Sebagai orang yang kalau melakukan sesuatu serba setengah-setengah, kesukaan Sena pun serba setengah-setengah. Dia suka berkumpul dengan teman-temannya, tapi dia juga suka menghabiskan waktu seorang diri selama berjam-jam. Dengan ditemani laptop, kopi, dan beberapa cemilan, Sena mampu berdiam diri di sudut café selama berjam-jam.
Sama seperti hari ini. Akhir pekan selalu menjadi hari yang terbaik. Sejak pukul sepuluh pagi, Sena sudah duduk manis di HOC Café Peleburan. Padahal café ini baru buka pukul sembilan pagi. Bisa dibilang, Sena adalah pengunjung awal sekaligus pelanggan tetap café ini. Beberapa karyawan di sana bahkan mengenal Sena dengan baik. Mungkin karena keberadaan Sena terlalu mencolok. Sendiri dan berjam-jam.
Tempat yang menjadi pilihan Sena kali ini adalah di dekat coffee corner. Di sampingnya ada sebuah televisi jadul dan rak berisi VCD. Bukan salah satu tempat favorit memang. Dia hanya asal duduk saja. Yang penting nyaman dan tetap bisa berkonsentrasi membuat novel sebagai pengalih pikiran.
Sebagai mahasiswi fakultas pendidikan matematika, Sena lebih sering melihat angka ketimbang huruf. Memang dia sudah menggilai matematika sejak di bangku sekolah dasar, tapi kuliah membuat dia sadar bahwa menggilai sesuatu tetap tak akan abadi. Sampai masuk SMA, Sena masih merasa matematika sangat menyenangkan, tapi kuliah membuat semangat Sena hancur berkeping-keping.
Cukup sudah dia berurusan dengan angka selama di kampus. Akhir pekannya harus dia nikmati tanpa memikirkan hal-hal yang berbau matematika. Sena tak akan sudi mengerjakan tugas di akhir peka. Kecuali kalau dipaksa Maura atau karena ada tugas kelompok. Kalau tugas individu, maaf saja, ya. Dia lebih suka jemarinya menari di atas keyboard, membuat sebuah karya yang akan disukai banyak orang.
Sudut bibir Sena terangkat saat satu chapter selesai dia ketik. Dia sedang membuat novel baru. Novel lamanya memang belum selesai dia buat, tapi ide baru kini datang bermunculan. Tepatnya setelah kejadian dia melihat rumah hantu yang kini berpenghuni. Kejadian itu memberi Sena sebuah ide.
“Ada untungnya juga rupanya,” gumam Sena dalam hati. Dia meregangkan tubuhnya dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba tubuhnya terpaku saat tatapannya bertemu dengan tatapan seorang lak-laki yang berdiri di depan counter.
Kelemotan Sena kembali datang. Tahu kalau tatapannya berpapasan, tapi dia tetap menatap laki-laki itu. Pikirannya kini sedang memproses, rasanya dia pernah melihat laki-laki itu? Tapi, di mana?
Normalnya orang, walau merasa pernah melihat seseorang, orang pasti tidak akan menatap orang itu terus-menerus. Namun, Sena justru menajamkan tatapannya sekaligus mengingat siapa laki-laki itu.
Laki-laki itu tiba-tiba mengerling pada Sena. Sena tersentak dan buru-buru berbalik. Dia ingat sekarang. Laki-laki itu penghuni rumah hantu!
“Eh, apa bukan, ya?” tanya Sena dalam hati. Dia ragu. Pasalnya dia melihat laki-laki itu dari kejauhan. Ingatannya juga tidak tajam. Apa yang kemarin dia lakukan, seringnya Sena lupakan begitu saja. Maura sampai sering gemas karena Sena terlalu sering melupakan sesuatu. Tidak masalah jika itu tidak penting. Masalahnya yang sering Sena lupakan justru hal-hal yang penting.
Seorang pelayan datang ke meja Sena, membawakan satu gelas berisi mango juice yang terlihat segar.
“Aku nggak pesan ini,” tolak Sena. Caffe latte miliknya masih setengah penuh dan perut Sena juga sudah kenyang. Dia sudah menghabiskan satu gelas air mineral dingin dan satu piring HOC pasta.
“Itu hadiah dariku.”
Seseorang di belakang Sena menjawab. Laki-laki itu duduk di depan Sena ketika pelayan telah pergi dengan membawa satu gelas Americano, minuman yang seumur-umur belum pernah Sena minum.
Sena melongo. Laki-laki yang sudah dua kali dia intai, kini duduk di depannya. Dan seolah sadar dengan fisiknya yang mampu membuat wanita luluh dalam tiga detik, laki-laki itu menopang wajahnya dengan dua tangan. Seolah berkata, nih, lihat wajah tampanku. Senang bukan, melihatku dari dekat?
“Kamu bukan, yang sudah dua hari ngintai di depan rumahku?”
Sena menelan savilanya demi mendengar pertanyaan laki-laki itu.
“Kalau mau tau, masuk saja. Pintu gerbang rumahku terbuka untukmu.”
Kali ini Sena mengernyit dalam. Tambahan! Walau laki-laki ini mampu membuat wanita tergila-gila hanya dalam waktu tiga detik, tapi tiga detik berikutnya perasaan tergila-gila itu hilang saat melihat laki-laki itu bersikap sok kegantengan. Seperti sekarang. Jadi, catatan untuk laki-laki tampan di mana saja. Kalian tidak perlu tebar pesona seolah berkata, lihat aku sangat tampan. Karena tanpa tebar pesona pun, orang sudah tahu.
“Siapa yang mengintai?”
“Kamu.”
“Nggak!”
“Oh, ya? Aku punya buktinya.”
Laki-laki itu pun mengambil ponsel di sakunya. Mengutak-atik ponsel itu selama beberapa saat sebelum memperlihatkan layarnya pada Sena. Tepat seperti dugaan Sena, camera milik laki-laki itu pasti super canggih. Hasil potretnya sudah seperti diambil dari jarak dekat. Wajah Sena terlihat dengan jelas. Tidak heran kalau laki-laki itu juga mengenali Sena.
“Aku cuma lewat di sana,” balas Sena sambil membuang muka. Tindakan yang jelas menunjukkan bahwa dia sedang berbohong.
Laki-laki itu mengangguk-angguk, tapi raut wajahnya seperti tidak puas.
“Siapa namamu?”
“Aku nggak biasa nyebut nama sama orang asing.”
“Ah, begitu? Emang apa masalahnya? Aku nggak keberatan nyebut namaku sendiri.”
“Aku nggak tertarik buat tau nama kamu.”
“Oh, ya?”
Laki-laki itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya hingga berada di atas layar laptop Sena. Dia kembali mengerling nakal pada Sena. Sakit mata atau gimana, sih? Batin Sena.
“Namaku Quin.”
Selama beberapa saat, Sena hanya mengerjapkan mata. Bukan, bukan karena laki-laki di depannya semakin kepedean, tapi karena mendengar nama laki-laki itu.
“Siapa? Queen? Ratu maksudnya?”
Quin berdesis. Dia tidak heran mendengar reaksi Sena, tapi bukan berarti Quin suka dengan reaksi itu.
“Quin! Q-U-I-N!”
Quin sampai mengeja namanya.
“Nama yang unik,” balas Sena dengan nada tidak tertarik. Setampan apapun Quin, Sena tidak tertarik dengan jenis laki-laki seperti Quin.
“Kamu kuliah?”
Sena kembali waspada. Laki-laki di depannya masih belum menyerah untuk mengetahui siapa itu Sena.
“Iya.”
“Di mana?”
Sena memilih tidak menjawab. Jemarinya kembali menarikan jemarinya di atas keyboard.
“Aku datang ke sini bersama pengawalku. Mereka yang kemarin ngejar kamu.”
Ucapan Quin kali ini seperti ada nada-nada ancaman. Mungkin dia kesal karena Sena jarang menjawab ucapannya.
“Di UPGRIS.”
“Di mana itu?” tanya Quin dengan cepat. Detik setelah Sena menjawab, detik itu juga Quin langsung bertanya.
“Dekat rumah kamu.”
“Oh, ya? Asyik kuliah di sana?”
“Biasa saja.”
“Gimana caranya biar bisa kuliah di sana?”
Sena kembali mengerutkan keningnya. Heran saja dengan pertanyaan Quin. Dia memang tidak tahu atau sengaja ingin mengerjain Sena.
“Ya, tes, lah.”
“Susah-susah tesnya?”
“Aku masuk tanpa tes.”
“Tadi katanya pakai tes. Gimana, sih?”
“Pusing aku jelasinnya dan nggak penting juga.”
“Kalau gitu jawab saja, nama kamu siapa? Pertanyaan yang mudah buat dijawab.”
Namun, Quin tetap tidak bisa mendengar nama Sena karena salah satu pengawalnya masuk untuk memeriksa keberadaan bosnya sekaligus menyuruh bosnya untuk pergi. Sena akhirnya bisa bernapas lega setelah kepergian Quin.
Memang benar Sena sudah lega, tapi idenya juga ikutan kabur. Dia memutuskan untuk menghentikan kegiatannya setelah mengedit satu bab yang akan dia publish hari ini.
“Berapa, Mbak?” tanya Sena pada pihak kasir.
“Pesanan Mbak Sena sudah dibayar semua.”
“Hah?”
“Iya, sudah dibayar.”
“Siapa?”
“Yang tadi duduk di depan Mbak Sena. Pacarnya, ya?”
“Pacar? Kenal aja nggak!” kesal Sena. Dia menghentakkan kaki sambil mengerucutkan bibirnya.
“Tapi, kok dibayarin. Padahal Mbak Sena makannya banyak.”
“Nggak tau, deh.”
Sena buru-buru pergi mencari keberadaan Quin. Namun, sepertinya laki-laki itu sudah pergi. Sayang sekali karena Sena paling tidak suka berhutang. Walau mungkin uang yang Quin miliki sudah cukup banyak, tapi bagi Sena, hutang tetap saja hutang.
“Nanti aku balikin pas lewat.”
Sena meremuk kertas pesanannya dengan kesal. Namun, buru-buru merapikan kembali kertas itu. Kertas itu akan dia jadikan sebagai bukti untuk mengganti uangnya pada Quin.
***
“Nggak usah dibayar. Anggep aja kamu habis dapat rejeki. Nggak bersyukur namanya kalau nolak rejeki.” Maura kembali sok bijak. Memang menolak rejeki bukan tindakan yang baik. Masalahnya kasus Sena tidak seperti itu. Dia ditraktir orang tidak kenal. Bagaimana mungkin Sena bisa tenang.“Rejeki sih, rejeki. Masalahnya kamu nggak tau orangnya kayak gimana.”“Emang orangnya kayak gimana? Eh, kita lewat depan rumahnya aja, ya? Siapa tau orangnya ada di luar. Penasaran aku, pengin tau orangnya kayak gimana.”Sena tidak langsung menjawab. Dia sedang menimbang, haruskan dia masuk ke rumah itu dan mencari Quin untuk mengembalikan uang laki-laki itu atau dia titipkan saja pada pengawal di gerbang rumah Quin?“Ayo,” ajak Maura setelah memasukan semua bukunya. Untuk Maura yang otaknya lebih encer dibanding Sena, kuliah kali ini cukup menguras energi. Apalagi untuk Sena? Otaknya sudah panas dingin. Geometri transformasi s
Quin melirik arloji di pergelangan tangannya. Pukul empat sore. Artinya dia sudah ada di atap selama satu jam. Duduk dengan kaki berayun pada dinding pembatas atap. Hal yang sebenarnya berbahaya, tapi tidak ada yang berani melawan Quin. Padahal pengawal yang melihatnya dari bawah, selalu menahan napas setiap kali melihat Quin mengganti posisi duduknya. Takut bos muda mereka jatuh dari atap karena nyawa mereka pun dipastikan akan ikut melayang. Bukan tanpa alasan Quin duduk di sana. Biasanya memang Quin hanya iseng saja, mengamati orang-orang yang berlalu lalang. Namun, kali ini berbeda. Dia sedang menunggu Sena. Sayang, yang ditunggu sudah dua hari ini tak terlihat batang hidungnya. “Kalau gadis itu datang, segera hubungi aku!” pesan Quin sehari setelah dia membuat Sena ketakutan. Sayangnya, belum ada kabar dari Sena. Quin hanya sering melihat Maura dan dia tidak tertarik dengan Maura. “Kenapa nggak datang lagi?” gumam Quin. Dia meregangkan lengannya ke atas,
Menghirup udara pagi ketika segala beban telah berlalu ternyata menyegarkan. Tidak ada tugas. Tidak ada ujian. Yang menantinya hanya liburan! Oh, indahnya menjadi mahasiswi. Setelah disibukan dengan tugas dan ujian, satu bulan lebih ujian telah menanti. Pulang kampung rasanya terdengar begitu merdu di telinga Sena. “Packing, ke rumah Maura ambil oleh-oleh, dan ke stasiun! Oh, indahnya,” gumam Sena yang masih bergulat di balik selimut. Tetangga sebelah kamarnya sudah pulang sejak kemarin. Sena sengaja menunda kepulangannya satu hari karena ibu Maura yang minta. Katanya ibu Maura hendak menyiapkan sesuatu untuk orangtua Maura. Seperti kata Maura, rejeki tidak boleh ditolak. Tidak masalah kalau harus menunda pulang satu hari. Yang penting tidak menyakiti hati ibu Maura. Sena menutup mulutnya yang sedang menguap. Di raihnya ponsel yang sejak tadi tidak ada bunyinya. Entah sejak kapan, tapi Quin sudah tidak menerornya dengan pesan dan panggilan telepon lagi. “Kaya
Andai ada alat yang bisa memutar waktu. Andai Sena memiliki teman seperti Doraemon, yang bisa memunculkan barang apa saja dari kantong ajaibnya. Andai Sena tidak gegabah, dengan masuk ke rumah Quin tanpa izin. Andai … andai … dan andai. Segala pengandaian kini berputar di pikiran Sena, dengan tubuh yang lemas dan tak mampu berlari. Sena tahu, dia pasti akan mendapat masalah. Yang dia lihat saat ini jelas bukan sesuatu yang sepatutnya dia lihat. Di depannya, ada puluhan laki-laki berjas hitam dengan otot yang rasanya ingin meledak keluar dari lengan jas. Lalu, ada pula Quin yang tampak seperti orang kesetanan dan seorang laki-laki tak berdaya yang kini tubuhnya dipenuhi darah segar. Apa yang Quin lakukan? Bagaimana mungkin orang-orang membiarkan Quin memukuli orang hingga sekarat seperti itu? Wajah orang itu bahkan sudah tak terlihat bentuknya karena tertutup dengan darah dan bekas pukulan. Sena yang pada dasarnya tidak bisa melihat darah, seketika merasa mual dan lem
Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil. “Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.” Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima. Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yan
Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa
Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan
Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta
“Coklat panas adalah teman yang baik buat kerja. Sebenernya kopi lebih cocok, sih, tapi … ah, biarin, deh. Coklat panas aja,” gumam Sena sambil mengaduk gelas berisi cokelat panas. Dia dan Quin belum lama berpisah sejak mereka selesai makan malam di kamar Sena, tapi Sena berpikir untuk membuatkan minuman untuk Quin. “Tuan Quin memangnya mau minuman kayak gitu?” tanya salah satu asisten rumah tangga yang dulu sering mengabaikan Sena. Kini keduanya sudah mulai akur walau tetap sering sinis-sinisan. Belakangan Sena juga baru tahu kalau asisten rumah tangga itu bernama Mirna, yang tidak lain adalah tetangga Maura. “Jelas mau. Aku bawain air cucian beras juga Quin pasti mau. Itu yang dinamakan cinta. Kamu pernah nggak, jatuh cinta? Jatuh cinta itu, berjuta rasanya,” canda Sena. Dia cekikikan sendiri dengan candaannya. “Mau aku bawain?” tawar Mirna. “Nggak usah. Pacarku emang tuan muda, tapi aku bukan tuan putri,” tolak Sena sambil mengibaskan rambutnya. Wa
Sena menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Dia membaca dengan seksama kata demi kata pada sebuah artikel lama. Jika hanya membaca artikel yang tersebar di dunia maya, maka terlihat jelas betapa sempurnanya keluarga calon Presiden Wigar.Dimulai dari istri Wigar, Rania Mozah. Sama seperti namanya, Rania adalah wanita yang cantik dan anggun. Di usianya yang sudah tak muda lagi, Rania selalu tampil menawan. Begitu cocok jika disandingkan dengan Wigar yang tampak gagah dengan setelan mahalnya.Tidak hanya terkenal akan parasnya, jiwa sosial Rania juga selalu dielu-elukan. Rania yang sering berkunjung ke tempat bencana. Rania yang selalu ramah pada setiap orang. Rania yang bla bla bla hingga berita kebaikannya tak pernah habis.Lalu, bagaimana dengan anak-anak mereka? Setali tiga uang dengan sang ibu, baik Annisa Wigar Adyaksa maupun Aneska Wigar Adyaksa terkenal sebagai anak-anak yang penurut. Mudah bergaul dengan semua orang dan bukan tipe anak yang pemilik meski
Berat rasanya ketika Sena harus kembali ke Semarang, terkurung di rumah Quin demi membuat keluarganya aman. Ini bukan lagi karena Quin yang mengurungnya, tapi karena Sena menyadari semua itu demi dirinya dan keluarganya.“Sudah, jangan nangis terus,” bujuk Quin sambil mengelus kepala Sena. Dia tidak tahu caranya menghibur orang, jadi hanya bisa mengelus kepala Sena. Sudah sejak mobil Quin meninggalkan kediaman Sena, gadis itu menangis tanpa henti. Padahal sebentar lagi mobil sudah memasuki kawasan Pekalongan.“Ngomong-ngomong, adek kamu itu agak kurang, ya?”Sena menoleh ke arah Quin, tangisnya berhenti demi mendengar pertanyaan Quin. Kelopak matanya mengedip beberapa kali, seperti orang bingung.“Maksud kamu?”“Masa dia bilang, untung tangannya sakit jadi dia nggak usah ikut ujian renang. Ujian praktik olahraga lain juga katanya nggak perlu adek kamu ikuti dan otomatis dapat nilai bagus. Baru kali ini aku
“Hah?” Quin menatap ke arah kunci yang Sena sodorkan, kemudian ke arah Sena. Tidak paham maksud Sena menyerahkan kunci itu padanya. Bukan sedang menyuruh Quin untuk mengendarai sepeda motor, bukan? “Ini,” ulang Sena, masih menyodorkan kunci motornya. Sebuah motor skuter matik berwarna cokelat baru saja Sena keluarkan dari garasi rumahnya. Dalam garasi itu, ada sebuah mobil antik tua dan dua buah motor. Salah satunya motor yang baru saja Sena keluarkan. “Itu … kenapa?” Sena menghela napas. Sena menyerahkan kunci, bukankah sudah jelas maksudnya. Pegal terus-terusan menyodorkan tangannya, Sena meletakkan kunci itu di genggaman Quin. “Ayo, cepat. Nanti kesiangan. Nggak asyik kalau main di pantai pas panas.” Sena langsung menempatkan dirinya di bagian dudukan belakang motor. Dia menoleh ke arah Quin yang masih melongo di tempatnya, menatap kunci di tangannya dengan tatapan bingung. Tentu ada masalah penting yang belum Sena ketahui.
Jika di sebuah drama ada scene di mana pemeran utama pria merasa hangat berada di tengah-tengah keluarga pemeran utama wanita, mungkin Quin akan mencelanya. Tapi, itu dulu. Dulu sebelum Quin melihat sendiri bagaimana interaksi keluarga Sena. Jika dibilang hangat, mungkin tidak terlalu. Tapi, jelas sekali terlihat bagaimana keluarga ini saling berbagi kasih sayang mereka. Siang tadi, Quin memang sudah makan di rumah Sena, tapi dia hanya berdua dengan Sena. Baru sekarang saat makan malam, semua keluarga Sena berkumpul di meja makan, tak terkecuali Seno yang tangannya masih di gips. Entah orangtua Sena yang terlalu memanjakan anak-anak mereka atau apa, tapi ibu Sena dengan telaten menyuapi Seno. Padahal hanya satu tangan Seno yang terluka. Tangan lainnya baik-baik saja bahkan dia tetap asyik bermain game dengan satu tangan. Sudut bibir Quin tanpa sadar sedikit terangkat. Sorot matanya berpindah-pindah, mengikuti siapa saja yang sedang berbicara. Walau dia jarang
Sena membuka ruang tamu tanpa permisi. Dia mendengar suara bersin Quin, jadi dia pikir Quin mungkin sedang istirahat. Tidak tahunya, Quin sedang melepaskan celananya. Tubuh bagian atasnya sudah polos. Quin yang memang dasarnya senang mengerjai Sena, cuek saja saat melihat Sena tiba-tiba membuka kamar. Berbeda dengan Quin, Sena mendelik melihat pemandangan di depannya. Dia pernah berenang dengan Quin, tapi situasi sekarang jelas berbeda. Mereka sedang ada di kamar Sena dan kalau Sena tidak salah, ibunya juga akan turun setelah menemui Seno. Aturan Sena akan segera menutup pintu kamar itu. Ya, memang Sena langsung menutupnya. Masalahnya, Sena menutup dari dalam, bukan dari luar kamar. Tahu kan, maksudnya seperti apa? “Kamu! Kenapa buka baju sembarangan!” protes Sena dengan suara sekecil yang dia bisa. Mengingat kamar ini dan kamar sebelah hanya dibatasi tembok yang tak seberapa, yang jelas tak sekokoh rumah Quin, ada kemungkinan suara di kamar ini juga bisa didengar ol
Kedatangan Sena sudah seperti kejutan untuk ayah dan ibunya. Terutama saat mereka menyadari keberadaan Quin. Mereka sama sekali tidak menyangka anak gadisnya akan turun dari sebuah mobil mewah bersama seorang pemuda tampan beserta pria paruh baya berpakaian super rapi. Walau Sekretaris An dan pengawalnya langsung meninggalkan rumah Sena, tapi orangtua Sena sempat melihat rombongan kecil itu. Orangtua Sena bertanya-tanya, siapa sebenarnya laki-laki yang Sena bawa? Sena memeluk ibu dan ayahnya secara bergantian. Rindu yang telah lama dia tahan, akhirnya terbayar sudah. Sena juga bersikap biasa-biasa saja, seolah dia tidak tahu kalau adiknya baru saja mengalami kecelakaan. “Seno di mana?” tanya Sena. Ayah dan ibu Sena saling berpandangan. Mungkin bingung bagaimana menjelaskan keadaan anak laki-laki mereka, tapi karena Sena sudah datang, mau tidak mau mereka tetap harus menceritakan kejadian yang adiknya alami. “Seno di kamarnya, sedang istirahat.
“Nggak bisa!” seru Sekretaris An. Bahasa bakunya pada bosnya hilang sudah. Semua karena permintaan Quin atau lebih tepatnya permintaan Sena pada Quin. Penjelasan panjang Quin pada akhirnya bisa Sena mengerti. Kini Sena tak lagi marah pada Quin. Namun, kekhawatirannya pada sang adik masih sama besar. Terlebih setelah Sena tahu alasan dibalik kecelakaan adiknya. Sena semakin takut hal buruk akan kembali menerpa keluarganya. Sebagai balasan atas kepercayaan Sena pada Quin, Sena ingin pulang walau hanya satu atau dua hari saja. “Aku mohon, Quin. Sebentar saja. Aku janji, aku nggak akan ke mana-mana. Aku cuma di rumah saja. Aku janji,” pinta Sena. Sesungguhnya melihat wajah Sena yang penuh dengan keputusasaan sudah cukup membuat Quin mengiyakan permintaan Sena. Namun, akal sehat Quin langsung menolaknya. Bayangkan, karena Quin membawa Sena keluar, ayahnya sampai membuat adik Sena kecelakaan. Apa yang terjadi jika Quin sampai membiarkan Sena pulang ke kampu
Quin perlahan berdiri. Dia masih memegang kedua tangan Sena. Meski Sena belum mau menatapnya, setidaknya sekarang Sena sudah tenang. Diamnya Sena sama saja memberi kesempatan pada Quin. Kesempatan untuk menceritakan segalanya. Akar dari masalah yang seharusnya tak melibatkan Sena. “Aku nggak pernah pengin ngurung kamu di sini.” Quin memulai ceritanya. Mungkin terdengar seperti pembual jika mengingat semua perbuatan Quin pada Sena. Namun, dia tidak sedang membual atau membuat sebuah cerita. Memang seperti itu kenyataannya. Dia hanya sengaja bersikap brengsek karena memang hanya itu yang terpikir olehnya saat memikirkan cara untuk menyelamatkan Sena dari ayahnya. Siapa sangka kini Quin justru terperangkap dengan permainannya sendiri. Dia sendiri yang justru tak ingin melepaskan Sena. “Aku tau, aku sudah jahat padamu. Aku mempermainkanmu, bahkan menyebutmu sebagai mainanku. Brengsek sekali ya, aku? Tapi, aku hanya ingin menyelamatkanmu, Sena. Aku nggak mau ayah macam-ma