hal yang sudah kalian ajarkan padaku. Aku akan siap menjalani ujiannya, kapan pun itu. Aku juga akan berusaha untuk tidak mengecewakan kalian. Kalian sudah bekerja keras jadi aku juga harus bekerja keras," ujar Ainsley serius. "Kau siap untuk ujian?" tanya Alex mengulang pertanyaan. "Aku siap!" balas Ainsley mantap. "Meskipun itu mendadak?" tanya Alex lagi. "Ya, itu tidak masalah." "Bagus. Aku suka semangatmu, Ainsley," puji Brandon. "Oh ya, hari ini kebetulan aku ada acara, jadi kau bisa pulang l
Iklan untuk promosi sudah disebarluaskan di internet. Banyak sekali warganet yang berkomentar positif. Mereka sangat penasaran pada produk baru DE BRIGHTENING setelah keluarnya body wash dan body lotion yang sangat fantastis itu. "Aku senang mereka memberikan respon positif. Ini membuat kita bisa semakin semangat dan maju, benar?" kata Ainsley sebagai pembuka percakapan. Tadinya Ainsley ingin berkumpul dengan rekan-rekannya sebentar saja, tapi karena mendapati komentar-komentar warganet yang menunjukkan ketidak sabarannya terhadap produk baru mereka, Ainsley jadi lupa pada rasa lelahnya. "Benar, aku jadi semakin tidak sabar ingin segera meluncurkan produk kita secepatnya," sambung Emily bersemangat. "Sepertinya kita perlu mengadakan perayaan untuk pencapaian kita," imbuh Luke. "Tidak, janga dulu. Kita belum mencapai apa-apa. Kita bahkan belum meluncurkan produknya," lanjut Dixon. "Hanya makan-makan saja, Dixon. Lagipula mumpung Ainsley ada di sini, kan? Jarang-jarang Ainsley bisa
"Selamat pagi," sapa Ainsley datang ke meja makan. "Pagi, Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?" balas Freddy bertanya. "Aku baik, Dad." "Kau sepertinya semakin kurus, Ainsley, ayo makanlah yang banyak," sambung Brianna. "Oh ya? Aku sama sekali tidak kurus, Mom, itu pasti hanya perasaanmu saja," jawab Ainsley. "Pokoknya kau harus makan yang banyak. Ini, mommy ambilkan. Kau butuh banyak nutrisi untuk latihan, jadi kau juga harus makan yang banyak, jangan pikirkan tentang diet," kata Brianna menasehati. "Iya, Mommy sayang. Memangnya siapa pula yang diet? Dan kapan aku pernah diet?" "Tapi kau selalu makan sedikit. Sekarang kau tidak boleh makan sedikit, apalagi hanya makan buah saja." "Kau sedang menasehati dirimu sendiri, Brianna?" sela Freddy menggoda. "Apa?" "Hahaha ... ya begitulah saat kau muda. Kau bisa lihat dirimu dalam diri putri kita," celetuk Freddy. "Tapi mommy benar, kau memang harus makan yang banyak, Ainsley," lanjut Freddy lagi. "Iya iya, Dad. Aku akan habiskan i
"Kenapa? Memangnya aku tidak boleh merindukan kekasihku sendiri?" kata Dixon menggoda. Ainsley tersipu malu. "Tentu saja boleh, aku pun merindukanmu," balas Ainsley. "Sial! Kenapa kalian bermesraan di depan kami?" Brandon menggerutu kesal. "Kau masih belum memiliki kekasih? Aku pikir kau mengejar Rose teman satu tim camp-mu," celetuk Dixon. "Jangan bahas itu lagi. Kau seperti tidak tahu bagaimana dan siapa Rose saja. Akan aku hadiahi villa mewah untuk siapa pun yang berhasil memiliki Rose," kata Brandon sedikit sinis. Pasalnya Rose orang yang sangat cuek dan sangat sulit didekati. Selama lima tahun berada di satu tim yang sama, belum pernah sskali pun Brandon mendapatkan perhatian dari Rose. Tidak Brandon, tidak siapa pun. Karena memang begitulah Rose. Dixon tertawa. "Bagaimana kalau aku yang berhasil mendapatkan Rose? Aku tidak ingin hanya mendapatkan villa, aku ingin dihadiahi pulau yang kau miliki itu," celetuk Dixon. "Kau mau itu? Ambil saja. Khusus untukmu aku akan berikan a
"Aku ingin mengusulkan sesuatu untuk produk kita, boleh?" tanya Emily. "Hm, apa?" tanya Dixon tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Bagaimana kalau kita sekaligus mengeluarkan shampoo?" kata Emily. Dixon seketika menghentikan aktivitasnya lalu mengalihkan perhatiannya pada Emily. Begitu pula dengan Luke yang juga mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang tengah ia garap. "Shampoo?" "Iya. Produk yang keluar lebih dulu sudah ada body scrub, untuk melengkapi kebutuhan toiletries kita juga harus meluncurkan shampoo, bukan? Untuk kebutuhan wajah kita meluncurkan facial wash, jadi aku rasa tidak ada salahnya kita luncurkan shampoo juga," tutur Emily. "Bagaimana menurutmu, Dixon? Akan kita luncurkan bersamaan dengan ini atau mungkin kau punya rencana lain?" tanya Luke meminta pendapat Dixon, yang sejatinya adalah orang yang mengepalai proyek tersebut. "Hmm, kalau aku sih setuju-setuju saja. Menurutku bagus juga jika kita mengeluarkan produk shampoo juga. Karena aku sudah memilik
Ainsley sudah selesai mandi sejak belasan menit yang lalu. Kini ia duduk di sofa ruang tamu untuk menunggu kedatangan Dixon sambil memainkan ponselnya. Ainsley menelpon seseorang yang akan ia ajak kerjasama dalam beberapa waktu ini. "Hallo, Jeremy, maafkan aku mengganggumu malam-malam begini. Aku tahu seharusnya tidak membicarakan soal pekerjaan di luar jam kerja," ujar Ainalsley sudah menyampaikan permintaan maafnya sebelumnya. "It's okay, Ainsley. Aku mengerti kesibukanmu. Tidak perlu sungkan," balas orang bernama Jeremy itu, yang adalah orang dari jasa periklanan. Mereka sudah cukup akrab setelah beberapa kali pertemuan dan juga sering mengobrol via telepon, tentu saja untuk membicarakan pekerjaan. "Jadi, apa yang kau perlukan, Ainsley?" tanya Jeremy. "Hmmm ... begini, Jeremy. Aku ingin kau buatkan iklan yang berisi beberapa clue untuk menarik perhatian calon pelanggan. Buat iklan itu agar ramah di internet dan juga aku ingin kau pasang iklan itu di gedung Emperor," pinta Ainsl