Ainsely menyusul Emily, penasaran mengapa Emily lama sekali.
"Emily, siapa yang datang?" tanya Ainsley. "Dia …." "Kau?" seru Ainsley menyadari siapa yang datang. "Untuk apa kau datang ke sini? Belum puas kau mengerjaiku?" tukas Ainsley. "Aku hanya ingin mengantarkan laptopmu. Mungkin kau masih membutuhkannya," kata Dixon santai. Ainsley merebut laptop itu dengan kasar. "Aku sudah menerima laptopku, jadi sekarang kau pergilah!" "Ya, aku memang akan pergi," balas Dixon kemudian berbalik dan pergi. "Emmm, Ainsley sepertinya aku juga harus pulang," ucap Emily setelah Dixon hilang dari pandangan. "Kau tidak ingin tidur di kamarku malam ini, Em?" ""Tidak, Ainsley, aku harus pulang." "Baiklah, kau hati-hati. Terima kasih sudah mengantarku pulang," balas Ainsley. "Tak masalah. Sampai jumpa." Kedua gadis itu berpelukan singkat, sebelum mereka berpisah. Setelah Emily pergi, Ainsley kembali ke kamarnya dengan perasaan kesal. "Keterlaluan! Jika ingin menggangguku, apa dia tidak bisa menggangguku saja, tidak perlu merusak tugasku segala! Menyebalkan! Oh, atau jangan-jangan dia melakukn ini karena dia tidak ingin aku menyainginya, dan tidak ingin aku lebih unggul darinya? Kau licik, Dixon!" Ainsley bermonolog. Laptopnya basah dan tidak bisa menyala. Akhirnya Ainsley terpaksa mengerjakan ulang tugas yang sudah hampir selesai tadi menggunakan laptop lain. "Dasar, merepotkan!" gumam Ainsley sendiri. Ketika masih menggerutu, pintu kamarnya diketuk dari luar, membuat gadis itu berpaling ke arah pintu. "Ainsley, cepat turun, jangan lewatkan makan malam!" seru Brianna dari luar. "Iya, Mom, aku akan segera turun," balas Ainsley sedikit berteriak agar ibunya bisa mendengarnya dari luar sana. "Oke, kami menunggumu. Turunlah egera, Ainsley sayang." "Yes, Mom." Ainsley segera turun dari kasurnya dan bergegas pergi ke meja makan sesuai perintah. Bukan hanya ada ayah dan ibunya, di sana juga ada teman baik Freddy yaitu Felix dan Helena serta Edison—anak mereka. "Paman, Bibi, ternyata kalian di sini? Selamat malam," sapa Ainsley pada Felix dan Helena. "Iya, bibi merindukan mommy-mu jadi bibi ke sini," balas Helena. Ainsley mengangguk paham. "Kak Ainsley, kau tidak menyapaku?" celetuk putra Helena dan Felix. "Hai, Ed. Maafkan aku karena tidak menyapamu," balas Ainsley sambil melempar senyum manisnya. "Tak apa, aku memaafkanmu," balas Edison cepat. "Oh ya, Kak. Setelah makan aku ingin berdiskusi denganmu? Masalah bisnis. Kau tahu? Aku sangat kesal pada daddy," lanjut Edison lagi. "Hm, mengapa kau kesal pada paman Felix, Edison?" tanya Ainsley. "Bagaimana tidak? Daddy saja tidak mau mengurus perusahaan kakek saat dia masih muda, tetapi sekarang dia memaksaku untuk masuk ke perusahaan. Merepotkan!" Edison menggerutu panjang. "Hahaha ... Tidak apa, Ed. Sekarang kau mungkin terpaksa melakukannya, tapi suatu hari kau akan menikmatinya. Sekarang ayo makan dulu. Setelah ini kita akan berdiskusi." "Oke baiklah." "Ainsley, makanlah yang banyak. Kau masih dalam masa pertumbuhan. Kau masih bisa bertambah cantik." celetuk Felix. "Baik, Paman. Aku akan makan yang banyak supaya bertambah cantik," balas Ainsley kemudian semua orang tertawa. "Bagus. Semuanya ayo makanlah yang banyak," lanjut Felix bersikap seolah dialah tuan rumahnya. Makan malam berjalan dengan hangat, diselingi obrolan santai dan humor yang membuat mereka tertawa. Ainsley dan Edison lebih dulu menyudahi makan malam, dan beralih ke balkon untuk berdiskusi, tapi ketika Edison mendengar Ainsley bersin-bersin, pemuda itu menyadari ada yang tidak beres. "Kak, kau sedang sakit?" tanya Edison menyelidiki. "Aku hanya flu," balas Ainsley sambil merapatkan mantel yang dikenakan. "Sudahlah, lain kali saja kita berdiskusi lagi, sekarang kakak harus istirahat, masuklah ke kamar." "Tidak apa-apa, Ed, lanjutkan saja." "Jangan membantahku, Kak! Cepat pergilah ke kamar dan istirahat! Besok kau harus sudah sembuh dan mari berdiskusi lagi." Ucapan tegas Edison yang demikian sangat mirip dengan ayahnya. Ainsley tersenyum sambil mengusap kepala Edison yang sudah dianggapnya seperti asik sendiri. "Baiklah aku akan pergi istirahat. Aku akan menepati janjiku, berdiskusi denganmu kalau sudah sembuh." "Baik, aku tunggu!" Ainsley haya mengangkat jempol laku berjalan melewati Edison. Namum sebelum dia benar-benar pergi, gadis itu berbalik dan menggoda Edison. "Kau sudah cocok menjadi pemimpin, Edison kecilku." *** Suara ketukan sepatu yang mengenai lantai terdengar jelas pada pagi yang cukup sepi ini. Seorang gadis berjalan di lorong, dia mengenakan masker, sweater, dan juga syal pagi ini. Itu karena dia tidak ingin seorang pun tertular. Tiba-tiba seorang berjalan mensejajari langkah gadis itu dan tak lupa menyapanya. "Hai, Ainsley, selamat pagi," sapanya manis. Ainsley tak menyahuti. Tanpa melihat pun ia tahu siapa dia. "Ainsley, mengapa kau diam saja? Dan pagi ini kau tampak aneh. Mengenakan masker dan syal? Apa kau salah kostum mengira ini musim salju?" celetuk orang itu lagi. "Hatci!" Tiba-tiba Ainsley bersin. "O-ow." Reaksi orang itu saat Ainsley bersin adalah terkejut. Sebenarnya Ainsley sudah jauh lebih baik, tapi untuk berjag-jaga, dia mengenakan perlindungan diri. "Kau flu? Apa itu karen aku kemarin?" tanya orang itu lagi. Ya, siapa lagi yang senang mengganggu Ainsley selain Dixon? "Jangan sok merasa bersalah dan pergilah sekarang juga! Aku malas melihatmu," tukas Ainsley. "Oh, baiklah kali ini aku akan menurutimu. Aku akan selalu berada disampingmu dan membantumu," balas Dixon bertentangan dengan perintah Ainsley. "Apa kau tidak mengerti bahasaku? Pergilah, Dixon! Kau sangat menggangguku!" "Hei, aku minta maaf, oke?" kata Dixon. Ainsley tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Dixon hampir menabrak punggung gadis itu. "Untuk apa kau minta maaf jika kau terus mengulangi kesalahan yang sama?" tanya Ainsley. "Tidak, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi," kata Dixon patuh. "Sampai kau sembuh," lanjutnya lagi dengan senyum jahil menghiasi. "Jadi maksudmu jika aku sudah sembuh kau akan seenaknya mengerjaiku lagi?" sentak Ainsley. "Yaaa ... begitulah," balas Dixon enteng. "Dasar tidak waras! Jangan ikuti aku lagi. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Aku mrmbencimu, Dixon!" kata Ainsley kemudian pergi begitu saja. Ia sangat tidak sabar menghadapi Dixon. Dixon tersenyum menatap kepergian Ainsley. Senyum miringnya menimbulkan kecurigaan sipa pun yang melihatnya. "Apa lagi yang kau rencanakan, hm?" tanya Emily yang tiba-tiba muncul di belakang Dixon. "Oh, hallo, Emily, bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Dixon dan Emily meyakini itu hanya basa-basi saja. "Tidak perlu beromong kosong. Sekarang katakan saja apa maumu, Dixon! Sungguh, aku tidak akan membiarkanmu berulah lagi. Ingat itu!" ancam Emily. "Memangnya kau bisa apa untuk menghentikanku, hm? Menggodanya adalah hobiku. Kau tidak akan bisa menghentikanku." "Dan dia sahabatku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya, kau tahu itu?" Dixon terkekeh mengejek. "Kita lihat saja nanti, Emily," kata Dixon terdengar menantang. "Bye, Emily," lanjutnya kemudian pergi begitu saja dengang smirk bermain di bibirnya. Emily menatap kepergian Dixon dengan sangat kesal. "Ainsley sangat ingin lulus lebih cepat. Jika dia terus saja dan selalu merusak tugas Ainsley maka aku tidak akan membiarkannya. Awas saja kau, Dixon!" *** "Hei, Bro. Kau tampak sangat bergembira. Apa kau baru saja menang lotre?" tanya Erlan, salah satu teman Dixon. "Tidak. Tidak ada istilah menang lotre di dalam kamusku," balas Dixon. "Lalu apa yang membuatmu sebahagia ini?" tanya Erlan lagi. "Aku tidak akan memberitahumu, Erlan. Aku tidak akan membagi kebahagiaanku denganmu," balas Dixon. "Dasar kau pelit! Apa menurutmu jika kau membagi kebahagiaanmu maka kebahagiaanmu akan berkurang, begitu?" tanya Erlan kesal. "Tidak hanya itu saja. Kau mungkin bisa saja mengambil kebahagiaanku jika kau berniat jahat, kau bisa saja merebutnya dariku. Iya, kan?" "Astaga. Kau ini memang payah! Tidak tahu cara menghargai orang lain. Apa salahnya kau berbagi? Tapi jika kau tidak ingin melakukannya kau juga tidak perlu menuduh orang sembarangan." Sebenarnya Erlan dan Dixon adalah teman yang cukup dekat. Tetapi memang begitulah Dixon. Kata-katanya selalu pedas. "Ya sudah. Bukankah aku sudah mengatakan, aku tidak ingin berbagi. Kau yang memaksa dan sekarang kau yang mengomel. Siapa yang payah?" Dixon membalikkan kata-kata Erlan. "Sudahlah. Aku malas berdebat denganmu," serah Erlan. "Mr. Larkson memanggilmu tadi. Sebaiknya kau segera datang ke ruangannya," lanjut Erlan. "Hm? Ya baiklah. Aku akan datang ke sana saat aku sudah ingin melakukannya," balas Dixon enteng. "Astaga! Mengapa ada orang sepertimu? Aku sangat ingin mebunuhmu sekarang, Dixon!" "Tidak akan bisa. Karena sebelum kau membunuhku mungkin aku yang akan lebih dulu membunuhmu." balas Dixon tetap santai. Erlan memutar bola matanya jengah. "Terserah!" Erlan tidak mau meneruskan perdebatan itu, sehingga ia memilih untuk pergi meninggalkan sahabatnya seorang diri. *** "Semuanya sangat bagus, Ainsley. Kau sudah bekerja keras dan hasilnya sangat memuaskan. Aku senang." "Terima kasih, Mister." "Baiklah aku sudah memutuskan. Kau akan segera lulus." "Baik, sekali lagi terima kasih banyak, Mister. Aku sangat senang jika Anda puas," balas Ainsley. "Ya, sekarang kau boleh keluar." "Baik, Mister. Sekali lagi, terima kasih." Ainsley pun keluar dari ruangan tersebut. Gadis itu melangkah ruang dengan senyum lebar tercetak di bibirnya. "Akhirnya ... sebentar lagi ...." Ainsley sangat bahagia sekarang. "Aku akan segera pergi dari kampus ini dan aku tidak akan bertemu denganmu lagi, Dixon," gumam Ainsley pelan. "Siapa bilang kita tidak akan bertemu lagi?" tiba-tiba Dixon muncul entah dari mana. "Apa maksudmu?" tanya Ainsley. "Haha … kita lihat saja nanti, Ainsley." ***Semua usaha dan kerja keras Ainsley akhirnya membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Dia tidak harus membuang-buang waktu lama untuk menyelesaikan pendidikannya karena dia mampu menyelesaikannya dalam waktu singkat. Ainsley sangat mirip dengan ibunya yang pekerja keras dan selalu memiliki target untuk dirinya sendiri. Brianna juga menyelesaikan pendidikannya dengan cepat di masa pendidikannya. Karena saat itu Brianna ingin cepat-cepat mengabdikan dirinya pada keluarga Ashton. Keluarga Ashton adalah keluarga yang memungut Brianna, mendidiknya, menyekolahkan dan memberinya kasih sayang penuh. Terang saja jika Brianna ingin mengabdikam dirinya pada keluarga Ashton. Dan tidak ada yang menyangka akhirnya Brianna akan menikah dengan keturunan keluarga Ashton—Freddy. Meskipun tujuan Ainsley dan Brianna berbeda tetapi mereka punya semangat yang sama. Lulus lebih cepat merupakan kepuasan tersendiri bagi seseorang yang menempuh pendidikan, bukan? Setelah lulus dari pendidikannya, Ainsley l
"Kau tidak dengar aku bicara apa tadi? Hm, aku rasa pendengaranmu bermasalah. Sebaiknya kau pergi ke dokter THT setelah ini. Kau perlu aku antar?" "Jangan keterlaluan kau, Dixon!" "Ada apa? Bukankah tadi kau tidak mendengar apa yang aku katakan? Apa aku salah bicara lagi?" kata Dixon enteng. Ainsley mengepalkan tangannya untuk menahan emosinya. "Apa kau sudah selesai? Aku sudah cukup di sini. Aku pergi sekarang." Ainsley langsung berdiri dan pergi. "Hei, kau tidak bisa melakukan ini. Kau tidak bisa meninggalkan aku seperti ini!" seru Dixon namun Ainsley sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tetap pergi begitu saja. Dixon sedikit tercengang, namun setelahnya ia terkekeh geli. "Dia sangat mudah dikerjai." *** "Dasar tidak waras! Dia benar-benar membuatku sangat kesal," gerutu Ainsley. Brak! Ainsley membanting pintu mobilnya dengan keras. "Apa dia pikir aku ini tuli, ha? Aku tentu saja mendengar apa yang dia katakan. Aku hanya ingin menanyakan apa maksudnya dia mengatakan itu t
Sebuah mobil mewah terparkir di halaman restoran. Penumpangnya semua turun. Freddy, Brianna dan Ainsley memasuki restoran dan langsung menuju ruang VIP yang sudah dipesan sebagai tempat pertemuannya dengan keluarga Hamilton. "Dad, bisakah aku pulang sekarang? Aku sungguh tidak ingin bertemu dengannya. Aku tidak ingin," rengek Ainsley yang sejak awal tidak setuju dan tidak ingin datang. "Kau sudah sampai di sini dan kau akan pulang? Lagipula apa kau tidak menyayangkan dandananmu yang secantik ini? Sangat jarang kau berdandan cantik seperti ini. Ayo, masuklah," bujuk Freddy. "Tidak, Dad. Aku tidak akan masuk atau aku mungkin akan mengacaukan makan malamnya. Aku akan kesal jika melihat wajahnya. Sungguh, lebih baik aku pulang saja." "Jika kau tidak memiliki masalah dengannya seharusnya kau tidak keberatan untuk makan malam bersamanya. Kecuali jika kau memiliki perasaan yang spesial untuknya," celetuk Brianna kini. "Apa? Kau bercanda, Mom? Demi apa, membahasnya saja membuatku gerah. A
Ainsley menatap ayahnya serius, menanti jawaban sang ayah dengan harap-harap cemas. Freddy menggeleng pelan. "Yang dikatakan Dixon itu benar, Ainsley. Pria yang mengganggu wanita biasanya menganggap wanita itu spesial." 'Astaga! Apa tidak ada seorangpun yang berpihak padaku?' batin Ainsley. "Kau pasti berbohong. Kau tahu daddy akan membelamu maka kau menggunakan alasan itu untuk mengelabuhi kita semua. Dasar tidak—" Ainsley tidak melanjutkan kalimatnya. Dia masih menyayangi nyawanya. Jika ia melanjutkan kalimatnya maka nyawanya dalam bahaya karena ibunya sudah memelototinya. "Tidak apa, hm? Kenapa tidak dilanjutkan?" dengan sengaja Dixon menantang Ainsley. "Dengar, aku membencimu, jadi jangan harap aku akan mempercayai kata-katamu!" tukas Ainsley. Amarahnya sudah hampir naik sampai ke ubun-ubun. "Ainsley, ada apa denganmu? Kau sejak tadi terus marah-marah. Apa masalahmu?" tegur Freddy. "Apa masalahku? Dad, ini masalah besar. Apa daddy tahu perasaanku selama ini? Saat dia memperm
Dixon memiringkan wajahnya dan entah mengapa Ainsley malah memejamkan matanya. Hal itu membuat Dixon merasa memiliki akses. Namun itu tidak pernah terjadi. Plak! Ainsley menampar pipi Dixon dengan sangat kuat. Ainsley merasa sangat puas karena akhirnya ia memiliki kesempatan untuk menampar Dixon. Ini kesempatan yang sangat langka. "Aw, apa yang kau lakukan, Ainsley? Ini sangat sakit," protes Dixon. "Apa yang aku lakukan? Tentu saja aku menamparmu. Bukankah kau tahu itu?" balas Ainsley. "Ya aku tahu, aku tidak bodoh. Maksudku kenapa kau tiba-tiba menamparku sangat keras? Apa kesalahanku?" "Apa kesalahanmu? Kau bertanya apa kesalahanmu? Coba jelaskan apa yang coba ingin kau lakukan padaku tadi? Kau mau melecehkanku? Jika aku tidak menamparmu tidak tahu apa yang akan kau lakukan padaku," cibir Ainsley sinis. "Apa? Aku hanya ingin membersihkan saus yang ada di ujung bibirmu, itu saja." Ainsley berdecak sinis. "Siapa yang akan mempercayai kata-katamu, hm?" balas Ainsley dengan beran
Drrtt ... Drrtt .... Ponsel Ainsley berdering saat Ainsley tengah mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Ainsley mematikan dulu hair dryer tersebut lalu mengangkat telepon masuk dari Emily. "Hallo, Emily sayang. Ada apa pagi-pagi menelponku?" "Ainsley, apa kau ada waktu hari ini? Ayo kita bertemu, aku merindukanmu. Biasanya kita selalu melakukan apa pun berdua, tapi sekarang aku hanya melakukan semuanya sendiri saja. Itu sangat membosankan, Ainsley," kata Emily merajuk. "Aku bilang juga apa, cepat selesaikan kuliahmu, lalu kau akan menjadi asistenku dan kita akan selalu melakukan semuanya bersama-sama lagi." "Otakku tidak seperti milikmu, aku juga tidak bisa sepertimu, tapi aku akan berusaha untuk menyelesaikan kuliahku secepat yang aku bisa lakukan. Aku sering merasa bosan karena harus kemana pun sendiri," kata Emily lagi. "Oh sayang, kasihan sekali sahabatku ini. Jika kau merasa bosan kau boleh datang ke kantorku, jika kau mau," balas Ainsley. "Iya jika kau berada di k
Bagaimana jika Ainsley diculik? Bagaimana jika Ainsley dalam bahaya? Pikiran Freddy sudah liar kemana-mana ketika mendengar suara laki-laki dari ponsel sang putri. "Paman Freddy, ini aku, Dixon." "Astaga, Dixon. Aku pikir kau seorang yang menculik putriku," seloroh Freddy. "Maafkan aku telah mengagetkanmu, Paman," kata Dixon. "Tidak apa. Ainsley masih bersama denganmu? Mengapa kau yang mengangkat teleponnya?" tanya Freddy. "Tidak, Paman. Ainsley baru saja pergi," balas Dixon. "Baru saja pergi? Lalu mengapa ponselnya ada padamu, Dixon?" "Dia sangat terburu-buru pergi dari sini, Paman. Katanya mau bertemu dengan Emily. Dia sampai tidak sadar meninggalkan ponselnya. Aku berniat menghubungi Emily untuk menanyakan keberadaan mereka agar aku bisa mengembalikan ponselnya," jelas Dixon. "Oh begitu. Kau datang saja ke Cafe Meet Up. Setahuku mereka selalu bertemu di sana. Kau langsung ke sana saja. Jika tidak ada, kau boleh menghubungi Emily," jelas Freddy memberi tahu. "Oh, baiklah, Pa
Ainsley mengerutkan kening menatap buket bunga mawar merah yang ada di tangan pelayan itu. Gadis itu tak langsung menerimanya. Sebelumnya dia tidak pernah menerima kiriman bunga dari siapa pun. "Dari Tuan Hamilton. Jika Nona ingin menemuinya dia masih ada di sana," jawab pelayan itu. "Hamilton?" tanya Ainsley. "Maksudnya Dixon?" imbuh Emily. Kemudian Ainsley dan Emily sama-sama mencari keberadaan Dixon. Sedangkan Dixon malah dengan santainya melambaikan tangan. Ainsley mendengus kesal. "Tolong kembalikan bunga ini padanya. Aku tidak menerima bunga, aku tidak memakan bunga," kata Ainsley kesal. "Hei, Ainsley. Dia memberimu bunga bukan untuk dimakan. Tolong mengertilah sedikit, itu hal yang romantis," kata Emily. "Emily, please, jangan membuatku semakin kesal, oke? Aku tidak mau tahu, kembalikan itu padanya," kata Ainsley tegas. "Pergilah!" seru Ainsley pada pelayan itu. "Baiklah, Nona. Saya permisi." Pelayan itu pun undur diri. "Astaga, Ainsley sayang. Mengapa kau menolak bung
Seorang gadis termenung sendiri di depan cermin. Wajah ayunya dihiasi air mata yang membasahi pipinya. Paras yang berseri itu tampak tersirat kesedihan, atau entah itu perasaan haru. Dia tengah mengingat masa-masa yang telah berlalu. Dia sama sekali tidak menyangka hari ini akan tiba, hari yang akan menjadi hari berbahagianya. Ia tidak percaya bahwa orang yang ia pikir sangat ia benci ternyata hari ini akan menikahinya. Hari ini ia akan melepas masa lajangnya dan setelah hari ini statusnya akan berubah. Gadis itu mengangkat tangannya dan menggerakkan jemarinya untuk menghapus air matanya yang jatuh semakin deras. Puk! Sepasang tangan menepuk bahu gadis itu pelan sambil menatap gambaran diri yang terpantul pada cermin. "Aku tidak percaya aku sudah dewasa, Mom, aku masih ingat saat aku menangis meminta dibelikan permen kapas tapi daddy melarang," ujar gadis itu yang tak lain adalah Ainsley. Seorang yang dipanggil mommy itu tersenyum hangat. "Putri mommy memang sudah dewasa, dan dia
Dua minggu telah berlalu dengan begitu cepatnya. Tanpa disadari waktu terus berputar. Tanpa disadari hari demi hari telah terlewati. Hari ini, hari yang ditunggu-tunggu. DE BRIGHTENING akhirnya akan launching produk barunya. Di ballroom sudah dipadati para tamu undangan yang begitu banyak. Kali ini dua perusahaan Emperor dan Dynamit menggelar acara dengan sangat meriah. Lebih meriah berkali-kali lipat dibandingkan saat launcing produk mereka pertama kalinya. Pelaksaan acara hari ini berbeda dengan saat itu. Selain acaranya yang lebih meriah, kali ini juga tersedia banyak hadiah berisi paket DE BRIGHTENING yang lengkap untuk para tamu yang beruntung dan tentunya para tamu yang ikut berpartisipasi memeriahkan acara. "Kita semua bisa lihat penampilan facial wash yang resmi keluar hari ini, sangat cantik, bukan?" seorang narator tengah memandu acara saat ini, yang akan menjelaskan tentang produk-produk yang baru saja mereka luncurkan. "Hanya ada satu varian facial wash?" tanya salah s
Jalanan yang mulai lengang membuat Ainsley berani menaikkan kecepetan berkendaranya. Namun tiba-tiba ia terpaksa harus menghentikan laju mobilnya karena sebuah mobil berhenti di tengah jalan, menghalangi jalan yang akan Ainsley lewati. Ainsley membunyikan klakson berkali-kali namun beberapa orang di sana tak ada yang bereaksi.. "Sial! Apa mereka semua tuli? Apa yang mereka lakukan di sana? Jika mobil mereka mogok kenapa tidak memanggil montir saja? Haih ... aku tidak boleh tertahan di sini," gerutu Ainsley pelan. Ainsley memutuskan untuk turun dari mobilnya dan segera menghampiri mereka. "Maaf, apa yang terjadi pada mobil kalian? Kenapa berhenti sembarangan dan menghalangi jalan?" tanya Ainsley berusaha untuk sopan. Empat orang laki-laki itu berbalik badan dan menatap nyalang ke arah Ainsley bersamaan. "Maaf, jika mobil kalian mogok dan butuh montir aku bisa panggilkan montir untuk kalian, tapi bisakah kalian menepikan mobilnya dulu, aku harus pergi sekarang," lanjut Ainsley. "K
"Secara keseluruhan kau sudah menguasai semuanya, Ainsley. Apalagi dalam menembak kau sangat jago. Sebentar lagi aku akan memberikan ujian padamu dan jika kau mampu bertahan maka kau bisa dinyatakan lulus," ujar Alex. "Sebenarnya lulus atau tidak itu hanya formalitas saja, yang terpenting kau sudah menguasai tekniknya. Kau hanya harus berani menerapkannya di medan pertarungan," sambung Brandon. "Aku sangat senang bisa berlatih disini, bisa dilatih oleh kalian. Tetima kasih atas segala hal yang sudah kalian ajarkan padaku. Aku akan siap menjalani ujiannya, kapan pun itu. Aku juga akan berusaha untuk tidak mengecewakan kalian. Kalian sudah bekerja keras jadi aku juga harus bekerja keras," ujar Ainsley serius. "Kau siap untuk ujian?" tanya Alex mengulang pertanyaan. "Aku siap!" balas Ainsley mantap. "Meskipun itu mendadak?" tanya Alex lagi. "Ya, itu tidak masalah." "Bagus. Aku suka semangatmu, Ainsley," puji Brandon. "Oh ya, hari ini kebetulan aku ada acara, jadi kau bisa pulang l
Iklan untuk promosi sudah disebarluaskan di internet. Banyak sekali warganet yang berkomentar positif. Mereka sangat penasaran pada produk baru DE BRIGHTENING setelah keluarnya body wash dan body lotion yang sangat fantastis itu. "Aku senang mereka memberikan respon positif. Ini membuat kita bisa semakin semangat dan maju, benar?" kata Ainsley sebagai pembuka percakapan. Tadinya Ainsley ingin berkumpul dengan rekan-rekannya sebentar saja, tapi karena mendapati komentar-komentar warganet yang menunjukkan ketidak sabarannya terhadap produk baru mereka, Ainsley jadi lupa pada rasa lelahnya. "Benar, aku jadi semakin tidak sabar ingin segera meluncurkan produk kita secepatnya," sambung Emily bersemangat. "Sepertinya kita perlu mengadakan perayaan untuk pencapaian kita," imbuh Luke. "Tidak, janga dulu. Kita belum mencapai apa-apa. Kita bahkan belum meluncurkan produknya," lanjut Dixon. "Hanya makan-makan saja, Dixon. Lagipula mumpung Ainsley ada di sini, kan? Jarang-jarang Ainsley bisa
"Selamat pagi," sapa Ainsley datang ke meja makan. "Pagi, Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?" balas Freddy bertanya. "Aku baik, Dad." "Kau sepertinya semakin kurus, Ainsley, ayo makanlah yang banyak," sambung Brianna. "Oh ya? Aku sama sekali tidak kurus, Mom, itu pasti hanya perasaanmu saja," jawab Ainsley. "Pokoknya kau harus makan yang banyak. Ini, mommy ambilkan. Kau butuh banyak nutrisi untuk latihan, jadi kau juga harus makan yang banyak, jangan pikirkan tentang diet," kata Brianna menasehati. "Iya, Mommy sayang. Memangnya siapa pula yang diet? Dan kapan aku pernah diet?" "Tapi kau selalu makan sedikit. Sekarang kau tidak boleh makan sedikit, apalagi hanya makan buah saja." "Kau sedang menasehati dirimu sendiri, Brianna?" sela Freddy menggoda. "Apa?" "Hahaha ... ya begitulah saat kau muda. Kau bisa lihat dirimu dalam diri putri kita," celetuk Freddy. "Tapi mommy benar, kau memang harus makan yang banyak, Ainsley," lanjut Freddy lagi. "Iya iya, Dad. Aku akan habiskan i
"Kenapa? Memangnya aku tidak boleh merindukan kekasihku sendiri?" kata Dixon menggoda. Ainsley tersipu malu. "Tentu saja boleh, aku pun merindukanmu," balas Ainsley. "Sial! Kenapa kalian bermesraan di depan kami?" Brandon menggerutu kesal. "Kau masih belum memiliki kekasih? Aku pikir kau mengejar Rose teman satu tim camp-mu," celetuk Dixon. "Jangan bahas itu lagi. Kau seperti tidak tahu bagaimana dan siapa Rose saja. Akan aku hadiahi villa mewah untuk siapa pun yang berhasil memiliki Rose," kata Brandon sedikit sinis. Pasalnya Rose orang yang sangat cuek dan sangat sulit didekati. Selama lima tahun berada di satu tim yang sama, belum pernah sskali pun Brandon mendapatkan perhatian dari Rose. Tidak Brandon, tidak siapa pun. Karena memang begitulah Rose. Dixon tertawa. "Bagaimana kalau aku yang berhasil mendapatkan Rose? Aku tidak ingin hanya mendapatkan villa, aku ingin dihadiahi pulau yang kau miliki itu," celetuk Dixon. "Kau mau itu? Ambil saja. Khusus untukmu aku akan berikan a
"Aku ingin mengusulkan sesuatu untuk produk kita, boleh?" tanya Emily. "Hm, apa?" tanya Dixon tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Bagaimana kalau kita sekaligus mengeluarkan shampoo?" kata Emily. Dixon seketika menghentikan aktivitasnya lalu mengalihkan perhatiannya pada Emily. Begitu pula dengan Luke yang juga mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang tengah ia garap. "Shampoo?" "Iya. Produk yang keluar lebih dulu sudah ada body scrub, untuk melengkapi kebutuhan toiletries kita juga harus meluncurkan shampoo, bukan? Untuk kebutuhan wajah kita meluncurkan facial wash, jadi aku rasa tidak ada salahnya kita luncurkan shampoo juga," tutur Emily. "Bagaimana menurutmu, Dixon? Akan kita luncurkan bersamaan dengan ini atau mungkin kau punya rencana lain?" tanya Luke meminta pendapat Dixon, yang sejatinya adalah orang yang mengepalai proyek tersebut. "Hmm, kalau aku sih setuju-setuju saja. Menurutku bagus juga jika kita mengeluarkan produk shampoo juga. Karena aku sudah memilik
Ainsley sudah selesai mandi sejak belasan menit yang lalu. Kini ia duduk di sofa ruang tamu untuk menunggu kedatangan Dixon sambil memainkan ponselnya. Ainsley menelpon seseorang yang akan ia ajak kerjasama dalam beberapa waktu ini. "Hallo, Jeremy, maafkan aku mengganggumu malam-malam begini. Aku tahu seharusnya tidak membicarakan soal pekerjaan di luar jam kerja," ujar Ainalsley sudah menyampaikan permintaan maafnya sebelumnya. "It's okay, Ainsley. Aku mengerti kesibukanmu. Tidak perlu sungkan," balas orang bernama Jeremy itu, yang adalah orang dari jasa periklanan. Mereka sudah cukup akrab setelah beberapa kali pertemuan dan juga sering mengobrol via telepon, tentu saja untuk membicarakan pekerjaan. "Jadi, apa yang kau perlukan, Ainsley?" tanya Jeremy. "Hmmm ... begini, Jeremy. Aku ingin kau buatkan iklan yang berisi beberapa clue untuk menarik perhatian calon pelanggan. Buat iklan itu agar ramah di internet dan juga aku ingin kau pasang iklan itu di gedung Emperor," pinta Ainsl