Membawa orang lain dalam masalah, itulah yang baru saja Sena lakukan. Tindakan bodohnya yang berteriak pada anak sekolah yang lewat, telah membuat nyawa anak sekolah itu terancam. Kini, anak itu sedang dalam pengejaran pengawal Quin. Hanya tinggal menunggu waktu sampai anak itu tertangkap dan waktunya lebih cepat dari yang Sena bayangkan.
Bukan hal yang sulit bagi pengawal Quin untuk menangkap anak itu. Sebagai pengawal terlatih, tentu berlari bukan hal yang sulit untuk mereka. Tenaga mereka bahkan tak mudah habis meski sudah berlari cukup lama.
Dengan sedikit menyeret, salah satu pengawal Quin membawa anak itu kembali ke rumah Quin. Anak itu tampak ketakutan. Jelas, siapa yang tidak takut melihat beberapa orang berbadan besar dengan wajah garang, membawanya ke sebuah sarang yang katanya tempat penculikan.
“Maaf, Om, saya nggak akan bilang sama siapa-siapa. Maaf, Om, saya nggak tau cewek tadi. Saya janji, aku nggak akan lapor sama siapapun, Om. Tolong, Om, jangan b
Sena merebahkan dirinya setelah mengobati luka di kakinya. Memang lukanya sudah mulai kering, tapi masih sedikit perih jika dipakai untuk jalan. Pandangan Sena jatuh pada langit-langit kamarnya. Bahkan langit-langit kamar ini tampak cantik. Di sekelilingnya ada cahaya lampu dengan warna gradasi hijau biru. Namun, Sena tidak merasa senang sedikitpun. Kalau mau dibandingkan dengan rumah Sena, jelas beda jauh. Kamar Sena hanya berukuran tiga kali tiga meter. Itu pun sudah penuh karena diisi kasur ukuran sedang, meja dan kursi belajar, serta lemari pakaian. Sedang di kamar ini, besarnya sudah seperti tiga kamar di rumah Sena yang dijadikan satu. Tidak peduli! Sena tidak peduli betapa mewahnya kamar dia saat ini. Dari mulai kasur, meja, lemari, bahkan kamar mandinya yang begitu mewah, sama sekali tidak membuat Sena betah. Dia merindukan kamarnya di Pemalang. Dia rindu untuk bercerita banyak hal pada adik laki-lakinya. Dan yang lebih dia rindukan, pelukan ayah dan ibunya.
“Kyaaaaaaaa!!!”Sena menjerit sejadi-jadinya saat mendapati seorang laki-laki tertidur di sampingnya. Tidak! Bukan hanya tidur! Laki-laki itu bahkan dengan sembarangan melingkarkan lengannya pada perut Sena. Tak ayal, Sena menjerit begitu membuka matanya.Seolah merasa tak terganggu dengan jeritan Sena—atau mungki sudah menduga Sena akan menjerit—Quin dengan santainya mengeratkan pelukannya pada Sena. Sama sekali tidak peduli jika gadis itu kini mematung menatap lengan yang seolah sedang menguasainya.Sebagai gadis yang tidak berpengalaman akan hal-hal yang berbau cinta, berpegangan tangan saja sudah menjadi hal yang spesial untuk Sena. Dan kini, ada laki-laki yang dengan kurang ajarnya memeluknya, bahkan tidur di sampingnya! Sungguh gila! Sena bahkan tidak menyadari sejak kapan Quin ada di sampingnya.Seingat Sena, semalam dia langsung tertidur setelah kembali menggalau. Tentunya dia mandi karena tidak ingin disindir-sindir lagi o
Sena memutar bola matanya saat melihat Quin membuka mulut lebar-lebar. Tangannya yang nakal, sembarangan melingkari tubuh Sena. Meski berkali-kali Sena sudah menepis tangan itu, tapi tempat duduk mereka yang begitu rapat membuat Quin terus-terusan berusaha memeluk Sena.“Orang yang mesumnya sudah akut, ya begini,” gerutu Sena. Tangannya menyendok nasi dengan setengah hati. Hanya nasi. Dia menyuapkan gumpalan nasi itu pada Quin. Herannya Quin tetap tersenyum lebar menerimanya meski tanpa lauk.“Bahkan batu pun mungkin tetap akan aku makan kalau kamu yang menyuapiku, Sena,” canda Quin. Senang sekali dia mempermainkan Sena dengan kata-kata.Berhubung di sana tidak ada batu ataupun kerikil, Sena mengambil potongan cabai berwarna orange dan menyuapkannya pada Quin. Lagi-lagi Quin membuka mulut tanpa protes walau wajahnya terlihat aneh.“Minum,” pinta Quin sambil menunjuk air mineral dengan dagunya. Sena mengambilkannya dengan setengah hati.“Sekarang aku ben
Sena menghela napas dalam. Dadanya terasa sesak. Layar di depannya sudah tak lagi menayangkan film. Lampu di bioskop mini ini pun sudah kembali menyala. Namun, rasa sakit di hati Sena masih terasa. Air matanya sulit untuk dia hentikan. Sebuah tangan menyentuh lembut pipi Sena dan menghapus air matanya. Air mata yang entah kenapa tak mau berhenti. Sena sampai sesenggukkan. Padahal di awal cerita, dia tertawa terbahak-bahak sampai melupakan kenyataan bahwa ada Quin yang berbaring manis di pangkuannya. Sena menunduk menatap Quin. Dia masih sesenggukkan, tapi tiba-tiba tangisnya buyar saat melihat wajah Quin. Tangis itu mendadak berubah menjadi tawa tatkala dilihatnya dahi Quin yang basah, penuh air mata Sena. Gadis yang semula sesenggukkan itu, kini tertawa kencang dengan masih mengalirkan air mata. Buyar sudah! Seharusnya yang baru saja terjadi—Quin yang menghapus air mata Sena—adalah momen yang romantis. Quin bahkan menyeka air mata Sena secara perlahan. Jika
Jika ada yang melihat Sena dan Quin saat ini, mungkin mereka akan berpikir kalau dua anak manusia itu tampak begitu manis ketika bersama. Sudah seperti sepasang kekasih yang saling mengasihi. Sama-sama tertidur pulas. Quin yang tertidur dalam pangkuan Sena, sedang Sena yang ketiduran setelah menyanyikan lagu pengiring tidur untuk Quin.Kedua tangan Quin menggenggam erat tangan kiri Sena dan dia letakkan di atas perutnya. Tangan Sena yang lain, berada tidak jauh dari kepala Quin karena sebelumnya dia membelai rambut Quin. Kepala Sena beberapa kali hampir miring ke samping, tapi dengan cepat gadis itu meluruskan kembali kepalanya walau masih dalam keadaan tertidur.Yang pertama kali terbangun adalah Sena. Kakinya terasa kesemutan karena dijadikan bantal oleh Quin. Jika ditotal dengan sebelumnya, Quin sudah menjadikan kaki Sena sebagai bantal selama empat jam nonstop! Rasanya tidak akan heran kalau besok pagi Sena akan terbangun dengan kaki yang sakit.Sena yang pa
Sena tertegun. Dia tidak menyangka akan melihat wajah Quin yang tampak sedih. Laki-laki arogan itu tersenyum, tapi matanya menunjukkan kesedihan. Seolah ada luka yang selama ini tersembunyi. Ada kesedihan yang tak ingin terungkap. “Pokoknya nggak ada yang nyariin kamu selain orangtuamu dan Maura.” Quin mendadak tersenyum lebar. Kesedihannya seketika menghilang. “Apalagi setelah aku bilang kalau kamu sibuk, mereka cuma menanyakan keadaanmu.” “Maksud kamu?” “Tenang saja, kamu nggak akan dilaporkan sebagai orang hilang. Orangtua kamu juga nggak akan cemas karena anaknya menghilang.” “Maksud kamu gimana? Bilang yang jelas!” desak Sena. Dia malah lebih suka kalau orangtuanya melaporkan Sena yang hilang. Setidaknya akan ada polisi yang akan mencari Sena. “Aku bilang sama orangtuamu kalau kamu nggak jadi pulang. Kamu perlu mengulang beberapa mata kuliah yang nilainya jelek. Kamu perlu fokus belajar, jadi jarang buka hp. Tapi, aku bilang hal lain ke M
Kurang ajar adalah nama tengah yang cocok untuk seorang Quin. Hanya Quin yang dengan kurang ajarnya mencium Sena yang sedang tertidur. Sama sekali tidak peduli meski gadis itu beberapa kali menggeliat, merasa ada yang aneh yang bibirnya. Sampai akhirnya Sena benar-benar terbangun dan kembali dengan jeritan yang memekakkan telinga. “Kyaaaaaaaa!!” jerit Sena seraya mendorong kuat tubuh Quin. Sayang sekali dorongan tangan Sena tak cukup membuat Quin terjatuh di lantai. Laki-laki itu hanya terduduk di pinggir kasur dengan seringai menyebalkan. Padahal Sena berharap Quin jatuh dan kepalanya terbentur. Siapa tahu dengan terbentur, otak Quin bisa menjadi normal. Napas Sena tersengal. Bukan, bukan karena kehabisan napas karena ciuman pagi Quin yang begitu menggebu. Tapi, karena rasa marah yang seketika naik sampai puncak kepalanya. Marah yang sampai membuat Sena tak bisa berkata-kata. “Bukankah menyenangkan, dibangunkan dengan ciuman?” Lihat? Kurang ajar seka
Sena duduk di rerumputan dengan kaki menjuntai ke sungai. Sejuk sekali. Tak seperti perkataan Quin, ikan-ikan kecil justru mengerubungi kaki Sena. Geli sekaligus menyenangkan. Satu jam duduk di sana pun mungkin tak akan membuat Sena bosan. “Sena,” panggil Quin. Begitu Sena menoleh, cekrek! Wajah polos Sena berhasil tertangkap camera Quin. Quin tertawa puas melihatnya. Tak cukup satu kali, laki-laki itu memotret Sena berkali-kali. “Stop! Jangan moto orang sembarangan! Stop, Quin! Aku masih jelek! Jangan sekarang. Stop, stop! Stop, Quin!” jerit Sena, tapi bukannya lari, dia justru tetap duduk di tempatnya. Sadar Quin tak akan mau mendengarkan permintaannya, Sena mencipratkan air ke arah Quin. Quin tertawa puas. Dia sama sekali tidak berniat melindungi cameranya dari air. Dia justru merasa dengan cepratan air itu, hasil fotonya semakin cantik. Terlebih saat Sena sudah turun ke sunga dan semakin banyak mencipratkan air ke arah Quin. Sena menutup wajah den
“Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa
Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski
Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku
“Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.
Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang
Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol
Kedatangan Sena sudah seperti kejutan untuk ayah dan ibunya. Terutama saat mereka menyadari keberadaan Quin. Mereka sama sekali tidak menyangka anak gadisnya akan turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang pemuda tampan beserta pria paruh baya berpakaian super rapi. Walau Sekretaris An dan pengawalnya langsung meninggalkan rumah Sena, tapi orangtua Sena sempat melihat rombongan kecil itu. Orangtua Sena bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki yang Sena bawa? Sena memeluk ibu dan ayahnya secara bergantian. Rindu yang telah lama dia tahan, akhirnya terbayar sudah. Sena juga bersikap biasa-biasa saja, seolah dia tidak tahu kalau adiknya baru saja mengalami kecelakaan. “Seno di mana?” tanya Sena. Ayah dan ibu Sena saling berpandangan. Mungkin bingung bagaimana menjelaskan keadaan anak laki-laki mereka, tapi karena Sena sudah datang, mau tidak mau mereka tetap harus menceritakan kejadian yang adiknya alami. “Seno di kamarnya, sedang istirahat.
“Nggak bisa!” seru Sekretaris An. Bahasa bakunya pada bosnya hilang sudah. Semua karena permintaan Quin atau lebih tepatnya permintaan Sena pada Quin. Penjelasan panjang Quin pada akhirnya bisa Sena mengerti. Kini Sena tak lagi marah pada Quin. Namun, kekhawatirannya pada sang adik masih sama besar. Terlebih setelah Sena tahu alasan dibalik kecelakaan adiknya. Sena semakin takut hal buruk akan kembali menerpa keluarganya. Sebagai balasan atas kepercayaan Sena pada Quin, Sena ingin pulang walau hanya satu atau dua hari saja. “Aku mohon, Quin. Sebentar saja. Aku janji, aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma di rumah saja. Aku janji,” pinta Sena. Sesungguhnya melihat wajah Sena yang penuh dengan keputusasaan sudah cukup membuat Quin mengiyakan permintaan Sena. Namun, akal sehat Quin langsung menolaknya. Bayangkan, karena Quin membawa Sena keluar, ayahnya sampai membuat adik Sena kecelakaan. Apa yang terjadi jika Quin sampai membiarkan Sena pulang ke kampu
Quin perlahan berdiri. Dia masih memegang kedua tangan Sena. Meski Sena belum mau menatapnya, setidaknya sekarang Sena sudah tenang. Diamnya Sena sama saja memberi kesempatan pada Quin. Kesempatan untuk menceritakan segalanya. Akar dari masalah yang seharusnya tak melibatkan Sena. “Aku nggak pernah pengin ngurung kamu di sini.” Quin memulai ceritanya. Mungkin terdengar seperti pembual jika mengingat semua perbuatan Quin pada Sena. Namun, dia tidak sedang membual atau membuat sebuah cerita. Memang seperti itu kenyataannya. Dia hanya sengaja bersikap brengsek karena memang hanya itu yang terpikir olehnya saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Sena dari ayahnya. Siapa sangka kini Quin justru terperangkap dengan permainannya sendiri. Dia sendiri yang justru tak ingin melepaskan Sena. “Aku tau, aku sudah jahat padamu. Aku mempermainkanmu, bahkan menyebutmu sebagai mainanku. Brengsek sekali ya, aku? Tapi, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Sena. Aku nggak mau ayah macam-ma