Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari.
Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar.
Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lemas. Belum lagi ketakutannya melihat semua orang yang menatapnya dengan tatapan membunuh.
Mimpi apa dia semalam? Bukankah semalam dia memimpikan hal yang baik? Sena bahkan bangun dengan tubuh segar dan bersemangat untuk pulang. Lalu, kenapa sekarang dia terjebak situasi yang kemungkinan besar tidak akan menyelamatkan nasibnya?
Oh, ada satu hal lagi yang tidak bisa Sena lewatkan. Di antara orang-orang berbadan besar itu, ada satu orang yang sangat Sena kenali. Orang itu sering sekali muncul di TV. Seseorang yang tidak seharusnya membiarkan Quin melakukan hal itu. Salah satu kandidat calon Presiden tahun depan!
Hibram Wigar Adiyaksa, seorang pengacara yang memutuskan berkarier dalam bidang politik dengan mengawali menjadi seorang DPD hingga menjadi ketua staf untuk Presiden, sebelum akhirnya digadang-gadang menjadi calon kuat pada pemilihan Presiden tahun depan. Namun, apa yang sedang Wigar lakukan di sini?
Sena menatap Quin. Bukankah laki-laki itu sebelumnya terlihat tertarik dengan Sena? Jadi, mungkinkah Quin akan berbaik hati pada Sena? Sena selalu bisa menjaga rahasia. Apa yang dia lihat hari ini, dia pastikan tidak akan bocor ke luar. Dia bahkan tidak akan mengatakan pada siapapun bahwa Wigar ada di sini. Dia janji. Namun, apa yang Sena lihat dari Quin, mematahkan segala harapannya.
Sorot mata Quin tak melembut sedikitpun saat menatap Sena. Langkah kakinya yang perlahan mendekat, terlihat sangat mengancam. Seharusnya Sena lari sekarang juga! Tidak peduli apakah orang-orang itu akan mengejarnya atau tidak, dia tetap harus berusaha kabur. Toh, ini masih siang. Pasti akan ada satu dua orang yang lewat di depan. Namun, sial! Mulut, kaki, dan tangannya sekongkol tak mau bergerak. Yang Sena lakukan hanyalah menatap Quin dengan air mata yang perlahan mengalir tanpa beban
“Qu—in,” panggil Sena lirih. Kata itu berhasil lolos dari mulutnya setelah Sena berjuang menggerakkan mulutnya.
Quin yang telah tiba di depan Sena, menangkup wajah Sena.
“Usil seperti biasanya, Sena? Atau rindu padaku?”
Ucapan dan tatapannya sangat jauh berbeda. Wajah Quin tetap mengerikan walau ucapannya terdengar santai. Ketakutan yang Sena rasakan sudah ada di puncaknya. Dia pasrah. Kalau nanti dia juga harus berakhir seperti laki-laki yang Quin pukuli, ya sudah! Memang sudah nasib Sena. Walau Sena tetap berharap, Quin akan mengampuninya.
“Di sini bukan tempat main, Sena. Tapi, karena kamu sudah terlanjur datang ke sini, aku nggak masalah. Mulai sekarang kita bisa main-main di sini.” Nada bicara Quin semakin merendah bersamaan dengan wajahnya yang semakin dekat dengan wajah Sena.
“Quin!”
Suara berat Wigar membuat Quin merasa terusik.
“Sudah nggak ada urusan lagi, kan? Kalau begitu, Ayah bisa pergi. Sekalian bawa orang yang istri Ayah kirim untukku. Katakan padanya, aku nggak akan mati. Sampai kapanpun!”
Sebuah informasi baru masuk ke dalam telinga Sena. Dia tidak salah dengar, bukan? Quin memanggil Wigar dengan sebutan ayah? Walau saat ini otak Sena dipenuhi dengan ketakutan, tapi Sena masing ingat dengan jelas kalau anak Wigar hanya ada dua dan dua-duanya perempuan! Sena yakin sekali karena anak pertama Wigar baru saja menikah bulan lalu dan pernikahannya ditayangkan di televisi. Di sana tidak ada Quin. Tidak pula ada penjelasan jika Wigar memiliki anak laki-laki.
Wigar pergi tanpa mengatakan apapun, disusul tiga orang berbadan besar. Beberapa orang lainnya mengangkut orang yang sudah tak berdaya dengan tindakan yang tidak manusiawi. Disiram dengan air agar sadar sebelum akhirnya diseret menjauh. Sungguh mengerikan di mata Sena. Namun, Sena tidak bisa memikirkan orang lain di saat nyawanya kini terancam.
Quin kembali menangkup wajah Sena. Ditatapnya wajah itu sebelum sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sena. Rasa sakit menjalar dari pipi hingga kepala Sena sebelum akhirnya dia tak sadarkan diri.
***
Ini mimpi!
Ya, Sena yakin dia sedang bermimpi! Namun, matanya yang terasa begitu berat, tak mau terbuka. Sekeras apapun Sena berusaha, kelopak matanya tetap menutup. Namun, sebuah suara membuat Sena seolah berpindah ke suatu tempat.
“Sena? Sena, Sayang? Ini ibu, Sena.”
Suara yang sangat Sena rindukan, terdengar begitu lembut di telinga Sena. Lalu, muncul lah ibu yang tersenyum ke arah Sena.
“Sena, lagi apa?”
Dan tiba-tiba saja Sena menyadari di mana dia sekarang. Kamarnya! Dia sekarang sudah ada di kamarnya sendiri. Kamar yang sekarang hanya dia gunakan dua atau tiga kali dalam satu bulan, setiap kali dia pulang ke kampungnya.
Mendadak Sena berlari dan memeluk ibunya. Rindu. Sangat rindu. Bayangan saat dia melihat sorot mata Quin, membuat pelukan Sena semakin erat. Lega rasanya melihat ibunya. Dia selamat. Dia tidak dibunuh oleh Quin.
“Sena, ada yang nungguin kamu di luar.”
“Siapa, Ibu?”
“Ibu nggak tau. Katanya teman kamu. Dia bilang, dia rindu keusilanmu.”
Sena mengerutkan keningnya. Perkataan ibu terdengar aneh. Namun, Sena sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun. Dia hanya ingin memeluk ibunya.
“Temui teman kamu dulu, Sayang.”
Sena menggeleng dan tetap memeluk ibunya, tapi ibunya justru berusaha melepaskan pelukan Sena.
“Ayo, Sena, jangan buat teman kamu nunggu kelamaan. Ayo, cepat temui sekarang. Ibu nggak suka kalau anak ibu manja seperti ini. Ayo, Sena, jangan usil.”
Sena meregangkan pelukannya agar bisa melihat wajah ibunya. Ibunya tak lagi tersenyum.
“Temui teman kamu sekarang!”
Dan pada akhirnya Sena melepaskan pelukannya.
“Sekarang, Sena.”
Ibunya benar-benar aneh. Mereka baru bertemu setelah sekian lama, kenapa ibunya bersikap seperti itu.
“Orangnya ada di ruang tamu.”
“Iya.”
Sena keluar dari kamar dengan diikuti ibunya. Langkahnya terlihat perlahan saat menuruni tangga. Begitu tiba di ruang tengah, Sena berjalan ke depan, menuju ruang tamu. Langkahnya seketika terhenti saat dia melihat seorang laki-laki yang duduk dengan menaikkan kakinya di atas meja dan dua tangan terlihat di depan dada. Senyumnya sinis dan sorot matanya tampak sangat menakutkan.
“Sena?”
Quin jelas memanggil namanya, tapi rasanya terdengar seperti bisikan.
“Sena?”
Suara bisikan itu lagi.
“Sena yang usil, bangunlah.”
Dan seketika tubuh Sena tersentak dan kelopak matanya terbuka. Bukan! Bukan rumahnya! Dia tidak sedang ada di rumahnya. Ruangan yang dia lihat sekarang, terlihat sangat asing. Dan lebih dari itu, seorang laki-laki menakutkan yang terus memanggil Sena dengan bisikan, duduk sambil menunduk ke arah Sena. Wajahnya begitu dekat, hingga Sena bisa merasakan hembusan napasnya.
“Sena, putri tidur yang usil.”
Dan baru kali ini Sena berharap, dia tetap berada dalam dunia mimpi.
***
Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan
Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa
Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan
Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta
Sena tertidur! Tepat pukul enam pagi gadis itu baru membuka matanya. Padahal semalam dia hanya pura-pura tidur saja. Hanya agar Quin meninggalkan kamar ini. Namun, dia justru tertidur. Dia bahkan tidak tahu kapan Quin meninggalkannya. Semoga saja Quin tidak melakukan apapun saat Sena tertidur. Sena sedikit merintih saat merasakan sakit di perutnya. Bukan sakit yang berbahaya. Dia hanya lapar. Tidak! Sangat lapar! Seingat Sena, makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanya roti dengan cream keju yang dia beli di indomart dan susu coklat yang sengaja dia habiskan karena akan pulang kampung. Setelahnya, tidak ada lagi makanan yang masuk sampai saat ini. Jadi, tidak heran jika kini perut Sena keroncongan. Sena mengelus perutnya. Bodoh! Dia memang bodoh! Di mana-mana orang yang berjuang juga butuh makan! Harusnya dia tidak sok memberontak dengan membuang makanan. Dia melupakan perkataan Maura, bahwa rejeki tidak boleh ditolak. “Terlanjur. Semua sudah terlanjur. Ak
Kamar Sena atau yang lebih tepat disebut sebagai rumah tahanan Sena, kini terasa lebih sesak dengan adanya dua kursi serta satu meja ukuran sedang. Pelayan Quin menyulap sisa ruang kosong di kamar menjadi meja makan untuk Sena dan Quin.Quin duduk dengan menyilangkan kaki. Tak lupa kedua tangannya saling melipat dengan punggung bersandar pada kursi. Cara duduk yang menunjukkan seolah dialah pemimpin di sana. Tidak ada yang boleh melawan perintahnya.Tatapan Sena jatuh pada makanan di atas meja. Perutnya yang sudah keroncongan, memaksanya untuk segera menandaskan semua yang bisa dia makan. Namun, harga diri Sena menuntut untuk tidak gegabah. Terlebih karena saat ini Quin sedang mengamatinya.“Nggak mau makan lagi?” tanya Quin. Dia sendiri hanya menyeruput kopi padahal sebelumnya pria itu mengajaknya untuk sarapan bersama. Apa dia pikir, minum kopi disebut sebagai sarapan?Quin mengambil cangkir berisi café au lait yang artinya kopi susu pahit, jenis minuman tr
Membawa orang lain dalam masalah, itulah yang baru saja Sena lakukan. Tindakan bodohnya yang berteriak pada anak sekolah yang lewat, telah membuat nyawa anak sekolah itu terancam. Kini, anak itu sedang dalam pengejaran pengawal Quin. Hanya tinggal menunggu waktu sampai anak itu tertangkap dan waktunya lebih cepat dari yang Sena bayangkan.Bukan hal yang sulit bagi pengawal Quin untuk menangkap anak itu. Sebagai pengawal terlatih, tentu berlari bukan hal yang sulit untuk mereka. Tenaga mereka bahkan tak mudah habis meski sudah berlari cukup lama.Dengan sedikit menyeret, salah satu pengawal Quin membawa anak itu kembali ke rumah Quin. Anak itu tampak ketakutan. Jelas, siapa yang tidak takut melihat beberapa orang berbadan besar dengan wajah garang, membawanya ke sebuah sarang yang katanya tempat penculikan.“Maaf, Om, saya nggak akan bilang sama siapa-siapa. Maaf, Om, saya nggak tau cewek tadi. Saya janji, aku nggak akan lapor sama siapapun, Om. Tolong, Om, jangan b
Sena merebahkan dirinya setelah mengobati luka di kakinya. Memang lukanya sudah mulai kering, tapi masih sedikit perih jika dipakai untuk jalan. Pandangan Sena jatuh pada langit-langit kamarnya. Bahkan langit-langit kamar ini tampak cantik. Di sekelilingnya ada cahaya lampu dengan warna gradasi hijau biru. Namun, Sena tidak merasa senang sedikitpun. Kalau mau dibandingkan dengan rumah Sena, jelas beda jauh. Kamar Sena hanya berukuran tiga kali tiga meter. Itu pun sudah penuh karena diisi kasur ukuran sedang, meja dan kursi belajar, serta lemari pakaian. Sedang di kamar ini, besarnya sudah seperti tiga kamar di rumah Sena yang dijadikan satu. Tidak peduli! Sena tidak peduli betapa mewahnya kamar dia saat ini. Dari mulai kasur, meja, lemari, bahkan kamar mandinya yang begitu mewah, sama sekali tidak membuat Sena betah. Dia merindukan kamarnya di Pemalang. Dia rindu untuk bercerita banyak hal pada adik laki-lakinya. Dan yang lebih dia rindukan, pelukan ayah dan ibunya.
“Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa
Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski
Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku
“Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.
Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang
Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol
Kedatangan Sena sudah seperti kejutan untuk ayah dan ibunya. Terutama saat mereka menyadari keberadaan Quin. Mereka sama sekali tidak menyangka anak gadisnya akan turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang pemuda tampan beserta pria paruh baya berpakaian super rapi. Walau Sekretaris An dan pengawalnya langsung meninggalkan rumah Sena, tapi orangtua Sena sempat melihat rombongan kecil itu. Orangtua Sena bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki yang Sena bawa? Sena memeluk ibu dan ayahnya secara bergantian. Rindu yang telah lama dia tahan, akhirnya terbayar sudah. Sena juga bersikap biasa-biasa saja, seolah dia tidak tahu kalau adiknya baru saja mengalami kecelakaan. “Seno di mana?” tanya Sena. Ayah dan ibu Sena saling berpandangan. Mungkin bingung bagaimana menjelaskan keadaan anak laki-laki mereka, tapi karena Sena sudah datang, mau tidak mau mereka tetap harus menceritakan kejadian yang adiknya alami. “Seno di kamarnya, sedang istirahat.
“Nggak bisa!” seru Sekretaris An. Bahasa bakunya pada bosnya hilang sudah. Semua karena permintaan Quin atau lebih tepatnya permintaan Sena pada Quin. Penjelasan panjang Quin pada akhirnya bisa Sena mengerti. Kini Sena tak lagi marah pada Quin. Namun, kekhawatirannya pada sang adik masih sama besar. Terlebih setelah Sena tahu alasan dibalik kecelakaan adiknya. Sena semakin takut hal buruk akan kembali menerpa keluarganya. Sebagai balasan atas kepercayaan Sena pada Quin, Sena ingin pulang walau hanya satu atau dua hari saja. “Aku mohon, Quin. Sebentar saja. Aku janji, aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma di rumah saja. Aku janji,” pinta Sena. Sesungguhnya melihat wajah Sena yang penuh dengan keputusasaan sudah cukup membuat Quin mengiyakan permintaan Sena. Namun, akal sehat Quin langsung menolaknya. Bayangkan, karena Quin membawa Sena keluar, ayahnya sampai membuat adik Sena kecelakaan. Apa yang terjadi jika Quin sampai membiarkan Sena pulang ke kampu
Quin perlahan berdiri. Dia masih memegang kedua tangan Sena. Meski Sena belum mau menatapnya, setidaknya sekarang Sena sudah tenang. Diamnya Sena sama saja memberi kesempatan pada Quin. Kesempatan untuk menceritakan segalanya. Akar dari masalah yang seharusnya tak melibatkan Sena. “Aku nggak pernah pengin ngurung kamu di sini.” Quin memulai ceritanya. Mungkin terdengar seperti pembual jika mengingat semua perbuatan Quin pada Sena. Namun, dia tidak sedang membual atau membuat sebuah cerita. Memang seperti itu kenyataannya. Dia hanya sengaja bersikap brengsek karena memang hanya itu yang terpikir olehnya saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Sena dari ayahnya. Siapa sangka kini Quin justru terperangkap dengan permainannya sendiri. Dia sendiri yang justru tak ingin melepaskan Sena. “Aku tau, aku sudah jahat padamu. Aku mempermainkanmu, bahkan menyebutmu sebagai mainanku. Brengsek sekali ya, aku? Tapi, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Sena. Aku nggak mau ayah macam-ma