Semua usaha dan kerja keras Ainsley akhirnya membuahkan hasil seperti yang diinginkan. Dia tidak harus membuang-buang waktu lama untuk menyelesaikan pendidikannya karena dia mampu menyelesaikannya dalam waktu singkat.
Ainsley sangat mirip dengan ibunya yang pekerja keras dan selalu memiliki target untuk dirinya sendiri. Brianna juga menyelesaikan pendidikannya dengan cepat di masa pendidikannya. Karena saat itu Brianna ingin cepat-cepat mengabdikan dirinya pada keluarga Ashton. Keluarga Ashton adalah keluarga yang memungut Brianna, mendidiknya, menyekolahkan dan memberinya kasih sayang penuh. Terang saja jika Brianna ingin mengabdikam dirinya pada keluarga Ashton. Dan tidak ada yang menyangka akhirnya Brianna akan menikah dengan keturunan keluarga Ashton—Freddy. Meskipun tujuan Ainsley dan Brianna berbeda tetapi mereka punya semangat yang sama. Lulus lebih cepat merupakan kepuasan tersendiri bagi seseorang yang menempuh pendidikan, bukan? Setelah lulus dari pendidikannya, Ainsley langsung terjun ke perusahaan keluarganya. "Ini." Freddy menyodorkan sebuah map berisi data yang harus dipelajari. "Kau pergilah menemui klien setengah jam dari sekarang," lanjut Freddy. "Ini adalah tugas pertamamu di Emperor," kata Freddy lagi. "Baiklah, Dad, Aku berjanji akan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan," kata Ainsley. "Ya, daddy tahu itu. Bekerjalah secara profesional meskipun kau adalah putri kesayanganku." "Aku mengerti. Aku permisi." "Oke." *** Ainsley masuk ke dalam restoran yang digunakan untuk pertemuannya dengan klien. Meja nomor 17 adalah meja reservasi untuk pertemuan kali ini. "Maaf, dimana meja nomor 17?" tanya Ainsley pada pelayan. "Oh, disebelah sana, Nona. Tiga meja dari sini, lurus saja," balas pelayan itu. "Baik, terima kasih," kata Ainsley dan pelayan itu mengangguk. Ainsley berjalan mendekati meja nomor 17 dan di sana sudah ada penghuninya. Ainsley memperhatikan laki-laki yang menjadi kliennya yang tengah duduk membelakangi Ainsley. Ainsley merasa sangat familiar pada sosok itu, tapi cepat-cepat ia membuang jauh pikiran itu. 'Itu hanya khayalanmu saja, Ainsley. Itu tidak mungkin dia,' batin Ainsley mencoba meyakinkan diri sendiri. Ainsley menarik napas panjang sebelum ia menemui kliennya. "Selamat siang, Tuan. Maaf saya terlambat—kau?" Ainsley tidak melanjutkan kata-katanya. Ternyata orang itu benar-benar seperti yang ada di dalam pikirannya. "Selamat siang, Nona Ainsley Luvena Ashton. Tidak masalah kau terlambat, tidak perlu meminta maaf karena aku juga baru saja datang," balas Dixon sangat tenang. "Kau tahu kalau klienmu adalah aku?" tanya Ainsley memincing. "Nona, silakan duduk. Akan lebih baik jika kita berbicara sambil duduk." Dixon tidak mengindahkan pertanyaan Ainsley. Dixon menarik satu kursi lalu mempersilakan Ainsley untuk duduk. "Terima kasih." Meski kesal Ainsley tetap masih tahu terima kasih. "Jadi,—" "Apa kau sangat senang sekarang?" potong Ainsley cepat. "Aku selalu senang bertemu dengan klienku dan aku akan selalu berusaha menjalin hubungan baik dengan klienku," balas Dixon tetap tenang. "Tapi aku tidak senang menjalin hubungan baik denganmu!" tukas Ainsley. "Aku heran, mengapa aku harus selalu bertemu denganmu? Aku sudah berusaha secepatnya meninggalkan kampus agar tidak bertemu denganmu lagi, tapi ternyata kita bertemu di eini. Ini merupakan masalah besar," kata Ainsley menggerutu. "Itu artinya kita berjodoh. Syukuri saja," celetuk Dixon. "Cih! Apa sudah cukup omong kosongmu? Aku akan pergi sekarang." Ainsley beranjak pergi namun Dixon tidak akan mengizinkannya semudah itu. "Tunggu dulu. Kita belum membicarakan apa pun dan kau sudah akan pergi?" "Aku tidak akan membicarakan apa pun denganmu!" "Hei hei hei, bagaimana kau akan menjadi penerus ayahmu jika kau kabur dari pertemuan dengan klienmu seperti ini? Apa ayahmu tidak mengajarkanmu untuk bersikap profeisonal, Ainsley?" cemooh Dixon. "Tutup mulutmu!" "Jika aku salah berbicara, itu berarti seharusnya kau tahu bagaimana bersikap profesional, hm?" sambung Dixon lagi. Ainsley membuang muka, tidak ingin melihat Dixon sedikitpun. "Ayo duduklah. Kau tidak lelah terus berdiri? Atau kau mau kita berdiskusi sambil berdiri sementara di sini ada banyak kursi kosong?" kata Dixon lagi yang tidak pernah mendapatkan balasan dari Ainsley. Bruk! Ainsley kembali duduk ditempatnya semula. "Gadis pintar. Ayo sekarang kau pesanlah makanan atau minuman dulu sebelum kita mulai berdiskuisi," pinta Dixon. "Itu tidak diperlukan. Aku ke sini bukan untuk makan," tukas Ainsley tajam. Dixon terkekeh. "Ya sudah jika itu maumu. Laki-laki yang baik akan selalu menuruti permintaan wanitanya." "Wanitanya?" Ainsley berseru memincing. "Ada apa? Bukannya kau seorang wanita, atau sebenarnya kau ini seorang pria?" tanya Dixon nyeleneh. "Jangan berbicara hal-hal yang tidak perlu dibicarakan. Itu tidak penting. Membuang-buang waktu saja," kata Ainsley tajam. Oh, jika seperti ini Ainsley sangat mirip dengan Freddy—ayahnya yang selalu suka to the point dan melakukan hal-hal yang tidak membuang waktu dengan percuma. Ya, baik sifat Brianna maupun Freddy menurun pada Ainsley. Dan Ainsley dapat menerapkannya pada beberapa situasi tertentu dengan tepat. "Oke baiklah. Kita mulai diskusinya. Kau ingin aku memanggilmu Ainsley, atau Nona agar terkesan kita ini seperti perwakilan perusahaa sungguhan?" "Terserah, itu tidak penting!" *** "Oke, jadi keputusannya, kau akan menerima kerja sama ini atau tidak?" tanya Dixon pada akhir diskusi. "Hm, ya, mari kita bekerja sama," balas Ainsley tanpa ragu. "Oke, deal. Semoga semuanya berjalan sesuai yang kita harapkan." "Tapi jangan harap kau bisa menindasku, Dixon. Awas saja jika kau berbuat seenaknya!" Dixon terkekeh. "Tenang saja. Jika dalam urusan pekerjaan aku tidak akan menindas klienku. Tapi diluar itu aku tidak yakin," kata Dixon dengan tersenyum miring. Ainsley memutar bola mataya jengah. "Baiklah, aku rasa sudah cukup. Terima kasih untuk hari ini. Aku akan pergi." "Apa kau tidak lapar setelah berdiskusi selama dua jam?" tanya Dixon. "Tidak!" "Tapi aku lapar," kata Dixon tanpa ditanya. "Jika kau lapar maka makanlah. Aku—" Dixon menahan tangan Ainsley yang tengah membereskan barang-barangnya. "Aku ingin kau menemaniku makan. Duduklah." "Tidak, aku tidak akan menemanimu!" "Oh ya? Kau menolak niat baik klienmu? Jika seperti ini kau bisa saja kehilangan banyak klien di kemudian hari. Kau tahu, kau harus menghormati ajakan klienmu, bahkan jika mereka memintamu untuk minum," tutur Dixon. "Aku juga bisa saja membatalkan kontrak dengan alasan aku tidak puas dengan pelayananmu," lanjut Dixon. "See? Kau menindasku sekarang." "Tidak, itu bukan urusan pekerjaan. Aku menindasmu diluar urusan pekerjaan. Aku sudah katakan itu tadi." "Oke, jika ini bukan urusan pekerjaan maka aku berhak menolak," kata Ainsley. "Baiklah, tapi aku juga berhak menolak—" "Cukup! Cepat pesan makananmu dan selesaikan dengan cepat. Aku tidak punya banyak waktu!" "Aku tahu kau akan menemaniku," kata Dixon tersenyum puas. "Pelayan ...." *** "Kenapa kau tidak makan?" tanya Dixon pada Ainsley yang hanya memainkan ponselnya sejak tadi. "Sudah kubilang aku tidak lapar," balas Ainsley tanpa menatap pada lawan bicaranya. "Apa kau diet? Ah, perempuan sangat suka menyusahkan diri sendiri. Jika lapar maka makanlah saja, untuk apa diet-diet segala?" celetuk Dixon. Ainsley mengerutkan kening menatap Dixon. "Hei, apa kau menyukai wanita yang gemuk?" tanya Ainsley. "Tentu saja tidak." "Jadi kau menyukai bentuk tubuh yang idel kan?" tanya Ainsley lagi. "Tentu saja iya." "Jadi kau tahu kan untuk apa para wanita melakukan diet?" tanya Ainsley lagi. "Hm, ya, untuk menarik perhatian pria," celetuk Dixon asal. "Oh, maaf. Tapi aku tidak melakukannya untuk itu!" tukas Ainsley. "Oh ya? Tapi aku tertarik padamu." "Apa?" ***"Kau tidak dengar aku bicara apa tadi? Hm, aku rasa pendengaranmu bermasalah. Sebaiknya kau pergi ke dokter THT setelah ini. Kau perlu aku antar?" "Jangan keterlaluan kau, Dixon!" "Ada apa? Bukankah tadi kau tidak mendengar apa yang aku katakan? Apa aku salah bicara lagi?" kata Dixon enteng. Ainsley mengepalkan tangannya untuk menahan emosinya. "Apa kau sudah selesai? Aku sudah cukup di sini. Aku pergi sekarang." Ainsley langsung berdiri dan pergi. "Hei, kau tidak bisa melakukan ini. Kau tidak bisa meninggalkan aku seperti ini!" seru Dixon namun Ainsley sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tetap pergi begitu saja. Dixon sedikit tercengang, namun setelahnya ia terkekeh geli. "Dia sangat mudah dikerjai." *** "Dasar tidak waras! Dia benar-benar membuatku sangat kesal," gerutu Ainsley. Brak! Ainsley membanting pintu mobilnya dengan keras. "Apa dia pikir aku ini tuli, ha? Aku tentu saja mendengar apa yang dia katakan. Aku hanya ingin menanyakan apa maksudnya dia mengatakan itu t
Sebuah mobil mewah terparkir di halaman restoran. Penumpangnya semua turun. Freddy, Brianna dan Ainsley memasuki restoran dan langsung menuju ruang VIP yang sudah dipesan sebagai tempat pertemuannya dengan keluarga Hamilton. "Dad, bisakah aku pulang sekarang? Aku sungguh tidak ingin bertemu dengannya. Aku tidak ingin," rengek Ainsley yang sejak awal tidak setuju dan tidak ingin datang. "Kau sudah sampai di sini dan kau akan pulang? Lagipula apa kau tidak menyayangkan dandananmu yang secantik ini? Sangat jarang kau berdandan cantik seperti ini. Ayo, masuklah," bujuk Freddy. "Tidak, Dad. Aku tidak akan masuk atau aku mungkin akan mengacaukan makan malamnya. Aku akan kesal jika melihat wajahnya. Sungguh, lebih baik aku pulang saja." "Jika kau tidak memiliki masalah dengannya seharusnya kau tidak keberatan untuk makan malam bersamanya. Kecuali jika kau memiliki perasaan yang spesial untuknya," celetuk Brianna kini. "Apa? Kau bercanda, Mom? Demi apa, membahasnya saja membuatku gerah. A
Ainsley menatap ayahnya serius, menanti jawaban sang ayah dengan harap-harap cemas. Freddy menggeleng pelan. "Yang dikatakan Dixon itu benar, Ainsley. Pria yang mengganggu wanita biasanya menganggap wanita itu spesial." 'Astaga! Apa tidak ada seorangpun yang berpihak padaku?' batin Ainsley. "Kau pasti berbohong. Kau tahu daddy akan membelamu maka kau menggunakan alasan itu untuk mengelabuhi kita semua. Dasar tidak—" Ainsley tidak melanjutkan kalimatnya. Dia masih menyayangi nyawanya. Jika ia melanjutkan kalimatnya maka nyawanya dalam bahaya karena ibunya sudah memelototinya. "Tidak apa, hm? Kenapa tidak dilanjutkan?" dengan sengaja Dixon menantang Ainsley. "Dengar, aku membencimu, jadi jangan harap aku akan mempercayai kata-katamu!" tukas Ainsley. Amarahnya sudah hampir naik sampai ke ubun-ubun. "Ainsley, ada apa denganmu? Kau sejak tadi terus marah-marah. Apa masalahmu?" tegur Freddy. "Apa masalahku? Dad, ini masalah besar. Apa daddy tahu perasaanku selama ini? Saat dia memperm
Dixon memiringkan wajahnya dan entah mengapa Ainsley malah memejamkan matanya. Hal itu membuat Dixon merasa memiliki akses. Namun itu tidak pernah terjadi. Plak! Ainsley menampar pipi Dixon dengan sangat kuat. Ainsley merasa sangat puas karena akhirnya ia memiliki kesempatan untuk menampar Dixon. Ini kesempatan yang sangat langka. "Aw, apa yang kau lakukan, Ainsley? Ini sangat sakit," protes Dixon. "Apa yang aku lakukan? Tentu saja aku menamparmu. Bukankah kau tahu itu?" balas Ainsley. "Ya aku tahu, aku tidak bodoh. Maksudku kenapa kau tiba-tiba menamparku sangat keras? Apa kesalahanku?" "Apa kesalahanmu? Kau bertanya apa kesalahanmu? Coba jelaskan apa yang coba ingin kau lakukan padaku tadi? Kau mau melecehkanku? Jika aku tidak menamparmu tidak tahu apa yang akan kau lakukan padaku," cibir Ainsley sinis. "Apa? Aku hanya ingin membersihkan saus yang ada di ujung bibirmu, itu saja." Ainsley berdecak sinis. "Siapa yang akan mempercayai kata-katamu, hm?" balas Ainsley dengan beran
Drrtt ... Drrtt .... Ponsel Ainsley berdering saat Ainsley tengah mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer. Ainsley mematikan dulu hair dryer tersebut lalu mengangkat telepon masuk dari Emily. "Hallo, Emily sayang. Ada apa pagi-pagi menelponku?" "Ainsley, apa kau ada waktu hari ini? Ayo kita bertemu, aku merindukanmu. Biasanya kita selalu melakukan apa pun berdua, tapi sekarang aku hanya melakukan semuanya sendiri saja. Itu sangat membosankan, Ainsley," kata Emily merajuk. "Aku bilang juga apa, cepat selesaikan kuliahmu, lalu kau akan menjadi asistenku dan kita akan selalu melakukan semuanya bersama-sama lagi." "Otakku tidak seperti milikmu, aku juga tidak bisa sepertimu, tapi aku akan berusaha untuk menyelesaikan kuliahku secepat yang aku bisa lakukan. Aku sering merasa bosan karena harus kemana pun sendiri," kata Emily lagi. "Oh sayang, kasihan sekali sahabatku ini. Jika kau merasa bosan kau boleh datang ke kantorku, jika kau mau," balas Ainsley. "Iya jika kau berada di k
Bagaimana jika Ainsley diculik? Bagaimana jika Ainsley dalam bahaya? Pikiran Freddy sudah liar kemana-mana ketika mendengar suara laki-laki dari ponsel sang putri. "Paman Freddy, ini aku, Dixon." "Astaga, Dixon. Aku pikir kau seorang yang menculik putriku," seloroh Freddy. "Maafkan aku telah mengagetkanmu, Paman," kata Dixon. "Tidak apa. Ainsley masih bersama denganmu? Mengapa kau yang mengangkat teleponnya?" tanya Freddy. "Tidak, Paman. Ainsley baru saja pergi," balas Dixon. "Baru saja pergi? Lalu mengapa ponselnya ada padamu, Dixon?" "Dia sangat terburu-buru pergi dari sini, Paman. Katanya mau bertemu dengan Emily. Dia sampai tidak sadar meninggalkan ponselnya. Aku berniat menghubungi Emily untuk menanyakan keberadaan mereka agar aku bisa mengembalikan ponselnya," jelas Dixon. "Oh begitu. Kau datang saja ke Cafe Meet Up. Setahuku mereka selalu bertemu di sana. Kau langsung ke sana saja. Jika tidak ada, kau boleh menghubungi Emily," jelas Freddy memberi tahu. "Oh, baiklah, Pa
Ainsley mengerutkan kening menatap buket bunga mawar merah yang ada di tangan pelayan itu. Gadis itu tak langsung menerimanya. Sebelumnya dia tidak pernah menerima kiriman bunga dari siapa pun. "Dari Tuan Hamilton. Jika Nona ingin menemuinya dia masih ada di sana," jawab pelayan itu. "Hamilton?" tanya Ainsley. "Maksudnya Dixon?" imbuh Emily. Kemudian Ainsley dan Emily sama-sama mencari keberadaan Dixon. Sedangkan Dixon malah dengan santainya melambaikan tangan. Ainsley mendengus kesal. "Tolong kembalikan bunga ini padanya. Aku tidak menerima bunga, aku tidak memakan bunga," kata Ainsley kesal. "Hei, Ainsley. Dia memberimu bunga bukan untuk dimakan. Tolong mengertilah sedikit, itu hal yang romantis," kata Emily. "Emily, please, jangan membuatku semakin kesal, oke? Aku tidak mau tahu, kembalikan itu padanya," kata Ainsley tegas. "Pergilah!" seru Ainsley pada pelayan itu. "Baiklah, Nona. Saya permisi." Pelayan itu pun undur diri. "Astaga, Ainsley sayang. Mengapa kau menolak bung
"Tahap produksi sudah sampai sekitar 40%. Kita berharap semuanya lancar. Target kita bulan depan sudah akan launching, mungkin pertengahan bulan. Karena sebelum memasarkannya kita harus melakukan uji coba terlebih dahulu, melakukan demo baru kita pasarkan ke masyarakat. Aku membayangkan orang-orang memakai produk kita dan mereka puas sampai akhirnya mereka ketagihan," jelas Ainsley. "Hm, daddy juga jadi tidak sabar menantikannya," kata Freddy. "Baiklah, sudah malam, kau istirahatlah. Jangan tidur terlalu larut malam, itu tidak akan bagus untuk kesehatanmu dan juga kesehatan kulitmu," lanjut Freddy. "Baiklah, Dad. Selamat malam." "Malam, Putriku." "Mom, selamat malam." "Malam, Sayang. Cepat tidur ya," ujar Brianna. "Baiklah, Mom," balas Ainsley seraya beranjak pergi ke kamarnya. "Aku masih tidak percaya anak kita sudah sebesar ini, Freddy. Dia juga telah tumbuh menjadi gadis yang hebat. Aku masih ingat ketika tengah malam ia terbangun karena minta popoknya diganti. Dan s
Seorang gadis termenung sendiri di depan cermin. Wajah ayunya dihiasi air mata yang membasahi pipinya. Paras yang berseri itu tampak tersirat kesedihan, atau entah itu perasaan haru. Dia tengah mengingat masa-masa yang telah berlalu. Dia sama sekali tidak menyangka hari ini akan tiba, hari yang akan menjadi hari berbahagianya. Ia tidak percaya bahwa orang yang ia pikir sangat ia benci ternyata hari ini akan menikahinya. Hari ini ia akan melepas masa lajangnya dan setelah hari ini statusnya akan berubah. Gadis itu mengangkat tangannya dan menggerakkan jemarinya untuk menghapus air matanya yang jatuh semakin deras. Puk! Sepasang tangan menepuk bahu gadis itu pelan sambil menatap gambaran diri yang terpantul pada cermin. "Aku tidak percaya aku sudah dewasa, Mom, aku masih ingat saat aku menangis meminta dibelikan permen kapas tapi daddy melarang," ujar gadis itu yang tak lain adalah Ainsley. Seorang yang dipanggil mommy itu tersenyum hangat. "Putri mommy memang sudah dewasa, dan dia
Dua minggu telah berlalu dengan begitu cepatnya. Tanpa disadari waktu terus berputar. Tanpa disadari hari demi hari telah terlewati. Hari ini, hari yang ditunggu-tunggu. DE BRIGHTENING akhirnya akan launching produk barunya. Di ballroom sudah dipadati para tamu undangan yang begitu banyak. Kali ini dua perusahaan Emperor dan Dynamit menggelar acara dengan sangat meriah. Lebih meriah berkali-kali lipat dibandingkan saat launcing produk mereka pertama kalinya. Pelaksaan acara hari ini berbeda dengan saat itu. Selain acaranya yang lebih meriah, kali ini juga tersedia banyak hadiah berisi paket DE BRIGHTENING yang lengkap untuk para tamu yang beruntung dan tentunya para tamu yang ikut berpartisipasi memeriahkan acara. "Kita semua bisa lihat penampilan facial wash yang resmi keluar hari ini, sangat cantik, bukan?" seorang narator tengah memandu acara saat ini, yang akan menjelaskan tentang produk-produk yang baru saja mereka luncurkan. "Hanya ada satu varian facial wash?" tanya salah s
Jalanan yang mulai lengang membuat Ainsley berani menaikkan kecepetan berkendaranya. Namun tiba-tiba ia terpaksa harus menghentikan laju mobilnya karena sebuah mobil berhenti di tengah jalan, menghalangi jalan yang akan Ainsley lewati. Ainsley membunyikan klakson berkali-kali namun beberapa orang di sana tak ada yang bereaksi.. "Sial! Apa mereka semua tuli? Apa yang mereka lakukan di sana? Jika mobil mereka mogok kenapa tidak memanggil montir saja? Haih ... aku tidak boleh tertahan di sini," gerutu Ainsley pelan. Ainsley memutuskan untuk turun dari mobilnya dan segera menghampiri mereka. "Maaf, apa yang terjadi pada mobil kalian? Kenapa berhenti sembarangan dan menghalangi jalan?" tanya Ainsley berusaha untuk sopan. Empat orang laki-laki itu berbalik badan dan menatap nyalang ke arah Ainsley bersamaan. "Maaf, jika mobil kalian mogok dan butuh montir aku bisa panggilkan montir untuk kalian, tapi bisakah kalian menepikan mobilnya dulu, aku harus pergi sekarang," lanjut Ainsley. "K
"Secara keseluruhan kau sudah menguasai semuanya, Ainsley. Apalagi dalam menembak kau sangat jago. Sebentar lagi aku akan memberikan ujian padamu dan jika kau mampu bertahan maka kau bisa dinyatakan lulus," ujar Alex. "Sebenarnya lulus atau tidak itu hanya formalitas saja, yang terpenting kau sudah menguasai tekniknya. Kau hanya harus berani menerapkannya di medan pertarungan," sambung Brandon. "Aku sangat senang bisa berlatih disini, bisa dilatih oleh kalian. Tetima kasih atas segala hal yang sudah kalian ajarkan padaku. Aku akan siap menjalani ujiannya, kapan pun itu. Aku juga akan berusaha untuk tidak mengecewakan kalian. Kalian sudah bekerja keras jadi aku juga harus bekerja keras," ujar Ainsley serius. "Kau siap untuk ujian?" tanya Alex mengulang pertanyaan. "Aku siap!" balas Ainsley mantap. "Meskipun itu mendadak?" tanya Alex lagi. "Ya, itu tidak masalah." "Bagus. Aku suka semangatmu, Ainsley," puji Brandon. "Oh ya, hari ini kebetulan aku ada acara, jadi kau bisa pulang l
Iklan untuk promosi sudah disebarluaskan di internet. Banyak sekali warganet yang berkomentar positif. Mereka sangat penasaran pada produk baru DE BRIGHTENING setelah keluarnya body wash dan body lotion yang sangat fantastis itu. "Aku senang mereka memberikan respon positif. Ini membuat kita bisa semakin semangat dan maju, benar?" kata Ainsley sebagai pembuka percakapan. Tadinya Ainsley ingin berkumpul dengan rekan-rekannya sebentar saja, tapi karena mendapati komentar-komentar warganet yang menunjukkan ketidak sabarannya terhadap produk baru mereka, Ainsley jadi lupa pada rasa lelahnya. "Benar, aku jadi semakin tidak sabar ingin segera meluncurkan produk kita secepatnya," sambung Emily bersemangat. "Sepertinya kita perlu mengadakan perayaan untuk pencapaian kita," imbuh Luke. "Tidak, janga dulu. Kita belum mencapai apa-apa. Kita bahkan belum meluncurkan produknya," lanjut Dixon. "Hanya makan-makan saja, Dixon. Lagipula mumpung Ainsley ada di sini, kan? Jarang-jarang Ainsley bisa
"Selamat pagi," sapa Ainsley datang ke meja makan. "Pagi, Sayang, bagaimana kabarmu hari ini?" balas Freddy bertanya. "Aku baik, Dad." "Kau sepertinya semakin kurus, Ainsley, ayo makanlah yang banyak," sambung Brianna. "Oh ya? Aku sama sekali tidak kurus, Mom, itu pasti hanya perasaanmu saja," jawab Ainsley. "Pokoknya kau harus makan yang banyak. Ini, mommy ambilkan. Kau butuh banyak nutrisi untuk latihan, jadi kau juga harus makan yang banyak, jangan pikirkan tentang diet," kata Brianna menasehati. "Iya, Mommy sayang. Memangnya siapa pula yang diet? Dan kapan aku pernah diet?" "Tapi kau selalu makan sedikit. Sekarang kau tidak boleh makan sedikit, apalagi hanya makan buah saja." "Kau sedang menasehati dirimu sendiri, Brianna?" sela Freddy menggoda. "Apa?" "Hahaha ... ya begitulah saat kau muda. Kau bisa lihat dirimu dalam diri putri kita," celetuk Freddy. "Tapi mommy benar, kau memang harus makan yang banyak, Ainsley," lanjut Freddy lagi. "Iya iya, Dad. Aku akan habiskan i
"Kenapa? Memangnya aku tidak boleh merindukan kekasihku sendiri?" kata Dixon menggoda. Ainsley tersipu malu. "Tentu saja boleh, aku pun merindukanmu," balas Ainsley. "Sial! Kenapa kalian bermesraan di depan kami?" Brandon menggerutu kesal. "Kau masih belum memiliki kekasih? Aku pikir kau mengejar Rose teman satu tim camp-mu," celetuk Dixon. "Jangan bahas itu lagi. Kau seperti tidak tahu bagaimana dan siapa Rose saja. Akan aku hadiahi villa mewah untuk siapa pun yang berhasil memiliki Rose," kata Brandon sedikit sinis. Pasalnya Rose orang yang sangat cuek dan sangat sulit didekati. Selama lima tahun berada di satu tim yang sama, belum pernah sskali pun Brandon mendapatkan perhatian dari Rose. Tidak Brandon, tidak siapa pun. Karena memang begitulah Rose. Dixon tertawa. "Bagaimana kalau aku yang berhasil mendapatkan Rose? Aku tidak ingin hanya mendapatkan villa, aku ingin dihadiahi pulau yang kau miliki itu," celetuk Dixon. "Kau mau itu? Ambil saja. Khusus untukmu aku akan berikan a
"Aku ingin mengusulkan sesuatu untuk produk kita, boleh?" tanya Emily. "Hm, apa?" tanya Dixon tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. "Bagaimana kalau kita sekaligus mengeluarkan shampoo?" kata Emily. Dixon seketika menghentikan aktivitasnya lalu mengalihkan perhatiannya pada Emily. Begitu pula dengan Luke yang juga mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang tengah ia garap. "Shampoo?" "Iya. Produk yang keluar lebih dulu sudah ada body scrub, untuk melengkapi kebutuhan toiletries kita juga harus meluncurkan shampoo, bukan? Untuk kebutuhan wajah kita meluncurkan facial wash, jadi aku rasa tidak ada salahnya kita luncurkan shampoo juga," tutur Emily. "Bagaimana menurutmu, Dixon? Akan kita luncurkan bersamaan dengan ini atau mungkin kau punya rencana lain?" tanya Luke meminta pendapat Dixon, yang sejatinya adalah orang yang mengepalai proyek tersebut. "Hmm, kalau aku sih setuju-setuju saja. Menurutku bagus juga jika kita mengeluarkan produk shampoo juga. Karena aku sudah memilik
Ainsley sudah selesai mandi sejak belasan menit yang lalu. Kini ia duduk di sofa ruang tamu untuk menunggu kedatangan Dixon sambil memainkan ponselnya. Ainsley menelpon seseorang yang akan ia ajak kerjasama dalam beberapa waktu ini. "Hallo, Jeremy, maafkan aku mengganggumu malam-malam begini. Aku tahu seharusnya tidak membicarakan soal pekerjaan di luar jam kerja," ujar Ainalsley sudah menyampaikan permintaan maafnya sebelumnya. "It's okay, Ainsley. Aku mengerti kesibukanmu. Tidak perlu sungkan," balas orang bernama Jeremy itu, yang adalah orang dari jasa periklanan. Mereka sudah cukup akrab setelah beberapa kali pertemuan dan juga sering mengobrol via telepon, tentu saja untuk membicarakan pekerjaan. "Jadi, apa yang kau perlukan, Ainsley?" tanya Jeremy. "Hmmm ... begini, Jeremy. Aku ingin kau buatkan iklan yang berisi beberapa clue untuk menarik perhatian calon pelanggan. Buat iklan itu agar ramah di internet dan juga aku ingin kau pasang iklan itu di gedung Emperor," pinta Ainsl