Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil.
“Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.”
Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima.
Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yang tengah mereka lakukan dan tidak pernah ada satupun orang yang berani masuk untuk sekadar mengambil layang-layang. Apalagi jika orang itu tahu ada banyak pengawal di rumah itu.
Benar apa yang dikatakan anak yang meminta Sena untuk mengambilkan layang-layang. Seluruh pengawal memang meninggalkan pos tempat mereka berjaga atas suruhan Quin. Mereka berkumpul di samping rumah dengan Sekretaris An yang menyeret seseorang.
Awal kedatangannya, orang yang Sekretaris An seret, masih baik-baik saja. Orang itu sama sekali tidak melawan karena sudah terlanjur takut melihat orang-orang yang Sekretaris An bawa. Hanya saja orang itu sama sekali tidak menduga, Quin akan memukulinya tanpa henti.
Wigar yang pada dasarnya tahu tindak tanduk istrinya, juga tahu saat orang yang istrinya bawa, telah ditangkap oleh Sekretaris An. Dia yang memang kebetulan masih ada di Semarang, segera meluncur ke rumah yang memang dia bangun untuk Quin.
Quin bersama ayahnya tiba di samping rumah. Baru datang saja, dia sudah menginjak tangan orang yang tidak diketahui namanya oleh Quin. Quin hanya tahu, orang itu beberapa hari yang lalu sempat berniat menabrak mobil Quin dengan truk besar. Walau diseting senatural mungkin, tapi Quin tahu, nyawanya sedang dalam incaran seseorang.
“Ma—maafkan saya, Tuan,” pinta orang itu dengan menahan sakit dari tangannya. Quin yang mendengar itu, tertawa sinis dengan masih menginjakkan kakinya di tangan orang itu.
“Jangan terlalu keras, Quin. Kita punya hukum.”
“Hukum?” Quin tertawa. Memang kita punya hukum, tapi bagi Quin, hukum hanya berpihak pada orang yang berkuasa dan status Quin saja tidak jelas. Bagaimana bisa dia melawan istri ayahnya dengan jalur hukum? Bahkan di antara pengawal yang selama ini menjaganya, hanya ada dua tiga orang saja yang setia pada Quin. Sisanya tidak benar-benar tunduk pada Quin. Mereka hanya menurut perkataan Wigar saja.
“Aku masih mampu menghukum orang,” ucap Quin seraya menendang orang itu dengan kuat. Tubuh orang itu terpental ke belakang.
Wigar menghela napas seraya membuang muka. Hal seperti ini pernah terjadi, ketika Quin masih tinggal di Amerika. Istri Wigar pernah membayar orang untuk menyusup ke rumah Quin dan membunuh Quin. Tidak sia-sia Quin berlatih bela diri. Dia mampu melawan orang itu dan pada akhirnya orang itu lah yang berakhir dengan tragis. Andai saat itu Wigar tidak datang dan menolong orang itu, mungking orang itu tidak akan selamat.
Quin tiba-tiba menjulurkan tangannya ke samping. Seseorang menyerahkan kayu pada Quin dan detik berikutnya Quin menghujani orang itu dengan pukulan. Tidak ada satupun orang yang berani membantu orang itu. Semuanya hanya diam menonton. Wigar pun hanya diam. Sampai akhirnya Sena datang.
Quin sama sekali tidak pernah menduga, gadis itu akan ada di sana, duduk dengan wajah ketakutan. Lancang! Hanya kata itu yang ada di pikiran Quin hingga dia memutuskan untuk menampar Sena.
Dengan tangan yang penuh dengan darah karena Quin tak hanya memukuli orang itu dengan kayu, tapi juga dengan tangannya sendiri, dia mengangkat tubuh Sena, membawanya ke dalam salah satu kamar yang ada di lantai empat. Tepatnya kamar yang berada persis di samping kamarnya.
Quin membasuh tangannya yang dipenuhi dengan darah. Dia sepertinya terlalu kuat saat memegang kayu hingga telapak tangannya juga ikut tergores di beberapa bagian. Hanya goresan kecil. Sama sekali bukan masalah. Yang terpenting saat ini Quin sudah meluapkan emosinya.
Beberapa pengawal membawa orang itu ke sebuah rumah untuk diobati. Wigar tentu tidak mungkin membiarkan ada hal kecil yang membuat namanya tercoreng. Separah apapun luka yang diderita orang itu, dia akan menyelamatkannya.
Beberapa pengawal lain, menemukan anak yang datang bersama Sena. Anak itu dihadapkan pada Quin. Sama seperti Sena, anak itu pun tampak ketakutan. Jelas, yang menyeretkan orang-orang berbadan besar.
“Jangan takut. Aku bukan orang jahat,” kata Quin sambil tersenyum. Walau Quin bisa begitu keras pada orang yang memang bersalah, tapi dia juga bisa bersikap santai pada anak-anak.
“Kakak yang tadi di mana?” tanya anak kecil itu dengan nada ragu.
“Oh, kakak itu? Kakak itu ada di kamarnya.”
“Ka—kamarnya?”
“Iya, kamarnya.”
“Emangnya kakak itu tinggal di sini?”
Quin mengangguk-angguk.
“Iya, kakak itu tingal di sini.”
Anak kecil itu tampak tidak percaya dengan ucapan Quin.
“Nggak percaya? Mau lihat sendiri? Kakak itu lagi tidur.”
Ucapan Quin semakin membuat anak itu tidak percaya. Bagaimana mungkin Sena tidur padahal Sena berniat mengambilkan anak itu layang-layang?
“Ayo, kalau mau ikut.”
Anak itu dengan cepat menggeleng. Masuk ke ruang tamu saja anak itu sudah ketakutan, apalagi kalau masuk ke dalam kamar. Dia dan teman-temannya termasuk salah satu anak yang menganggap rumah ini sebagai rumah hantu.
“Percaya.”
Tidak lama, anak buah Quin datang dengan membawakan sebuah layang-layang. Anak itu tampak senang, tapi saat melihat wajah Quin, tubuhnya kembali mengerut.
“Ambil aja. Itu memang punya kamu, kan?”
Anak itu mengangguk kecil.
“Ambil dan segera pulang ke rumah. Jangan bilang sama siapapun kalau kamu pernah masuk ke rumah ini.”
“I—iya. Aku nggak akan bilang ke siapapun.”
“Anak pintar.”
Quin membiarkan anak itu keluar. Setelahnya, dia kembali ke kamar Sena, berharap gadis itu sudah terbangun. Namun, Sena masih larut dalam tidurnya.
“Sena?” bisik Quin. Dia kembali duduk di samping Sena. Tatapannya tampak jatuh pada bibir mungil Sena. Diusapnya bibir itu perlahan sebelum dia mendekatkan wajahnya ke arah Sena. Sangat dekat sebelum akhirnya bibir Quin menyentuh lembut bibir Sena. Hanya sentuhan kecil, tapi cukup membuat Quin tersenyum.
“Sena?” Quin kembali berbisik. Kali ini dia mencium pelan telinga Sena. “Sena yang usil, bangunlah.”
Dan gadis itu pun terbangun. Sudut bibir Quin terangkat saat melihat Sena yang mengerjapkan mata dengan cepat. Sepertinya gadis itu masih belum sadar, bahwa ada Quin di sampingnya.
Quin meraih wajah Sena dan membuat gadis itu menatapnya. Bola mata Sena seketika melebar. Quin terlalu dekat. Dia sampai bisa merasakan hembusan napas Quin.
“Sena, putri tidur yang usil.”
Seringai Quin membuat Sena sadar, bahwa dia tidak sedang bermimpi. Dia memang ada di sarang singa dan bahkan kini dia sedang ada dalam cengkraman singa. Yang menanti Sena hanyalah dua hal. Mendapat terkaman dari singa yang membuat dia menghilang untuk selama-lamanya atau mendapatkan cabikan yang sakitnya bertahan lama. Atau lebih jelasnya, pilihannya hanya Quin akan membunuhnya atau membuat Sena menderita untuk selama-lamanya.
***
Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa
Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan
Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta
Sena tertidur! Tepat pukul enam pagi gadis itu baru membuka matanya. Padahal semalam dia hanya pura-pura tidur saja. Hanya agar Quin meninggalkan kamar ini. Namun, dia justru tertidur. Dia bahkan tidak tahu kapan Quin meninggalkannya. Semoga saja Quin tidak melakukan apapun saat Sena tertidur. Sena sedikit merintih saat merasakan sakit di perutnya. Bukan sakit yang berbahaya. Dia hanya lapar. Tidak! Sangat lapar! Seingat Sena, makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanya roti dengan cream keju yang dia beli di indomart dan susu coklat yang sengaja dia habiskan karena akan pulang kampung. Setelahnya, tidak ada lagi makanan yang masuk sampai saat ini. Jadi, tidak heran jika kini perut Sena keroncongan. Sena mengelus perutnya. Bodoh! Dia memang bodoh! Di mana-mana orang yang berjuang juga butuh makan! Harusnya dia tidak sok memberontak dengan membuang makanan. Dia melupakan perkataan Maura, bahwa rejeki tidak boleh ditolak. “Terlanjur. Semua sudah terlanjur. Ak
Kamar Sena atau yang lebih tepat disebut sebagai rumah tahanan Sena, kini terasa lebih sesak dengan adanya dua kursi serta satu meja ukuran sedang. Pelayan Quin menyulap sisa ruang kosong di kamar menjadi meja makan untuk Sena dan Quin.Quin duduk dengan menyilangkan kaki. Tak lupa kedua tangannya saling melipat dengan punggung bersandar pada kursi. Cara duduk yang menunjukkan seolah dialah pemimpin di sana. Tidak ada yang boleh melawan perintahnya.Tatapan Sena jatuh pada makanan di atas meja. Perutnya yang sudah keroncongan, memaksanya untuk segera menandaskan semua yang bisa dia makan. Namun, harga diri Sena menuntut untuk tidak gegabah. Terlebih karena saat ini Quin sedang mengamatinya.“Nggak mau makan lagi?” tanya Quin. Dia sendiri hanya menyeruput kopi padahal sebelumnya pria itu mengajaknya untuk sarapan bersama. Apa dia pikir, minum kopi disebut sebagai sarapan?Quin mengambil cangkir berisi café au lait yang artinya kopi susu pahit, jenis minuman tr
Membawa orang lain dalam masalah, itulah yang baru saja Sena lakukan. Tindakan bodohnya yang berteriak pada anak sekolah yang lewat, telah membuat nyawa anak sekolah itu terancam. Kini, anak itu sedang dalam pengejaran pengawal Quin. Hanya tinggal menunggu waktu sampai anak itu tertangkap dan waktunya lebih cepat dari yang Sena bayangkan.Bukan hal yang sulit bagi pengawal Quin untuk menangkap anak itu. Sebagai pengawal terlatih, tentu berlari bukan hal yang sulit untuk mereka. Tenaga mereka bahkan tak mudah habis meski sudah berlari cukup lama.Dengan sedikit menyeret, salah satu pengawal Quin membawa anak itu kembali ke rumah Quin. Anak itu tampak ketakutan. Jelas, siapa yang tidak takut melihat beberapa orang berbadan besar dengan wajah garang, membawanya ke sebuah sarang yang katanya tempat penculikan.“Maaf, Om, saya nggak akan bilang sama siapa-siapa. Maaf, Om, saya nggak tau cewek tadi. Saya janji, aku nggak akan lapor sama siapapun, Om. Tolong, Om, jangan b
Sena merebahkan dirinya setelah mengobati luka di kakinya. Memang lukanya sudah mulai kering, tapi masih sedikit perih jika dipakai untuk jalan. Pandangan Sena jatuh pada langit-langit kamarnya. Bahkan langit-langit kamar ini tampak cantik. Di sekelilingnya ada cahaya lampu dengan warna gradasi hijau biru. Namun, Sena tidak merasa senang sedikitpun. Kalau mau dibandingkan dengan rumah Sena, jelas beda jauh. Kamar Sena hanya berukuran tiga kali tiga meter. Itu pun sudah penuh karena diisi kasur ukuran sedang, meja dan kursi belajar, serta lemari pakaian. Sedang di kamar ini, besarnya sudah seperti tiga kamar di rumah Sena yang dijadikan satu. Tidak peduli! Sena tidak peduli betapa mewahnya kamar dia saat ini. Dari mulai kasur, meja, lemari, bahkan kamar mandinya yang begitu mewah, sama sekali tidak membuat Sena betah. Dia merindukan kamarnya di Pemalang. Dia rindu untuk bercerita banyak hal pada adik laki-lakinya. Dan yang lebih dia rindukan, pelukan ayah dan ibunya.
“Kyaaaaaaaa!!!”Sena menjerit sejadi-jadinya saat mendapati seorang laki-laki tertidur di sampingnya. Tidak! Bukan hanya tidur! Laki-laki itu bahkan dengan sembarangan melingkarkan lengannya pada perut Sena. Tak ayal, Sena menjerit begitu membuka matanya.Seolah merasa tak terganggu dengan jeritan Sena—atau mungki sudah menduga Sena akan menjerit—Quin dengan santainya mengeratkan pelukannya pada Sena. Sama sekali tidak peduli jika gadis itu kini mematung menatap lengan yang seolah sedang menguasainya.Sebagai gadis yang tidak berpengalaman akan hal-hal yang berbau cinta, berpegangan tangan saja sudah menjadi hal yang spesial untuk Sena. Dan kini, ada laki-laki yang dengan kurang ajarnya memeluknya, bahkan tidur di sampingnya! Sungguh gila! Sena bahkan tidak menyadari sejak kapan Quin ada di sampingnya.Seingat Sena, semalam dia langsung tertidur setelah kembali menggalau. Tentunya dia mandi karena tidak ingin disindir-sindir lagi o
“Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa
Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski
Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku
“Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.
Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang
Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol
Kedatangan Sena sudah seperti kejutan untuk ayah dan ibunya. Terutama saat mereka menyadari keberadaan Quin. Mereka sama sekali tidak menyangka anak gadisnya akan turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang pemuda tampan beserta pria paruh baya berpakaian super rapi. Walau Sekretaris An dan pengawalnya langsung meninggalkan rumah Sena, tapi orangtua Sena sempat melihat rombongan kecil itu. Orangtua Sena bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki yang Sena bawa? Sena memeluk ibu dan ayahnya secara bergantian. Rindu yang telah lama dia tahan, akhirnya terbayar sudah. Sena juga bersikap biasa-biasa saja, seolah dia tidak tahu kalau adiknya baru saja mengalami kecelakaan. “Seno di mana?” tanya Sena. Ayah dan ibu Sena saling berpandangan. Mungkin bingung bagaimana menjelaskan keadaan anak laki-laki mereka, tapi karena Sena sudah datang, mau tidak mau mereka tetap harus menceritakan kejadian yang adiknya alami. “Seno di kamarnya, sedang istirahat.
“Nggak bisa!” seru Sekretaris An. Bahasa bakunya pada bosnya hilang sudah. Semua karena permintaan Quin atau lebih tepatnya permintaan Sena pada Quin. Penjelasan panjang Quin pada akhirnya bisa Sena mengerti. Kini Sena tak lagi marah pada Quin. Namun, kekhawatirannya pada sang adik masih sama besar. Terlebih setelah Sena tahu alasan dibalik kecelakaan adiknya. Sena semakin takut hal buruk akan kembali menerpa keluarganya. Sebagai balasan atas kepercayaan Sena pada Quin, Sena ingin pulang walau hanya satu atau dua hari saja. “Aku mohon, Quin. Sebentar saja. Aku janji, aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma di rumah saja. Aku janji,” pinta Sena. Sesungguhnya melihat wajah Sena yang penuh dengan keputusasaan sudah cukup membuat Quin mengiyakan permintaan Sena. Namun, akal sehat Quin langsung menolaknya. Bayangkan, karena Quin membawa Sena keluar, ayahnya sampai membuat adik Sena kecelakaan. Apa yang terjadi jika Quin sampai membiarkan Sena pulang ke kampu
Quin perlahan berdiri. Dia masih memegang kedua tangan Sena. Meski Sena belum mau menatapnya, setidaknya sekarang Sena sudah tenang. Diamnya Sena sama saja memberi kesempatan pada Quin. Kesempatan untuk menceritakan segalanya. Akar dari masalah yang seharusnya tak melibatkan Sena. “Aku nggak pernah pengin ngurung kamu di sini.” Quin memulai ceritanya. Mungkin terdengar seperti pembual jika mengingat semua perbuatan Quin pada Sena. Namun, dia tidak sedang membual atau membuat sebuah cerita. Memang seperti itu kenyataannya. Dia hanya sengaja bersikap brengsek karena memang hanya itu yang terpikir olehnya saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Sena dari ayahnya. Siapa sangka kini Quin justru terperangkap dengan permainannya sendiri. Dia sendiri yang justru tak ingin melepaskan Sena. “Aku tau, aku sudah jahat padamu. Aku mempermainkanmu, bahkan menyebutmu sebagai mainanku. Brengsek sekali ya, aku? Tapi, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Sena. Aku nggak mau ayah macam-ma