Bab 93: Pemain Nomor Lima
“Aku cinta kamu, Ningsih. Begitu kata Mas Tentara kepadaku, setiap kami akan berpisah setelah jalan-jalan atau kencan. Aku cuma menyahutnya dengan; ‘Iya, terima kasih’, dan aku tidak pernah membalasnya menggunakan kalimat bermakna sama seperti; ‘Aku juga cinta kamu’.”
“Kenapa? Karena aku sendiri masih tidak yakin bahwa aku benar-benar mencintai dia. Semuanya mengalir begitu saja ketika aku menerima dia sebagai pacarku. Selain karena desakan dan ledekan teman-teman kuliah terhadapku yang mereka bilang aku ini jomblo, juga karena aku ingin melupakan kamu, Mas Joko.”
“Lalu, apakah aku berhasil melupakan kamu? Tidak, Mas Joko, tidak! Sampai detik ini aku masih saja belum bisa melupakan kamu. Aneh! Entah a
Bab 94:Antara Telepon dan Kelepon “Jujur ya, Ko, pertandingan kamu yang pertama waktu melawan tim Yonif itu aku memang tidak bisa nonton,” kata Alex padaku lewat telepon.“Kenapa?” tanyaku. “Memang semprul itu mandorku. Aku dikasih kerja lembur di pabrik, mendadak saja, padahal aku sudah bersiap-siap mau berangkat ke Gelanggang Remaja lho.”“Oh, begitu? Ya sudahlah, mau bagaimana lagi.”“Iya. Tapi waktu kalian melawan tim Tuah Minco dan babak-babak selanjutnya aku nonton kok. Aku panggil-panggil kamu dari tribun paling atas. Jokooo.., Jokooo.., begitu. Aku sampai melompat-lompat seperti cheerleader kementelan.”“Masak sih?”“Iya, tap
Bab 95:Andalas Cup “Mas Joko, kan?” teriak dia di atas motor yang masih melaju.Entah mengapa, aku langsung menaruh curiga kepada dua orang ini, yang mungkin saja punya maksud buruk kepadaku. Apalagi kemudian, orang yang mengemudikan motor sengaja mengerem, memepet, dan memaksaku untuk berhenti. Aku terpaksa berhenti dan menepikan sepedaku persis di sisi trotoar. Aku merasa kesal tapi juga penasaran pada mereka yang mengetahui namaku.Mereka berdua, lelaki tegap kekar, memakai helm dan jaket, segera turun dari motor dan menghampiriku yang tetap duduk di sadel sepedaku.“Syukurlah ketemu di sini. Barusan tadi kami berdua dari Benua Trada untuk menemui Mas Joko. Tapi rupanya petugas sekuriti di situ bilang bahwa Mas sudah pulang. Ups, maaf, kami takut salah oran
Bab 96: Bag! Bug! Gedebug! Aku melihat Ningsih ada di situ, berbaring di ayunan pantai. Ia sedang membaca sebuah buku, yang dengan perlahan ia tangkupkan ke dadanya sendiri saat menyadari kehadiranku. Ia tersenyum manis, lalu menjulurkan tangannya kepadaku. Tangan yang pada jari manisnya terdapat sebuah cincin kawin, dengan batu permata yang sinarnya berkerling. “Mas..,” panggilnya lirih. “Ning..,” sahutku pula seraya menunduk dan mendekatkan wajahku pada wajahnya. Ningsih memberiku sebuah ciuxman yang teramat dalam di pipiku. Dalam, lekat, semakin lekat, hingga kemudian terasa menggigit. Tiba-tiba.., Aku tersentak! Sesuatu yang kurasakan sebagai ciuxman Ningsih tadi ternyata adalah gigitan nyamuk. Pelan-pelan aku membuka mata, dan yang kulihat di sekelilingku hanyalah kegelapan. Suasana teramat lengang. Jika ada sesuatu yang kudengar itu hanyalah cengkerik jangkrik dari beberapa penjuru malam. Segera kusadari bahwa ternyata aku
Bab 97:Pesan Kosong Dengan sekujur tubuhku yang babak belur ini aku membutuhkan perjuangan yang luar biasa untuk bisa pulang ke kos. Syukurlah, aku masih memiliki sisa tenaga yang bisa kupergunakan untuk mengayuh sepeda. Ketika aku sampai di kos, waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Kota Bandar Baru begitu lelap dalam istirahatnya yang tak tenang, begitu juga dengan suasana di sekitar tempat tinggalku yang begitu lengang.Sebelum memarkirkan sepedaku di teras aku memeriksanya sebentar. Aku menemukan ada sedikit kerusakan pada bagian tuas setelan freewheel dan juga tangkai stander. Mungkin tadi sepedaku ini sempat dianiaya juga oleh Pak Sadeli, Robin atau Daud. Ah, persextanlah! Nanti-nanti saja, besok, atau lusa aku akan memperbaikinya.Aku ingin segera memasuk
Bab 98:Cinta, Masih dan Selalu Orang yang pertama kali menjenguk aku adalah Alex. Ia sengaja berangkat kerja pagi-pagi sekali supaya bisa menyinggahi aku di kos. Meskipun ini adalah hari Minggu tapi ia punya tugas lembur yang harus ia selesaikan. Dia begitu terkejut ketika pintu kamarku terbuka dan mendapati diriku yang berantakan ini.“Ya Allah! Kamu kenapa, Ko??”“Kamu dipukul orang?? Dikeroyok??”“Siapa?? Siapa yang memukul kamu??” Tiba-tiba saja Alex menjadi begitu emosional. Ia sampai mengatupkan rahang dan mengepal-ngepalkan tangannya.“Bilang padaku, Ko! Siapa yang mengeroyok kamu?? Biar
Bab 99: Kasih di Depan Pintu Orang kedua yang menjenguk aku adalah Resti Amelia. Belum, belum, dia belum datang. Menurut rencana, dan jika tidak ada halangan yang tiba-tiba dia akan sampai di kosku pukul dua belas siang nanti. Dari sejak sehari sebelumnya kami memang telah saling berkirim pesan. Ia merasa sangat kecewa dengan absennya diriku di babak final Walikota Cup. Namun ia juga merasa penasaran karena aku yang tidak masuk kuliah pada hari Minggu kemarin. “Aku sakit, Resti,” pesanku lewat telepon. “Sakit apa, Mas?” “Ada insiden kecil waktu mau berangkat ke gelanggang.” “Insiden apa?” “Kecelakaan di jalan.” Pesanku yang terakhir itu dibalas Resti dengan pesan yang super duper cepat. Aku tidak habis pikir entah bagaimana ia bisa mengetik pesan begitu banyak dan segera mengirimkannya kepadaku, yang bersusah payah membacanya di layar ponselku yang retak ini. “Hah?? Jadi sekarang gimana kondisi ka
Bab 100:Semua Karena Cinta! Ibu Joyce menengadah tanpa melepaskan tatapannya padaku. Lalu bersamaan dengan kedua tangannya yang menangkup di kedua pipiku, ia pun menangis!“Kamu.., kamu kenapa, Joko?” tanya Ibu Joyce lagi dengan suaranya yang terisak-isak.Aku mundur perlahan, sembari menolehkan wajah untuk melepaskan telapak tangan Ibu Joyce yang menangkup di pipiku. Namun ia terus saja mengikuti langkahku dan tidak mau melepaskan tangannya.“Kooo..,” kata Ibu Joyce lagi dengan suara yang bergetar.“Ka, ka.., kamu, kamu.., kenapa??” Dan isak tangisnya semakin keras.&nbs
Bab 101:Sebagai Apa Dan yang paling esensial dari segala polemik di dalam hati Joyce ini adalah, apakah Joko juga mencintai dirinya??Lalu tiba-tiba saja Joyce merasa ditampar oleh sebuah kesadaran agung yang hadir di dalam benaknya serupa lesatan cahaya. Dan di dalam lesatan cahaya itu ada fragmen-fragmen hidup yang pernah terjadi antara dirinya dengan Joko. Bahwa.., bahwa.., Joko tidak mencintai dirinya!********“Ibu peduli terhadap aku sebagai apa?” tanyaku lagi dengan tetap dingin.Ibu Joyce tergeragap seperti terbangun dari mimpi. Ia menyeka air matanya menggunakan punggung tangan, kanan dan kiri. Terlebih dulu menarik nafas ia pun menjawab.“Aku, aku.., peduli dengan kamu… bukan semata-mata se