Bab 97:Pesan Kosong Dengan sekujur tubuhku yang babak belur ini aku membutuhkan perjuangan yang luar biasa untuk bisa pulang ke kos. Syukurlah, aku masih memiliki sisa tenaga yang bisa kupergunakan untuk mengayuh sepeda. Ketika aku sampai di kos, waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Kota Bandar Baru begitu lelap dalam istirahatnya yang tak tenang, begitu juga dengan suasana di sekitar tempat tinggalku yang begitu lengang.Sebelum memarkirkan sepedaku di teras aku memeriksanya sebentar. Aku menemukan ada sedikit kerusakan pada bagian tuas setelan freewheel dan juga tangkai stander. Mungkin tadi sepedaku ini sempat dianiaya juga oleh Pak Sadeli, Robin atau Daud. Ah, persextanlah! Nanti-nanti saja, besok, atau lusa aku akan memperbaikinya.Aku ingin segera memasuk
Bab 98:Cinta, Masih dan Selalu Orang yang pertama kali menjenguk aku adalah Alex. Ia sengaja berangkat kerja pagi-pagi sekali supaya bisa menyinggahi aku di kos. Meskipun ini adalah hari Minggu tapi ia punya tugas lembur yang harus ia selesaikan. Dia begitu terkejut ketika pintu kamarku terbuka dan mendapati diriku yang berantakan ini.“Ya Allah! Kamu kenapa, Ko??”“Kamu dipukul orang?? Dikeroyok??”“Siapa?? Siapa yang memukul kamu??” Tiba-tiba saja Alex menjadi begitu emosional. Ia sampai mengatupkan rahang dan mengepal-ngepalkan tangannya.“Bilang padaku, Ko! Siapa yang mengeroyok kamu?? Biar
Bab 99: Kasih di Depan Pintu Orang kedua yang menjenguk aku adalah Resti Amelia. Belum, belum, dia belum datang. Menurut rencana, dan jika tidak ada halangan yang tiba-tiba dia akan sampai di kosku pukul dua belas siang nanti. Dari sejak sehari sebelumnya kami memang telah saling berkirim pesan. Ia merasa sangat kecewa dengan absennya diriku di babak final Walikota Cup. Namun ia juga merasa penasaran karena aku yang tidak masuk kuliah pada hari Minggu kemarin. “Aku sakit, Resti,” pesanku lewat telepon. “Sakit apa, Mas?” “Ada insiden kecil waktu mau berangkat ke gelanggang.” “Insiden apa?” “Kecelakaan di jalan.” Pesanku yang terakhir itu dibalas Resti dengan pesan yang super duper cepat. Aku tidak habis pikir entah bagaimana ia bisa mengetik pesan begitu banyak dan segera mengirimkannya kepadaku, yang bersusah payah membacanya di layar ponselku yang retak ini. “Hah?? Jadi sekarang gimana kondisi ka
Bab 100:Semua Karena Cinta! Ibu Joyce menengadah tanpa melepaskan tatapannya padaku. Lalu bersamaan dengan kedua tangannya yang menangkup di kedua pipiku, ia pun menangis!“Kamu.., kamu kenapa, Joko?” tanya Ibu Joyce lagi dengan suaranya yang terisak-isak.Aku mundur perlahan, sembari menolehkan wajah untuk melepaskan telapak tangan Ibu Joyce yang menangkup di pipiku. Namun ia terus saja mengikuti langkahku dan tidak mau melepaskan tangannya.“Kooo..,” kata Ibu Joyce lagi dengan suara yang bergetar.“Ka, ka.., kamu, kamu.., kenapa??” Dan isak tangisnya semakin keras.&nbs
Bab 101:Sebagai Apa Dan yang paling esensial dari segala polemik di dalam hati Joyce ini adalah, apakah Joko juga mencintai dirinya??Lalu tiba-tiba saja Joyce merasa ditampar oleh sebuah kesadaran agung yang hadir di dalam benaknya serupa lesatan cahaya. Dan di dalam lesatan cahaya itu ada fragmen-fragmen hidup yang pernah terjadi antara dirinya dengan Joko. Bahwa.., bahwa.., Joko tidak mencintai dirinya!********“Ibu peduli terhadap aku sebagai apa?” tanyaku lagi dengan tetap dingin.Ibu Joyce tergeragap seperti terbangun dari mimpi. Ia menyeka air matanya menggunakan punggung tangan, kanan dan kiri. Terlebih dulu menarik nafas ia pun menjawab.“Aku, aku.., peduli dengan kamu… bukan semata-mata se
Bab 102:Seperti Merek Shampoo Baik aku maupun Ibu Joyce merasa perlu untuk terkejut sebab yang sekarang berdiri di ambang pintuku itu adalah…,Resti!“Waalaikumsalam,” sahut Ibu Joyce sedikit tercekat. Lalu aku..,“Wa.., wa.., walaikumsalam,” sahutku gugup setengah mati. Apalagi kemudian, Resti langsung nyelonong saja masuk dan..,“Ya Allah! Mas Joko! Kamu kenapaa..??” pekiknya histeris.Tidak seperti Ibu Joyce yang tadi tanpa sadar menjatuhkan barang bawaannya, Resti masih sempat meletakkan tas selempang kulitnya di lantai, juga seplastik besar berisi bingkisan yang belum kutahu apa sa
Bab 103:Obat dari Sinse Tiba-tiba.., drrrt.., drrrrtt! Ponselku bergetar. Ada pesan masuk! Siapa pula ini??Seketika saja obrolan liar antara Ibu Joyce dan Resti terjeda. Aku menatap kedua wanita cantik yang adan di hadapanku ini berganti-gantian. Mereka berdua juga ternyata sedang menatap ke arahku. Lalu ajaibnya secara bersamaan pula mereka mengalihkan pandangan pada ponselku yang sedang bergetar di atas meja, persis di sampingku.Harap-harap cemas aku kemudian mengambil ponsel. Setelah membuka kunci, aku bersusah payah membaca pesan di antara garis-garis retakan di layar ponselku. Dag-dig-dug jantungku berharap ini bukan pesan dari Menuk atau Yana. Tak terbayang kejadiannya bila kedua gadis itu tiba-tiba datang ke sini.&nb
Bab 104:Masih Tentang Pemain Nomor Lima “Eh, iya, Mas Joko. Ngomong-ngomong, kamu masih bisa main voli? Di Kalimantan atau Papua tempat perantauan kamu sana apakah kamu sesekali masih bermain? Kalaupun kamu punya tim, lalu apakah kamu sering ikut turnamen?”“Mas Joko, kamu tahu? Saking penasarannya aku pada pemain nomor lima dari tim STMIK itu, aku sampai bela-belain datang ke Gelanggang Remaja sejak pukul tiga, lho. Pertandingan babak final tim Putra digelar selepas Maghrib, kan? Jam tujuh, iya kan? Tidak apa-apa aku menunggu, sekalian menonton juga pertandingan babak final untuk tim Putri.”“Chintya, temanku itu juga sih yang kelewat ngebet pengin cepat datang. ‘Ayo, Ningsih, nanti
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.