Beranda / Romansa / Sweet Chaos / 4. Menanti Kedatangan Sena

Share

4. Menanti Kedatangan Sena

Penulis: rosevita
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Quin melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat sore. Artinya dia sudah ada di atap selama satu jam. Duduk dengan kaki berayun pada dinding pembatas atap. Hal yang sebenarnya berbahaya, tapi tidak ada yang berani melawan Quin. Padahal pengawal yang melihatnya dari bawah, selalu menahan napas setiap kali melihat Quin mengganti posisi duduknya. Takut bos muda mereka jatuh dari atap karena nyawa mereka pun dipastikan akan ikut melayang.

Bukan tanpa alasan Quin duduk di sana. Biasanya memang Quin hanya iseng saja, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Namun, kali ini berbeda. Dia sedang menunggu Sena. Sayang, yang ditunggu sudah dua hari ini tak terlihat batang hidungnya.

“Kalau gadis itu datang, segera hubungi aku!” pesan Quin sehari setelah dia membuat Sena ketakutan. Sayangnya, belum ada kabar dari Sena. Quin hanya sering melihat Maura dan dia tidak tertarik dengan Maura.

“Kenapa nggak datang lagi?” gumam Quin. Dia meregangkan lengannya ke atas, membuat pengawalnya kembali siaga. Padahal pembatas atap itu cukup lebar dan Quin tidak akan jauh hanya karena meregangkan tubuh.

Quin meraih ponselnya. Begitu ponsel itu terbuka, foto Sena langsung terpampang di layar. Iseng sekali dia menjadikan foto Sena sebagai wallpaper. Wajah Sena yang seperti orang kebingungan, tampak lucu di mata Quin. Walau sudah berkali-kali melihatnya, Quin tetap tertawa hanya dengan melihat foto Sena. Receh sekali dia.

“Ah, menyebalkan! Di mana dia sekarang?”

Orang yang Quin tunggu, sekarang sedang bersantai di rumahnya. Merebahkan tubuh di lantai sambil memejamkan mata. Di dekatnya ada meja kecil dengan laptop di atasnya. Tidak jauh dari meja, ada gelas berisi kopi dengan pisang goreng yang tinggal sebiji.

Seharusnya Sena menghabiskan minggu tenang untuk persiapan ujian. Namun, yang dia lakukan justru menulis dan menulis.

“Ini hari tenang, jadi kenapa harus belajar?”

Begitulah cara berpikir Sena. Sangat sederhana, tapi menyebalkan. Libur selama satu minggu sebelum ujian bagi Sena adalah waktu yang tepat untuk mengistirahatkan otak dari segala hal berbau matematika.

Padahal di semester-semester sebelumnya, dia selalu pulang ke kos dengan menangis karena tidak bisa mengerjakan ujian. Namun, bukannya memperbaiki kesalahan, Sena justru tetap menjadi Sena pemalas seperti biasanya. Yang tidak membuat dia malas hanyalah menonton drama dan membuat cerita fiksi saja.

Bunyi klentingan terdengar dari ponsel Sena. Sena menolah dan mengambil ponsel. Ada notofikasi pesan masuk dari nomor asing.

From : 08xxxxxxxxxx

Kamu di mana?

Sena mengernyitkan dahi. Nomor asing, tapi pesannya sudah seperti teman akrab saja.

From : 08xxxxxxxxxx

Kenapa nggak kelihatan lagi?

Belum terjawab, pesan masuk kembali datang. Mau tidak mau, Sena membukanya.

From : 08xxxxxxxxxx

Kalau ada pesan masuk itu dibalas! Jangan cuma dibaca.

Jemari tangan Sena yang hendak mengetikkan sesuatu, memutuskan untuk tetap diam setelah membaca pesan ketiga.

“Siapa, sih? Usil bener.”

Dan jawabannya terjawab ketika pesan masuk dari Maura datang.

From : Mak Maura

Tau nggak, tadi pengawal Quin minta nomor kamu! Buat apa coba?

Membaca pesan Maura, tangan Sena rasanya ingin meremukkan ponsel, tapi sayang. Ponsel itu baru dia dapatkan setelah bersudut dengan penuh air mata di depan kedua orangtuanya.

Sena segera membalas pesan Maura dan tetap mengabaikan pesan Quin.

From : Sena

Kenapa kamu kasih????

Dengan tambahan emotikon berwarna merah berwajah menyebalkan.

From : Maura

Kalau nggak aku kasih, gimana kalau mereka memukuliku, hah?

From : Sena

Sial. Orangnya WA aku tau!

From : Maura

Balas, dong.

Jemari Sena kembali berhenti saat panggilan masuk datang. Dari Quin. Sepertinya dia tidak sabar karena Sena tak kunjung membalas pesannya. Tapi, percuma. Sena juga tidak akan mengangkat telepon dari Quin. Berkali-kali Quin menghubunginya, tetap Sena abaikan. Dari mulai penggilan biasa sampai video call. Sama sekali tidak Sena gubris, sampai akhirnya ….

“Sena, teman kamu telfon, nih,” teriak ibu dari ruang tengah.

Tanpa merasa curiga sedikitpun, Sena beranjak dari tempatnya menuju ruang tengah. Di sana ada sofa dengan meja di bagian sudutnya. Di meja itu, telepon rumah Sena berada. Ibu Sena sudah menghilang saat Sena tiba.

“Halo?” sapa Sena santai.

“Kenapa pesanku nggak dibalas dan telfonku nggak diangkat?”

Seketika Sena menjauhkan gagang telponnya dari telinga dan menutup telepon itu dengan sedikit hentakkan. Quin! Walau suaranya sedikit berbeda dengan suara asli Quin, tapi Sena yakin itu suara Quin. Mendadak Sena menyesal, kenapa dia harus mengintai rumah Quin? Kenapa Quin harus melihatnya? Dan kenapa rumah semewah itu ternyata dihuni orang gila??

Telpon rumah Sena kembali berdering, tapi Sena abaikan. Tidak peduli siapa yang menelpon, Sena tidak akan mau mengangkatnya.

“Sena, itu loh, ada telfon. Kenapa diabaikan gitu?” protes ibu yang sepertinya terganggu dengan sering telpon yang tanpa henti. Kalau bukan telepon yang berbunyi, berarti ponsel Sena. Quin sepertinya tipe orang yang gigih atau orang yang harus mendapatkan apa yang dia inginkan.

“Orang gila yang telpon, Bu.”

“Orang gila gimana maksudmu?”

“Pokoknya orang gila.”

“Masa, sih? Yang sebelumnya ibu dengar, suaranya kayak orang ganteng gitu. Siapa emangnya? Cowok yang ngejar-ngejar kamu, ya?” tebak ibu asal. “Jangan begitu. Siapa tau jodoh.”

“Ih, amit-amit. Mau sekaya apapun, kalau orangnya kayak dia, aku nggak akan mau!” Sena sampai bergidik ngeri.

“Loh, dapet orang kayak kok nggak mau. Kan enak, mau beli apa aja bisa. Beliin ibu sama bapak apa aja.”

“Ih, apaan sih, Bu. Kenapa Ibu jadi matre?”

Ibu Sena terkikik geli sebelum kembali ke dapur untuk lanjut memasak. Mumpung ada anak gadisnya, jadi dia masak. Biasanya ya, ibu Sena lebih suka beli makan setelah pulang mengajar di sekolah. Toh, suaminya juga pulang kerjanya sore. Anak laki-lakinya pun lebih suka makan siang di luar sebelum ikut bimbingan belajar.

Muak dengan bunyi telepon dan ponsel yang tiada henti, Sena akhirnya mencabut kabel telepon dan menonaktifkan ponselnya. Tidak masalah jika dia hanya menonaktifkan ponsel. Akan jadi masalah jika ayahnya tahu, kabel telepon dia cabut. Tapi, biar saja.

Sena kembali berjalan ke ruang tamu tanpa merasa bersalah. Yang penting sekarang Sena sudah bisa berbaring tanpa gangguan sebelum melanjutkan kembali pekerjaan sambilannya, menulis. Kegiatan yang selama satu minggu kedepan, mengisi waktu Sena. Hingga tanpa Sena sadari, ujian akhirnya datang.

Memang hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Masalahnya, bagaimana dengan orang yang tidak berusaha? Ya, jangan berharap hasil yang maksimal. Seperti yang Sena rasakan. Kejadian semester lalu kembali terulang.

Malam sebelum ujian, Sena memutuskan untuk tidak belajar dan asyik berkirim pesan pada gebetannya. Baru ketika subuh datang, dia mulai belajar. Katanya, waktu subuh memang waktu yang tepat untuk belajar. Namun, kalau belajarnya hanya waktu subuh saat hari ujian, ya sama saja. Setelah ujian, Sena hanya bisa menangis.

“Ya Tuhan, itu soal kenapa ngajak berantem, sih?” tangis Sena. Maura yang di sampingnya hanya geleng-geleng saja. Sudah biasa. Lagu lama. Begitu terus ceritanya. Monoton dan membosankan.

“Makanya belajar yang bener!”

“Aku belajar.”

“Belajar itu harus konsisten. Jangan cuma belajar sebelum ujian aja!”

“Pusing aku!”

“Yang lain juga pusing, tapi yang lain tetep usaha belajar.”

Sena mengerucutkan bibirnya. Dia melihat layar ponselnya yang baru mendapat pesan ke seratus satu dari Quin. Hari sebelumnya, dia sudah membuka dua ratus pesan tidak penting dari Quin. Isinya kalau bukan memanggil Sena, berarti bertabur emoticon dan stiker yang sama sekali tidak penting.

“Ini juga! Mengganggu saja!” kesal Sena. Padahal kalau ketemu orangnya, pasti ketakutan.

***

Bab terkait

  • Sweet Chaos   5. Sebuah Rahasia Yang Tak Seharusnya Diketahui

    Menghirup udara pagi ketika segala beban telah berlalu ternyata menyegarkan. Tidak ada tugas. Tidak ada ujian. Yang menantinya hanya liburan! Oh, indahnya menjadi mahasiswi. Setelah disibukan dengan tugas dan ujian, satu bulan lebih ujian telah menanti. Pulang kampung rasanya terdengar begitu merdu di telinga Sena. “Packing, ke rumah Maura ambil oleh-oleh, dan ke stasiun! Oh, indahnya,” gumam Sena yang masih bergulat di balik selimut. Tetangga sebelah kamarnya sudah pulang sejak kemarin. Sena sengaja menunda kepulangannya satu hari karena ibu Maura yang minta. Katanya ibu Maura hendak menyiapkan sesuatu untuk orangtua Maura. Seperti kata Maura, rejeki tidak boleh ditolak. Tidak masalah kalau harus menunda pulang satu hari. Yang penting tidak menyakiti hati ibu Maura. Sena menutup mulutnya yang sedang menguap. Di raihnya ponsel yang sejak tadi tidak ada bunyinya. Entah sejak kapan, tapi Quin sudah tidak menerornya dengan pesan dan panggilan telepon lagi. “Kaya

  • Sweet Chaos   6. Awal Sebuah Kekacauan

    Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari. Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar. Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lem

  • Sweet Chaos   7. Jangan Usil

    Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan

  • Sweet Chaos   8. Psikopat Tampan

    Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa

  • Sweet Chaos   9. Menjadi Tawanan

    Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan

  • Sweet Chaos   10. Jangan Berani Menyakiti Tubuhmu!

    Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta

  • Sweet Chaos   11. Dress Super Seksi

    Sena tertidur! Tepat pukul enam pagi gadis itu baru membuka matanya. Padahal semalam dia hanya pura-pura tidur saja. Hanya agar Quin meninggalkan kamar ini. Namun, dia justru tertidur. Dia bahkan tidak tahu kapan Quin meninggalkannya. Semoga saja Quin tidak melakukan apapun saat Sena tertidur. Sena sedikit merintih saat merasakan sakit di perutnya. Bukan sakit yang berbahaya. Dia hanya lapar. Tidak! Sangat lapar! Seingat Sena, makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanya roti dengan cream keju yang dia beli di indomart dan susu coklat yang sengaja dia habiskan karena akan pulang kampung. Setelahnya, tidak ada lagi makanan yang masuk sampai saat ini. Jadi, tidak heran jika kini perut Sena keroncongan. Sena mengelus perutnya. Bodoh! Dia memang bodoh! Di mana-mana orang yang berjuang juga butuh makan! Harusnya dia tidak sok memberontak dengan membuang makanan. Dia melupakan perkataan Maura, bahwa rejeki tidak boleh ditolak. “Terlanjur. Semua sudah terlanjur. Ak

  • Sweet Chaos   12. Menyenangkan Melihatmu Makan

    Kamar Sena atau yang lebih tepat disebut sebagai rumah tahanan Sena, kini terasa lebih sesak dengan adanya dua kursi serta satu meja ukuran sedang. Pelayan Quin menyulap sisa ruang kosong di kamar menjadi meja makan untuk Sena dan Quin.Quin duduk dengan menyilangkan kaki. Tak lupa kedua tangannya saling melipat dengan punggung bersandar pada kursi. Cara duduk yang menunjukkan seolah dialah pemimpin di sana. Tidak ada yang boleh melawan perintahnya.Tatapan Sena jatuh pada makanan di atas meja. Perutnya yang sudah keroncongan, memaksanya untuk segera menandaskan semua yang bisa dia makan. Namun, harga diri Sena menuntut untuk tidak gegabah. Terlebih karena saat ini Quin sedang mengamatinya.“Nggak mau makan lagi?” tanya Quin. Dia sendiri hanya menyeruput kopi padahal sebelumnya pria itu mengajaknya untuk sarapan bersama. Apa dia pikir, minum kopi disebut sebagai sarapan?Quin mengambil cangkir berisi café au lait yang artinya kopi susu pahit, jenis minuman tr

Bab terbaru

  • Sweet Chaos   44. Memendam Curiga

    “Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa

  • Sweet Chaos   43. Si Pengganggu

    Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski

  • Sweet Chaos   42. Kedatangan Gadis Menyebalkan

    Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku

  • Sweet Chaos   41. Asyik Bermain Di Pantai

    “Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.

  • Sweet Chaos   40. Menyelundup Ke Atap

    Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang

  • Sweet Chaos   39. Balada Memasang Seprei

    Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol

  • Sweet Chaos   38. Pulang Bawa Oleh-oleh

    Kedatangan Sena sudah seperti kejutan untuk ayah dan ibunya. Terutama saat mereka menyadari keberadaan Quin. Mereka sama sekali tidak menyangka anak gadisnya akan turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang pemuda tampan beserta pria paruh baya berpakaian super rapi. Walau Sekretaris An dan pengawalnya langsung meninggalkan rumah Sena, tapi orangtua Sena sempat melihat rombongan kecil itu. Orangtua Sena bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki yang Sena bawa? Sena memeluk ibu dan ayahnya secara bergantian. Rindu yang telah lama dia tahan, akhirnya terbayar sudah. Sena juga bersikap biasa-biasa saja, seolah dia tidak tahu kalau adiknya baru saja mengalami kecelakaan. “Seno di mana?” tanya Sena. Ayah dan ibu Sena saling berpandangan. Mungkin bingung bagaimana menjelaskan keadaan anak laki-laki mereka, tapi karena Sena sudah datang, mau tidak mau mereka tetap harus menceritakan kejadian yang adiknya alami. “Seno di kamarnya, sedang istirahat.

  • Sweet Chaos   37. Pulang Kampung

    “Nggak bisa!” seru Sekretaris An. Bahasa bakunya pada bosnya hilang sudah. Semua karena permintaan Quin atau lebih tepatnya permintaan Sena pada Quin. Penjelasan panjang Quin pada akhirnya bisa Sena mengerti. Kini Sena tak lagi marah pada Quin. Namun, kekhawatirannya pada sang adik masih sama besar. Terlebih setelah Sena tahu alasan dibalik kecelakaan adiknya. Sena semakin takut hal buruk akan kembali menerpa keluarganya. Sebagai balasan atas kepercayaan Sena pada Quin, Sena ingin pulang walau hanya satu atau dua hari saja. “Aku mohon, Quin. Sebentar saja. Aku janji, aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma di rumah saja. Aku janji,” pinta Sena. Sesungguhnya melihat wajah Sena yang penuh dengan keputusasaan sudah cukup membuat Quin mengiyakan permintaan Sena. Namun, akal sehat Quin langsung menolaknya. Bayangkan, karena Quin membawa Sena keluar, ayahnya sampai membuat adik Sena kecelakaan. Apa yang terjadi jika Quin sampai membiarkan Sena pulang ke kampu

  • Sweet Chaos   36. Kumohon, Percayalah Padaku.

    Quin perlahan berdiri. Dia masih memegang kedua tangan Sena. Meski Sena belum mau menatapnya, setidaknya sekarang Sena sudah tenang. Diamnya Sena sama saja memberi kesempatan pada Quin. Kesempatan untuk menceritakan segalanya. Akar dari masalah yang seharusnya tak melibatkan Sena. “Aku nggak pernah pengin ngurung kamu di sini.” Quin memulai ceritanya. Mungkin terdengar seperti pembual jika mengingat semua perbuatan Quin pada Sena. Namun, dia tidak sedang membual atau membuat sebuah cerita. Memang seperti itu kenyataannya. Dia hanya sengaja bersikap brengsek karena memang hanya itu yang terpikir olehnya saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Sena dari ayahnya. Siapa sangka kini Quin justru terperangkap dengan permainannya sendiri. Dia sendiri yang justru tak ingin melepaskan Sena. “Aku tau, aku sudah jahat padamu. Aku mempermainkanmu, bahkan menyebutmu sebagai mainanku. Brengsek sekali ya, aku? Tapi, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Sena. Aku nggak mau ayah macam-ma

DMCA.com Protection Status