Beranda / Romansa / Sweet Chaos / 3. Quin Lagi, Quin Lagi

Share

3. Quin Lagi, Quin Lagi

Penulis: rosevita
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Nggak usah dibayar. Anggep aja kamu habis dapat rejeki. Nggak bersyukur namanya kalau nolak rejeki.” Maura kembali sok bijak. Memang menolak rejeki bukan tindakan yang baik. Masalahnya kasus Sena tidak seperti itu. Dia ditraktir orang tidak kenal. Bagaimana mungkin Sena bisa tenang.

“Rejeki sih, rejeki. Masalahnya kamu nggak tau orangnya kayak gimana.”

“Emang orangnya kayak gimana? Eh, kita lewat depan rumahnya aja, ya? Siapa tau orangnya ada di luar. Penasaran aku, pengin tau orangnya kayak gimana.”

Sena tidak langsung menjawab. Dia sedang menimbang, haruskan dia masuk ke rumah itu dan mencari Quin untuk mengembalikan uang laki-laki itu atau dia titipkan saja pada pengawal di gerbang rumah Quin?

“Ayo,” ajak Maura setelah memasukan semua bukunya. Untuk Maura yang otaknya lebih encer dibanding Sena, kuliah kali ini cukup menguras energi. Apalagi untuk Sena? Otaknya sudah panas dingin. Geometri transformasi sama sekali tidak ada yang masuk ke dalam otaknya.

Sena berdiri seraya menyampirkan tas selempangnya. Keduanya berjalan menuju lift, tapi pada akhirnya berbalik ke arah tangga setelah melihat penuhnya orang yang mengantri lift. Pada dasarnya, lift tidak terlalu berguna untuk keduanya. Mereka lebih sering menaiki tangga meski kelas mereka lebih sering di lantai lima.

“Ceritain orangnya kayak gimana?”

“Siapa?” Otak lemot Sena kembali. Kalau mau bertanya pada Sena, hendaknya harus bertanya dengan kalimat yang sejelas-jelasnya.

“Kok siapa, sih? Ya, penghuni rumah hantu itu.”

“Oh, Quin.”

“Dih, Quin. Sudah akrab, ya?” goda Maura. Dia cekikikan saat melihat Sena yang bergidik ngeri.

“Terus aku harus nyebut dia apa?”

“Iya-iya. Coba ceritakan.”

“Orangnya ganteng, tinggi, putih, style-nya nggak usah ditanya. Sudah pasti keren. Lalu? Apa lagi?” Sena berkata apa adanya. Walau mengesalkan, tapi Quin memang memiliki fisik yang mampu membuat siapa saja yang melihatnya, berdecak kagum.

“Seganteng apa?”

“Lebih ganteng dari adikmu,” jawab Sena asal. 

“Ih, serius.”

“Ya, pokoknya gitu, deh. Nanti barangkali kita bisa lihat dia.”

“Jadi, kita lewat di depan rumahnya? Yakin, nggak takut lagi?”

“Nggak. Ngapain takut?”

Padahal hati Sena cemas bukan main. Orang penakut seperti dia, ditatap oleh pengawal Quin saja sudah seperti ketemu hantu.

“Aku penasaran, rumahnya isinya apa aja, ya? Bisa sebesar itu. Perasaan jarak pintu sama gerbang aja deket. Bukan rumah yang kalau dari gerbang sampai pintu tetap harus pakai kendaraan biar nggak capek.”

“Apa hubungannya jarak pintu rumah ke gerbang sama isi rumah itu?”

“Kan berarti rumahnya benar-benar besar. Bukan cuma lahannya aja.”

Sena hanya mengangguk-angguk tanpa minat. Keduanya berjalan memasuki Jalan Hawa IV yang langsung disambut oleh rumah super besar milik Quin.

Tanpa sadar Sena merangkul lengan Maura. Rangkulan itu semakin kencang ketika mereka tiba di gerbang rumah hantu. Pengawal di sana tampak waspada saat dua gadis itu menghentikan langkah.

Sena menatap Maura, meminta dukungan.

“Kayaknya aku nunggu di sini saja, deh,” bisik Maura dengan tatapan jatuh pada pengawal Quin. Selama ini dia selalu lewat jalan ini saat ke kampus, tapi dia diantar ayahnya dengan motor, jadi dia tidak pernah melihat pengawal Quin. Sekarang setelah melihatnya, nyali Maura mendadak menciut. Ternyata Sena tidak salah. Mereka memang menakutkan.

Sena menggeleng dengan kuat. Dia tidak mau kalau sendirian. Dia butuh teman.

“Sana cepat atau mereka akan curiga.”

Mereka sudah terlanjut berhenti. Akan aneh kalau tiba-tiba pergi tanpa melakukan apapun.

“Temenin,” pinta Sena dengan wajah memelas.

“Nggak mau!”

“Ayolah, Ma.”

“Nggak mau! Aku nggak mau!”

“Ish!”

Sena melepaskan rangkulannya dengan kesal. Maura yang kadang sok berani, sebenarnya sama saja seperti Sena. Sama-sama penakut.

Sena terpaksa berjalan mendekat dengan langkah pelan. Sesekali dia menoleh ke arah Maura, berharap temannya itu berubah pikiran. Tapi, bukannya berubah pikiran, Maura justru mengibaskan tangannya, meminta Sena agar berjalan lebih cepat.

“Teman macam apa dia?” gerutu Sena.

Nyali Sena semakin menciut dan pada akhirnya hilang ketika berhadapan dengan salah satu pengawal. Kenapa pula menempatkan pengawal di depan rumah? Bukankah umumnya satpam? Kalau di tivi-tivi, satpam biasanya lebih santai dan mudah diajak berteman. Kalau pengawal bertubuh besar ini? Jangankan mau diajak berteman, senyum saja tidak. Wajahnya selalu tertekuk. Apa tidak lelah itu wajahnya?

Sena mengangsurkan amplop dengan gerakan ragu. Pengawal berkumis tebal itu hanya menatap Sena, tanpa bertanya.

“Kemarin Quin bayarin aku makan, tapi aku nggak mau. Jadi, aku mau balikin uang Quin. Di sini juga ada bukti struk jumlah uang yang harus kubayar,” jelas Sena dengan nada sedikit bergetar. Dia sudah seperti menahan tangis saja.

Pengawal itu tampak mengerutkan keningnya. Dia menatap salah satu temannya dan baru kembali menatap Sena setelah temannya itu menggeleng.

“Tidak perlu. Tuan Quin tidak pernah mengambil kembali uang yang sudah dia bayarkan.”

Nada yang begitu tegas dengan suara berat. Sangat sepadan dengan bentuk tubuhnya yang kemungkinan hanya terdiri dari otot.

“Aku nggak mau hutang sama Quin.”

“Tuan Quin tidak menganggap itu sebagai hutang. Itu hanya sedekah.”

Sena berjengit. Apa dia tipe memprihatikan sampai Quin memberinya sedekah? Atau Quin memang hobi memberi sekedah pada siapa saja dan di mana saja?

Pengawal itu menujuk ke arah jalan, sebagai tanda bahwa dia meminta Sena untuk pergi.

“Terima dulu, nanti aku pergi.”

Sebagai jawaban, pengawal itu berkacang pinggang, membuat Sena mundur seketika. Sepertinya lebih aman jika dia pergi saja. Lupakan tentang hutang. Sena akan menganggap kalau dia baru saja mendapat sedekah!

***

Sena merapalkan doa sepanjang jalan. Matahari sudah menghilang sejak dua jam yang lalu. Jalanan sudah sangat sepi, apalagi di depan rumah Quin. Sena hanya ingin pulang lebih cepat, jadi dia memilih tetap lewat di depan rumah Quin.

“Bodoh! Kenapa aku sampai lupa waktu, sih?”

Tugas yang menumpuk dan deadline yang semakin dekat, membuat Sena dan Maura lembur sampai lupa waktu. Dua hari lagi semua tugas harus sudah selesai sebelum minggu tenang sebelum ujian. Padahal tugas mereka masih menggunung.

Tanpa sadar Sena menghembuskan napas ketika melewati gerbang rumah Quin. Setengah jalan lagi maka dia akan bebas dari rumah Quin. Namun, yang tidak pernah Sena duga justru terjadi.

Sebuah mobil mewah yang hanya dimiliki segelintir orang, keluar dari rumah itu. Awalnya hanya mengikuti Sena, tapi detik berikutnya mobil itu sudah mensejajari langkah Sena.

Sena menoleh, merasakan ada yang janggal dengan mobil itu. Mana ada mobil yang kecepatannya sama dengan kecepatan langkah orang, kalau bukan karena disengaja? Dan ketika kaca jendela mulai turun, barulah keheranan Sena menghilang.

“Katanya mau bayar utangnya, ya?” tanya Quin. Siapa lagi kalau bukan Quin? Mobil mewah dan kelakukan aneh. Walau baru dua kali bertemu, rasanya Sena sudah bisa menebak kelakukan Quin.

Sena merogok tasnya dan mengambil amplok yang sebelumnya batal dia berikan. Dia menyodorkan amplop itu pada Quin, tapi Quin tidak berniat mengambilnya.

“Ayo, masuk. Biar kuantar.”

Sena menjatuhkan amplop itu di mobil, tapi detik berikutnya amplop itu melayang melewati jendela dan jatuh tepat di depan Sena. Sena mendelik kesal. Apa sih, maunya orang ini?

“Aku nggak butuh itu. Aku maunya kamu masuk ke mobilku.”

Sena bergidik ngeri. Dia mempercepat jalannya. Jika keluar dari hiri raya, dia akan tiba di jalan sidodadi timur yang cukup ramai. Banyak tempat makan di sana. Anak-anak UPGRIS juga sering nongkrong di sana sampai tengah malam.

“Nggak mau, nih?”

Sena semakin mempercepat langkahnya hingga kini dia berlari secepat yang dia bisa. Padahal dia sudah lewat di gang yang penuh dengan tempat fotokopi. Melihat itu, Quin justru tertawa dengan keras. Dia seperti sedang bermain-main dengan Sena.

***

Bab terkait

  • Sweet Chaos   4. Menanti Kedatangan Sena

    Quin melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat sore. Artinya dia sudah ada di atap selama satu jam. Duduk dengan kaki berayun pada dinding pembatas atap. Hal yang sebenarnya berbahaya, tapi tidak ada yang berani melawan Quin. Padahal pengawal yang melihatnya dari bawah, selalu menahan napas setiap kali melihat Quin mengganti posisi duduknya. Takut bos muda mereka jatuh dari atap karena nyawa mereka pun dipastikan akan ikut melayang. Bukan tanpa alasan Quin duduk di sana. Biasanya memang Quin hanya iseng saja, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Namun, kali ini berbeda. Dia sedang menunggu Sena. Sayang, yang ditunggu sudah dua hari ini tak terlihat batang hidungnya. “Kalau gadis itu datang, segera hubungi aku!” pesan Quin sehari setelah dia membuat Sena ketakutan. Sayangnya, belum ada kabar dari Sena. Quin hanya sering melihat Maura dan dia tidak tertarik dengan Maura. “Kenapa nggak datang lagi?” gumam Quin. Dia meregangkan lengannya ke atas,

  • Sweet Chaos   5. Sebuah Rahasia Yang Tak Seharusnya Diketahui

    Menghirup udara pagi ketika segala beban telah berlalu ternyata menyegarkan. Tidak ada tugas. Tidak ada ujian. Yang menantinya hanya liburan! Oh, indahnya menjadi mahasiswi. Setelah disibukan dengan tugas dan ujian, satu bulan lebih ujian telah menanti. Pulang kampung rasanya terdengar begitu merdu di telinga Sena. “Packing, ke rumah Maura ambil oleh-oleh, dan ke stasiun! Oh, indahnya,” gumam Sena yang masih bergulat di balik selimut. Tetangga sebelah kamarnya sudah pulang sejak kemarin. Sena sengaja menunda kepulangannya satu hari karena ibu Maura yang minta. Katanya ibu Maura hendak menyiapkan sesuatu untuk orangtua Maura. Seperti kata Maura, rejeki tidak boleh ditolak. Tidak masalah kalau harus menunda pulang satu hari. Yang penting tidak menyakiti hati ibu Maura. Sena menutup mulutnya yang sedang menguap. Di raihnya ponsel yang sejak tadi tidak ada bunyinya. Entah sejak kapan, tapi Quin sudah tidak menerornya dengan pesan dan panggilan telepon lagi. “Kaya

  • Sweet Chaos   6. Awal Sebuah Kekacauan

    Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari. Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar. Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lem

  • Sweet Chaos   7. Jangan Usil

    Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan

  • Sweet Chaos   8. Psikopat Tampan

    Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa

  • Sweet Chaos   9. Menjadi Tawanan

    Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan

  • Sweet Chaos   10. Jangan Berani Menyakiti Tubuhmu!

    Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta

  • Sweet Chaos   11. Dress Super Seksi

    Sena tertidur! Tepat pukul enam pagi gadis itu baru membuka matanya. Padahal semalam dia hanya pura-pura tidur saja. Hanya agar Quin meninggalkan kamar ini. Namun, dia justru tertidur. Dia bahkan tidak tahu kapan Quin meninggalkannya. Semoga saja Quin tidak melakukan apapun saat Sena tertidur. Sena sedikit merintih saat merasakan sakit di perutnya. Bukan sakit yang berbahaya. Dia hanya lapar. Tidak! Sangat lapar! Seingat Sena, makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanya roti dengan cream keju yang dia beli di indomart dan susu coklat yang sengaja dia habiskan karena akan pulang kampung. Setelahnya, tidak ada lagi makanan yang masuk sampai saat ini. Jadi, tidak heran jika kini perut Sena keroncongan. Sena mengelus perutnya. Bodoh! Dia memang bodoh! Di mana-mana orang yang berjuang juga butuh makan! Harusnya dia tidak sok memberontak dengan membuang makanan. Dia melupakan perkataan Maura, bahwa rejeki tidak boleh ditolak. “Terlanjur. Semua sudah terlanjur. Ak

Bab terbaru

  • Sweet Chaos   44. Memendam Curiga

    “Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa

  • Sweet Chaos   43. Si Pengganggu

    Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski

  • Sweet Chaos   42. Kedatangan Gadis Menyebalkan

    Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku

  • Sweet Chaos   41. Asyik Bermain Di Pantai

    “Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.

  • Sweet Chaos   40. Menyelundup Ke Atap

    Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang

  • Sweet Chaos   39. Balada Memasang Seprei

    Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol

  • Sweet Chaos   38. Pulang Bawa Oleh-oleh

    Kedatangan Sena sudah seperti kejutan untuk ayah dan ibunya. Terutama saat mereka menyadari keberadaan Quin. Mereka sama sekali tidak menyangka anak gadisnya akan turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang pemuda tampan beserta pria paruh baya berpakaian super rapi. Walau Sekretaris An dan pengawalnya langsung meninggalkan rumah Sena, tapi orangtua Sena sempat melihat rombongan kecil itu. Orangtua Sena bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki yang Sena bawa? Sena memeluk ibu dan ayahnya secara bergantian. Rindu yang telah lama dia tahan, akhirnya terbayar sudah. Sena juga bersikap biasa-biasa saja, seolah dia tidak tahu kalau adiknya baru saja mengalami kecelakaan. “Seno di mana?” tanya Sena. Ayah dan ibu Sena saling berpandangan. Mungkin bingung bagaimana menjelaskan keadaan anak laki-laki mereka, tapi karena Sena sudah datang, mau tidak mau mereka tetap harus menceritakan kejadian yang adiknya alami. “Seno di kamarnya, sedang istirahat.

  • Sweet Chaos   37. Pulang Kampung

    “Nggak bisa!” seru Sekretaris An. Bahasa bakunya pada bosnya hilang sudah. Semua karena permintaan Quin atau lebih tepatnya permintaan Sena pada Quin. Penjelasan panjang Quin pada akhirnya bisa Sena mengerti. Kini Sena tak lagi marah pada Quin. Namun, kekhawatirannya pada sang adik masih sama besar. Terlebih setelah Sena tahu alasan dibalik kecelakaan adiknya. Sena semakin takut hal buruk akan kembali menerpa keluarganya. Sebagai balasan atas kepercayaan Sena pada Quin, Sena ingin pulang walau hanya satu atau dua hari saja. “Aku mohon, Quin. Sebentar saja. Aku janji, aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma di rumah saja. Aku janji,” pinta Sena. Sesungguhnya melihat wajah Sena yang penuh dengan keputusasaan sudah cukup membuat Quin mengiyakan permintaan Sena. Namun, akal sehat Quin langsung menolaknya. Bayangkan, karena Quin membawa Sena keluar, ayahnya sampai membuat adik Sena kecelakaan. Apa yang terjadi jika Quin sampai membiarkan Sena pulang ke kampu

  • Sweet Chaos   36. Kumohon, Percayalah Padaku.

    Quin perlahan berdiri. Dia masih memegang kedua tangan Sena. Meski Sena belum mau menatapnya, setidaknya sekarang Sena sudah tenang. Diamnya Sena sama saja memberi kesempatan pada Quin. Kesempatan untuk menceritakan segalanya. Akar dari masalah yang seharusnya tak melibatkan Sena. “Aku nggak pernah pengin ngurung kamu di sini.” Quin memulai ceritanya. Mungkin terdengar seperti pembual jika mengingat semua perbuatan Quin pada Sena. Namun, dia tidak sedang membual atau membuat sebuah cerita. Memang seperti itu kenyataannya. Dia hanya sengaja bersikap brengsek karena memang hanya itu yang terpikir olehnya saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Sena dari ayahnya. Siapa sangka kini Quin justru terperangkap dengan permainannya sendiri. Dia sendiri yang justru tak ingin melepaskan Sena. “Aku tau, aku sudah jahat padamu. Aku mempermainkanmu, bahkan menyebutmu sebagai mainanku. Brengsek sekali ya, aku? Tapi, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Sena. Aku nggak mau ayah macam-ma

DMCA.com Protection Status